Tokyo, Beritasatu.com - Pemerintah Jepang telah dan akan terus berkomitmen untuk mengerahkan para ilmuwan terbaiknya guna meneliti penyebab bencana alam beragam yang menimpa Sulawesi Tengah September 2018, sekaligus mempelajari potensi bencana di masa depan dan langkah-langkah untuk meminimalkan dampak.
Kimio Takeya, pejabat senior Japan International Cooperation Agency (JICA), mengatakan para ilmuwan terbaik Jepang akan dikerahkan untuk meneliti tsunami, likeufaksi, gempa bumi, dan tanah longsor di sejumlah wilayah Sulteng.
"Bagi pemerintah Indonesia ini merupakan pengalaman baru dengan adanya fenomena khusus likuefaksi dan tanah longsor," kata Takeya saat ditemui Beritasatu.com di kantor pusat JICA di Tokyo akhir pekan kemarin.
Dia mengatakan bisa memahami bahwa pemerintah Indonesia ingin cepat mengambil keputusan soal rekonstruksi, tata ruang, dan relokasi pasca-bencana.
Namun, untuk kasus yang sangat unik ini pemerintah butuh dukungan bukti-bukti ilmiah dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi, sehingga bisa diambil keputusan yang paling tepat.
"JICA membantu pemerintah melihat mana yang bisa cepat diputuskan, tetapi ada hal-hal lain yang tidak bisa secepat itu," kata Takeya.
Jika buru-buru mengambil keputusan, sementara penyebab pasti likuefaksi tidak diketahui dan potensi terulangnya bencana tidak bisa diprediksi secara ilmiah, maka akan ada ketidakpastian dalam keputusan tersebut, paparnya.
Dengan melibatkan para ilmuwan di bidang geologi, Jepang bisa membantu Indonesia membuat keputusan yang lebih permanen berdasarkan hasil penelitian ilmiah, imbuhnya.
Sejumlah ilmuwan Jepang telah dikirim ke Sulteng dan mereka melakukan pengeboran di puluhan titik bencana untuk mendapatkan sampel dan memetakan daerah rawan bencana likuefaksi.
Hasil penelitian itu disampaikan dalam pertemuan antara delegasi Indonesia dengan JICA di Sendai dan Tokyo, pekan lalu.
Turut hadir dalam tim Indonesia adalah pakar geologi Institut Teknologi Bandung Profesor Masyhur Irsyam yang juga sudah melakukan penelitian terpisah soal likuefaksi di Sulteng. Selain itu juga Dr Abdul Muhari, peneliti tsunami dan pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dari pihak Jepang, hadir ilmuwan senior seperti pakar geologi Prof Takaji Kokhuso dan Prof Kenji Ishihara, serta pakar tsunami dunia Prof Fumihiko Imamura.
Takeya juga mengingatkan bahwa bencana likuefaksi besar baru tiga kali terjadi di dunia termasuk Jepang dan Sulteng. Namun, peristiwa di Sulteng adalah yang paling luas cakupannya.
Rencana rekonstruksi yang dibuat pemerintah harus didasarkan bukti-bukti ilmiah dan itu bisa memakan waktu lebih lama.
"Karena fenomena seperti ini merupakan kasus yang sangat unik. Untuk likuefaksi ini baru kasus besar ketiga di dunia," ujarnya.
"Dua kasus sebelumnya tidak menimpa wilayah yang sebesar ini."
Pernyataan Takeya ini selaras dengan diskusi panjang soal likuefaksi antara pakar Indonesia dan Jepang. Ditemukan sejumlah perbedaan data sampel, dan juga kesaksian warga yang berbeda-beda, sehingga sulit dibuat kesimpulan yang cepat mengenai penyebab dan potensi terulangnya bencana.
Misalnya ada warga yang mengatakan terjadi semburan air panas, lalu ada juga yang memberi kesaksian tanah ambles. Selain itu juga longsor, banjir lumpur, dan pergeseran permukaan tanah.
Takeya berpesan agar dalam penanganan bencana yang sangat kompleks di Sulteng ini pemerintah tidak buru-buru.
"Jangan mencari kompromi yang mudah, tetapi carilah kompromi yang jujur," ujarnya.
Simak pernyataan Takeya dalam video berikut (tersedia pengantar Bahasa Indonesia):