Tab
PENGANTAR
Pada tahun 2004, Aceh dilanda bencana besar, yakni Tsunami dan gempa. Bencana yang terjadi pada 26 Desember 2004 ini menjadi salah satu bencana paling dahsyat yang pernah terjadi di Indonesia. Namun ingatan itu hanya sebatas ingatan pada bencananya saja. Sementara untuk waspada akan datangnya kembali bencana, kita lupa. Begitu bencana berlalu, sering kita menganggap musibah telah hilang. Kita mengabaikan bahwa bencana berpeluang besar untuk datang kembali.
Tidak ada salahnya untuk kita mengingat kembali kejadian dan mengambil pelajaran dari Tsunami dan Gempa Aceh. Dalam webinar series Melawan Lupa ini kita akan sharing mengenai pengalaman dr. Hendro Wartatmo yang bertugas sebagai tim medis relawan saat Tsunami dan Gempa Aceh tahun 2004. Dari sharing ini mungkin akan banyak masukan yang bisa didapatkan untuk perbaikan dalam penanggulangan bencana serupa kedepannya.
TUJUAN
Untuk sharing pengalaman dan menambah wawasan mengenai pembelajaran penanggulangan bencana yang pernah terjadi di Indonesia.
TEMPAT, WAKTU DAN TANGGAL PELAKSANAAN
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada :
Registration URL: https://attendee.gotowebinar.com/register/1016992564583634945
Webinar ID: 520-494-219
PESERTA YANG DIHARAPKAN
- Kementerian Kesehatan (Pusat Krisis Kesehatan)
- BNPB
- BPBD
- Dinas Kesehatan
- Rumah Sakit
- Fakultas Kedokteran, Kesehatan, dan Keperawatan
- Group EMT Indonesia
- Mahasiswa
- Peneliti
- LSM
- Dsb
AGENDA ACARA
Waktu |
Materi |
Pembicara |
13.00 – 13.15 |
Pembukaan |
Sutono, S.Kep. M.Sc. |
13.15 – 14.00 |
Penyampaian Materi |
dr. Hendro Wartatmo, SpB.KBD |
14.00 – 14.45 |
Diskusi |
|
14.45 – 15.00 |
Penutup |
Sutono, S.Kep.M.Sc. |
Reportase
Webinar series Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM untuk bulan Juli 2017 mengambil tema Melawan Lupa Tsunami dan Gempa Aceh. Pemateri dari webinar tersebut adalah dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD yang terjun langsung pada saat terjadi bencana Tsunami dan Gempa Aceh Tahun 2004. Sementara untuk moderatornya adalah Sutono, S.Kp., M.Sc, M.Kep.
Webinar dimulai dengan pemateri yang menceritakan bagaimana persiapan yang dilakukan tim dari Yogyakarta setelah mendengar informasi tentang bencana yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Kegiatan dimulai dengan penggalangan dana dengan menghubungi beberapa kolega baik di RS Sardjito, Kemenkes, dll. Komunikasi selalu dilakukan dengan tim yang berada di Aceh untuk mengetahui update baik keadaan maupun kebutuhan yang diperlukan.
Pada saat sudah siap tim dari Yogyakarta untuk terbang ke Aceh, sempat mengalami kendala yakni penerbangangan tidak bisa dilakukan langsung ke Meulaboh karena kondisi yang tidak memungkinkan dimana semua fasilitas rusak termasuk bandara, penerbangan hanya bisa dilakukan sampai ke Kota Banda Aceh. Namun dinas dari Kota Medan memberikan bantuan dengan penginapan sementara berupa mess sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Esoknya mendapat informasi bahwa perjalanan dapat dilanjutkan dengan menumpang helikopter dari Singapura yang akan mengantar Menteri Sosial Periode 2004-2009 Bachtiar Chamsyah, karena perjalanan tidak dapat dilakukan menggunakan helikopter yang biasa. Sesampainya di Kota Meulaboh diketahui kondisi sangat parah, fasilitas kesehatan banyak yang rusak termasuk RS Teuku Umar Meulaboh.
Pada saat bencana tersebut, untuk wilayah Yogyakarta tidak ada komandan yang memerintahkan untuk tim berangkat ke Aceh, sementara di Aceh sendiri relawan yang datang mayoritas merupakan tim dari negara lain. Berdasarkan dari bencana tersebut maka pemerintah mulai berbenah dan pada saat terjadi bencana gempa di Kabupaten Pidie Jaya tahun 2016, relawan mayoritas tim lokal dari Indonesia. Tidak hanya itu, pemerintah juga melakukan perubahan setelah terjadinya bencana gempa di Yogyakarta pada tahun 2006 dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Relawan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan pada saat terjadi bencana, namun relawan juga dapat menjadi pengganggu pada saat terjadi bencana apabila tidak melalui koordinasi. Untuk itu diperlukan suatu koordinasi baik fisik maupun non fisik agar relawan tersebut dapat dikendalikan dan tidak berjalan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu jumlah SDMK bukan lah suatu hal yang penting karena tidak mungkin kekurangan, yang paling penting koordinasi dan hingga saat ini pemerintah masih berbenah.
Keamanan dan keselamatan diri seorang relawan merupakan hal yang penting, sehingga pada saat awal terjadi bencana gempa Aceh banyak relawan yang tidak berani terjun langsung karena selain bencana, di Aceh juga masih terjadi gencatan dari GAM. Untuk gelombang berikutnya maka seluruh relawan diberikan asuransi sebelum berangkat ke daerah bencana.
Tim kesehatan yang menjadi relawan sempat mengalami hal yang diluar rencana, karena terdapat anggota yang diculik oleh GAM. Namun telah disiapkan kepada tim medis tersebut agar bisa tetap netral, karena tujuan utama adalah memberikan pertolongan secara medis bagi korban bencana tersebut.
Perihal medikolegal yang terjadi pada bencana tersebut, maka bagi dokter asing tetap diperbolehkan untuk melakukan operasi kepada korban yang membutuhkan pertolongan, namun tetap harus didampingi dengan dokter dari Indonesia. Preparedness merupakan suatu hal yang penting untuk dipersiapkan dari awal, untuk itu perlu dibedakan antara level mahasiswa dan tim medis yang berada di fasilitas kesehatan. Untuk mahasiswa cukup dijelaskan mengenai pengetahuan sehingga memiliki gambaran apabila terjadi bencana, sementara untuk tim medis disiapkan baik skill dll karena akan diterjunkan langsung pada saat terjadi bencana.
Reporter: Wisnu Damarsasi