logo2

ugm-logo

Mengatasi Bencana dari Desa

BARU melewati tiga bulan pertama tahun 2021, Indonesia sudah dilanda bencana bertubi-tubi. Sebut saja, mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, erupsi gunung, dan angin puting beliung yang melanda sejumlah daerah di Indonesia. Ironinya lagi, luka bangsa yang belum kering akibat bencana non-alam pandemi Covid-19, kini kita kembali diuji melalui rangkaian peristiwa bencana hidrometeorologi.

Sebetulnya, kejadian bencana hidrometeorologi yang terjadi di awal tahun ini sudah bisa diperkirakan. Karena jauh sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memberikan peringatan dini tentang potensi bencana hidrometeorologi ini. Namun, peringatan dini bencana ini terkadang tidak berbanding lurus dengan kesiapsiagaan yang kita lakukan untuk meminimalisir risikonya. Akhirnya, kita terus menerus selalu dihadapkan pada persoalan yang sama saat terjadi bencana. Mulai dari jumlah korban jiwa yang begitu besar, kerusakan yang terjadi begitu massif, dan trauma psikologis yang diderita korban bencana begitu mendalam. Pada kondisi inilah, kita sering kali surplus konsep dan miskin eksekusi.

Andai saja sejak awal kita mau berbenah, mungkin dampak bencana ini tidak akan begitu parah. Apalagi dengan pengalaman panjang masyarakat kita dalam menghadapi bencana semestinya menjadi modal berharga untuk menumbuhkan sikap siaga dan waspada dalam keseharian kita. Namun, sayangnya hidup di wilayah yang rawan terhadap bencana tidak serta merta membuat masyarakat kita sadar dan mawas diri. Bisa dibayangkan, betapa memilukannya bagi masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana tetapi di sisi lain mereka tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan upaya mitigasi. Jelas, persoalannya akan semakin rumit dan kompleks.

Kondisi masyarakat yang rentan terhadap bencana memang tidak bisa dihindari, namun dapat diupayakan untuk mengurangi risikonya. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran dan kapasitas yang mereka miliki. Tentu, itu semua tidak muncul dan datang secara tiba-tiba. Butuh proses panjang. Yang kemudian kita sebut sebagai pemberdayaan. Untuk memulainya, akan jauh lebih efektif jika diawali dari desa.

Membangun Ketangguhan dari Desa

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Makna ’melindungi’ sebagaimana dalam UU tersebut harus diartikan sebagai upaya untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat dari gangguan bencana, termasuk bagi mereka yang berada di desa. Jika merujuk pada data tahun 2020, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar menyebutkan setidaknya ada 50.000 desa di Indonesia yang berisiko tinggi terhadap bencana (detiknews.com, 5/1/2020).

Banyaknya jumlah desa yang rawan bencana sebagaimana data di atas, sebetulnya tidak begitu mengagetkan karena Indonesia dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Maka dari itu, tidak menarik sesungguhnya jika hanya melihat persoalan bencana dikaitkan pada soal takdir semata. Sisi penting yang mestinya harus dijawab adalah apakah pengetahuan dan kapasitas masyarakat kita sudah cukup memadai saat bencana terjadi? Jika belum, bagaimana cara meningkatkannya?

Merujuk pertanyaan di atas, maka dalam Peraturan Kepala (Perka) BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Di dalamnya dijelaskan prasyarat penting yang harus dipenuhi desa dalam membangun ketangguhan. Prasyarat itu mulai dari: penyusunan kebijakan berupa peraturan desa tentang penanggulangan bencana, penyusunan dokumen rencana penanggulangan bencana, pembentukan kelembagaan bencana desa, adanya pendanaan dan kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas untuk pengurangan risiko bencana di tingkat desa.

Meski begitu, upaya untuk membangun desa tangguh bencana ini bukanlah tanpa tantangan. Keterbatasan kapasitas sumber daya dan anggaran dari pemerintah selalu menjadi masalah klasik yang seolah menuai jalan buntu. Belum lagi praktik di lapangan menunjukkan adanya instansi/lembaga yang menggunakan pedoman desa tangguh bencana yang tidak sesuai dengan standar yang ada. Jelas, persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena dapat menyebabkan tumpang tindih penanggulangan bencana di desa.

Padahal di sisi lain, kenyataan bahwa banyaknya korban jiwa dan kerugian materi akibat bencana yang terjadi selama ini sebetulnya dapat diminimalisir dengan memperkuat ketangguhan desa sebagai komunitas yang bersentuhan langsung dengan masyarakat itu sendiri. Artinya, paradigma penanggulangan bencana yang dahulunya bersifat sentralistik, kini diarahkan dengan pelibatan partisipasi masyarakat sejak awal mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Yang menarik adalah desa diberikan rekognisi sehingga memiliki peran strategis dalam pengurangan risiko bencana.

Sejalan dengan hal itu, komitmen untuk membangun dan mengembangkan desa tangguh bencana ini juga telah ditunjukkan oleh KONSEPSI. Pada akhir tahun 2019 lalu, sebanyak 4 desa di Pulau Lombok telah dibina dan didampingi KONSEPSI atas dukungan Caritas Germany sebagai model percontohan desa tangguh bencana di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Terbukti, 4 desa tersebut berhasil meningkatkan level ketangguhannya setelah dibina selama 12 bulan. Sebelumnya, ke-4 desa ini memiliki ketangguhan pada level pratama, kemudian naik menjadi level madya setelah diintervensi program. Level ketangguhan ini sendiri diukur oleh KONSEPSI menggunakan indikator Penilaian Ketangguhan Desa (PKD) yang dibuat BNPB.

Praktik baik yang dilakukan KONSEPSI tidak berhenti sampai pada itu saja. Di tahun ini, desa yang menjadi sasaran program mengalami penambahan, menjadi 11 desa di Pulau Lombok. Selain membangun desa tangguh bencana, KONSEPSI juga akan mengembangkan pengurangan risiko bencana antar desa berbasis kawasan. Pada akhirnya kita tentu berharap, desa dapat menjadi labolatorium untuk melakukan pencegahan, mitigasi, dan edukasi kepada masyarakat dalam pengurangan risiko bencana.

Terakhir, untuk menutup tulisan ini. Penulis ingin mengutip pesan lama yang pernah disampaikan Bung Hatta. Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama itu pernah mengatakan: “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa”. Karena itu, desa harus berdaya dan tangguh dari bencana. (*)

Di dunia magis kasino online, Spin Gratis adalah salah satu bonus yang paling dicari, menawarkan pemain kesempatan untuk memutar gulungan permainan slot tanpa mempertaruhkan uang mereka sendiri. Pemain Austria memiliki berbagai pilihan fantastis untuk menikmati bonus ini, dan panduan komprehensif kami untuk https://smartbonus.at/freispiele/ Free Spins memberikan wawasan mendetail tentang penawaran Free Spins terbaik yang tersedia. Panduan ini dirancang untuk membantu pemain pemula dan berpengalaman menavigasi berbagai bonus Free Spins yang ditawarkan oleh kasino online top Austria. Panduan kami mempelajari mekanisme Free Spins, menjelaskan cara kerjanya dan cara memaksimalkan potensinya. Baik itu bagian dari paket sambutan atau penawaran yang berdiri sendiri, penting untuk memahami syarat dan ketentuan, seperti persyaratan taruhan dan batasan permainan. Perbandingan dan ulasan kami tentang berbagai penawaran spin gratis memastikan Anda memiliki informasi terbaru di ujung jari Anda. Kami juga memberikan tips ahli tentang cara mendapatkan hasil maksimal dari putaran gratis ini dan meningkatkan peluang Anda untuk mengubahnya menjadi kemenangan nyata. Dengan panduan kami, Anda akan diperlengkapi dengan baik untuk memanfaatkan penawaran spin gratis terbaik di Austria, menjadikan setiap sesi slot lebih menarik dan berpotensi memberi Anda hadiah.