Sesi 1
dr. Bella Donna. M.Kes merupakan Kepala Divisi Manajemen Bencana Kesehatan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FKKMK UGM. dr. Bella sudah lama bergelut dalam kebencanaan di sektor kesehatan dan dalam seminar kali ini, beliau menjadi moderator untuk sesi 1. Pembicara pertama, drg. M. Kamarru Zaman, M.Sc merupakan perwakilan dari Pusat Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI yang membawakan materi mengenai pendekatan klaster dan sub klaster kesehatan jiwa. drg. Zaman menyampaikan bahwa Indonesia merupakan Negara yang rawan untuk terjadinya bencana yang dapat mengancam dan menganggu kehidupan masyarakat yang mana ini menjadi tanggungjawab pemerintah untuk mengatasinya sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2007 dan UU No. 36 Tahun 2009. Sendai framework for disaster risk education 2015-2030 merupakan perubahan paradigma dari tanggap darurat ke pengurangan resiko artinya diperlukan peningkatan kapasitas penanggulangan bencana untuk penurunan indeks resiko bencana.
Namun, saat ini permasalahan kapasitas sangat sulit untuk dihindari baik dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, oleh karena itu drg. Zaman menyebutkan solusi permasalahan kapasitas dapat ditangani dengan koordinasi, kolaborasi dan integrasi dari ketiga elemen yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Peran klaster kesehatan sangat penting mulai dari sub klaster KIA dan reproduksi, sub klaster gizi, sub klaster pengendalian penyakit, penyehatan, lingkungan dan penyediaan air bersih termasuk sub klaster kesehatan jiwa. drg. Zaman mengungkapkan peran sub klaster kesehatan jiwa disini pada saat bencana diantaranya pada saat gempa Pidie Jaya dan erupsi Gunung Agung, Pusat Krisis Kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan RI mengirim tim kesehatan jiwa seperti psikiater untuk korban bencana, psikologi, dokter dan perawat kesehatan jiwa untuk melaksanakan psikososial dan trauma healing, skrinning terhadap pengungsi serta menyerahkan media KIE kesehatan jiwa ke pengungsi.
Pembicara kedua H. Said Abdullah, SH., MKM merupakan Kepala Dinas Kesehatan Pidie Jaya yang menyampaikan mengenai mental health dan pengalaman menggunakan sub klaster kesehatan jiwa pada gempa Pidie Jaya. Said, menyampaikan pengalaman Dinas Kesehatan Pidie Jaya dalam bencana gempa saat itu untuk sub klaster kesehatan jiwa telah bekerjasama dengan beberapa lembaga yang terlibat dalam masa tanggap darurat pertama. Pelayanan kesehatan jiwa ketika tanggap darurat pada dibagi menjadi beberapa titik yaitu pos sub kluster kesehatan jiwa dengan SDM diantaranya psikologi klinis, psikiater yang sekaligus menjadi sekretariat; RSUD Pidie Jaya dengan SDM diantaranya psikolog dan psikater untuk korban langsung karena penyakit fisik, luka dan dalam pengobatan di rawat inap.
Puskesmas dengan SDM diantaranya dari CMHN, psikolog dan psikiater untuk pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas dan home visit; titik pengungsi dengan SDM diantaranya dari relawan mahasiswa psikologi, CMHN, psikolog dan psikiater untuk penjaringan masalah kesehatan jiwa, edukasi, PFA memberikan permainan dan motivasi; RSUD Sigli dengan SDM diantaranya psikiater untuk rujukan ODGJ dan trauma pasca pengobatan atau pasca operasi. Lalu, untuk masa tanggap darurat kedua, pelayanan kesehatan jiwa dikembalikan ke CMHN dan dokter kesehatan jiwa beserta kader serta relawan yang masih ada dengan sistem kesehatan jiwa masyarakat Aceh yang berbasis masyarakat, merawat ODGJ dan ODMK di keluarga dan di masyarakat, yang mana dilakukan monitoring dan evaluasi pada minggu pertama darurat kedua oleh tim kesehatan jiwa dari Kemenkes, RI dan psikiater RS Jiwa serta dari Dinas Kesehatan Provinsi.
Pembicara ketiga dr. I Gusti Bagus Putra Partama, M.M. Kepala Dinas Kesehatan Karangsem juga menyampaikan mengenai mental health dan pengalaman menggunakan sub klaster kesehatan jiwa pada erupsi Gunung Agung. dr. Bagus menyampaikan kegiatan di sub klaster kesehatan jiwa pada erupsi Gunung Agung diantaranya menyusun rencana aksi yaitu rencana prioritas dalam jangka pendek (menyiapkan petugas, evakuasi, penyediaan pelayanan kesehatan, menyediakan obat kesehatan jiwa, screening kesehatan jiwa dan bebas pasung), jangka menengah (pendataan ulang ODGJ, mengusulkan JKN-KIS, MoU kerjasama dengan RSUD dan pemulangan ODGJ dari RSJ) dan jangka panjang (penyediaan rumah singgah, rumah berdaya dan rehabilitasi sosial); penguatan tim sub klaster kesehatan jiwa yang berkoordinasi dengan Sp. Kj di RSUD Karang Asem, RSJ Provinsi Bali dan memberikan pembekalan untuk Kepala Puskesmas, dokter dan pemegang program jiwa di puskesmas; melakukan evakuasi ODGJ dari wilayah KRB 3 dan 2.
Saat itu, seluruh ODGJ berhasil di evakuasi dari KRB 3, kecuali 1 orang ODGJ di dusun Panek; menyusun SOP evakuasi ODGJ, SOP ini sangat penting karena melibatkan lintas sektor (TNI, POLRI, SAR, Satpol PP, Kades, Camat, Tokoh Masyarakat, RSJ Provinsi Bali); koordinasi dengan relawan, relawan diarahkan untuk melakukan screening psikososial, terapi bermain, menggambar, dan menghibur dan upaya preventif dan promotif lainnya.
Pada akhir sesi 1, banyak peserta yang bertanya mengenai sinergitas antara pemerintah dan lembaga swasta, dan bagaimana peran swasta, mahasiswa FK saat terjadi bencana, bagaimana manajemen logistik dalam situasi bencana mengingat banyak terjadi masalah dalam gangguan pencernaan dan banyak pula distribusi keragaman logistik (makanan dan minuman) yang diterima, apakah ada protap manajemen logistik secara spesifik, dan sebagainya. Pertanyaan dijawab secara keseluruhan oleh para pembicara, peran swasta sangat banyak untuk membantu dalam situasi bencana dan pihak swasta sangat terbuka dengan Dinas Kesehatan baik di Dinas Kesehatan Pidie Jaya dan Dinas Kesehatan Karangasem, untuk peran mahasiswa FK dalam kondisi bencana langsung dikoordinir oleh posko klaster kesehatan untuk ditugaskan ke masing-masing sub klaster guna membantu sesuai dengan kompetensi mereka masing-masing. Manajemen logistik khususnya makanan dan minuman melalui sub klaster gizi, setiap ada makanan dan minuman yang masuk ke logistik diperiksa sebelum di distribusikan, pengalaman dari Dinas Kesehatan Pidie Jaya dan Dinas Kesehatan Karangasem juga menyediakan daftar menu untuk pengungsi yang dituangkan dalam SOP untuk alur penerimaan dan distribusinya ke pengungsi.
Reporter : Nilasari
Sesi 2
Materi keempat terkait konsep mental health pada penanganan pasca bencana yang disampaikan oleh Diana Setiyawati, MHSc. Psy., Ph.D. Diana mengawali pembahasan dengan menjelaskan apa yang dimaksud sehat jiwa. Seseorang dikatakan sehat jiwa apabila dapat mengenali potensi dirinya, mampu menghadapi stres sehari-hari, produktif dan bermanfaat untuk orang lain. terkait kesehatan jiwa, kriteria yang dijelaskan di atas masih banyak yang belum memahami.
Orang yang terpapar pada stressor yang ekstrim umumnya rentan mengalami masalah kesehatan jiwa dalam jangka waktu pendek ataupun panjang setelah kejadian bencana. Selain itu, potensi kerentanan yang ada sebelumnya memungkinkan masalah kesehatan jiwa sebagai konsekuensi dari bencana. Salah satu paparan yang membantu kejadian tersebut adalah faktor lingkungan. Masalah kesehatan jiwa terkait bencana dalam literature review masih sangat kecil. Namun ada contoh kasus gempa Jepang 2011 masalah kesehatan jiwa yang terjadi meliputi posttraumatic stress reaction melebihi 10%. Hal ini berkaitan denagan memikirkan mengembalikan kehidupan sehari-hari, sakit yang diderita sebelum bencana (fisik dan mental) dan jaringan sosial.
Kejadian bencana dapat menyebabkan trauma pada korbannya. Oleh karena itu diperlukan upaya penangganan. Tujuannya untuk menyediakan dukungan psikososial untuk jangka pendek maupun panjang untuk masyarakat, memperkuat sistem kesehatan jiwa dan membangun sistem kesehatan jiwa secara komprehensif. Dengan memperhatikan prinsip kesetaraan dalam pelayanan, menghargai hak asasi manusia (termasuk budaya), orientasi kesehatan masyarakat dan adanya koordinasi, konsultasi dan kemitraan dengan stakeholders.
Adanya bencana di Indonesia contohnya kasus bencana Aceh. Setelah kejadian bencana tersebut disusunlah sistem kesehatan jiwa masyarakat yang terkena dampak bencana. Dalam sistem kesehatan jiwa saat terjadi bencana yang perlu diperhatikan ialah mengembangkan rencana dan menyiapkan sistem kesehatan jiwa bencana. Selain itu diperlukan juga dokumentasi kegiatan layanan dan bekerja dengan media. Serta bagaimana merawat kesehatan jiwa terkait bencana seperti melakukan pendekaran dasar untuk korban bencana, respon awal, pengobatan untuk kelompok berisiko, penyediaan informasi dan pelatihan tenaga kesehatan.
Selanjutnya pembicara ke-lima adalah dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS (K), beliau adalah ketua pokja bencana FKKMK UGM. Handoyo Pramusinto menjelaskan terkait rumusan guideline nasional penerapan pendekatan sub klaster kesehatan jiwa. Beberapa aspek penting terkait pedoman tata-laksana masalah kesehatan jiwa saat bencana telah dibuat. Secara pengoorganisasian, sudah ada klaster dan sub klaster kesehatan. Namun pelayanan dan sosialisasi pada masyarakat perlu dilakukan. Pada 2006 diterbitkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 048/Menkes/SK/I/2006 tentang pedoman penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan psikososial pada masyarakat akibat bencana dan konflik. Tahun yang sama pula terdapat pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana (mengacu pada standar internasional) yang di dalamnya terdapat bagaimana penanganan kesehatan jiwa.
WHO pada 2007 mengeluarkan dokumen IASC, yang bertujuan untuk merencanakan, menetapkan dan koordinasi multisektoral untuk melindungi dan memperbaiki kesehatan jiwa pada saat bencana. Layanan untuk memperbaiki kesehatan jiwa dapat dimulai dari hubungan sosial masyarakat, keluarga, berfokus pada non spesifik seperti puskesmas dan terakhir pada spesifik seperti perawat dan psikologi. Selain itu, ada prinsip aksi PFA meliputi persiapan, melihat, mendengar dan koordinasi terkait kesehatan jiwa dan bencana.
Ada beberapa laporan terkait kesehatan jiwa dengan kejadian bencana. Jurnal sosiologi berjudul kesehatan mental di Aceh mengungkapkan paska tsunami terjadi peningkatan gangguan stres dan trauma setelah bencana yang sangat tinggi. Pada 2016 laporan dalam sebuah konferensi menemukan adanya kesenjangan dalam kesehatan mental dan perlunya dukungan psikososial dalam keadaan darurat tersebut di Asia.
Setelah kedua pemateri menyampaikan pembahasannya dilanjutkan dengan diskusi dipandu dr. Jodi Visnu, MPH. Pada sesi diskusi, antusiasme peserta sangat tinggi. Secara umum peserta menanyakan bagaimana penanganan bencana dan kesehatan jiwa, skala prioritas ketika terjadi bencana, protapnya bagaimana, logistik dan peran dari semua pihak terkait pemerintah, rumah sakit, puskesmas, relawan, mahasiswa dan lainnya. Selain bertanya, peserta juga menceritakan pengalaman menghadapi bencana dan menangani kasus kesehatan jiwa seperti pengalaman Rumah Sakit Patih Nugroho, pengalaman individu dan dinas kesehatan Bantul, dinas kesehatan Kulon Progo dan lainnya dalam menghadapi bencana dan masalah kesehatan jiwa tentunya.
Setelah istirahat, tepatnya pukul 13.00 WIB peserta dibagi menjadi 2 kelompok dan difasilitasi oleh dr. Bella Donna, M.Kes serta Sutono, S.Kp., M.Sc., M.Kep. Peserta menandatangani informed consent, mengisi kuesioner dan berdiskusi serta menyampaikan pendapat melalui webinar untuk menyusun policy paper terkait mental health problems in disaster and health crisis. Intinya terkait pentingnya peran semua pihak dalam masalah kesehatan jiwa dan krisis kesehatan, pemetaan, skala prioritas, sistem rujukan, pembiayaan, pasca penangganan masalah kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dan stiker dengan kode tertentu (perlu diperhatikan terkait stigma untuk kesehatan jiwa di masyarakat). Penyusunan policy paper drg. M. Kamarruzaman, M.Sc dari Pusat Krisis Kesehatan menyampaikan penanganan bencana harus dilihat dari tiga bagian yaitu 1) pra bencana: kesiapan, kesiasiagaan dan rencana respon, 2) pada saat bencana: pengaktifan status kebencanaan-pengungsian dan non pengungsian, EMT spesialis cel, PFA, penangangan individu, kelompok dan non kelompok dan 3) pasca bencana: rehabilitasi kesehatan jiwa dengan prinsip kontinyu, terpadu dan koordinasi dengan sub klaster yang lainnya.
Penanganan pra, pada saat dan pasca bencana harus dilakukan secara terstruktur. Prinsipnya harus melibatkan semua pihak, paradigma pengurangan risiko bencana, dan sistem kelola (sistem klaster kesehatan). Ketepatan dan kearutan akan berdampak pada pencapaian upaya penanganan bencana.
Reporter : Muhamad Syarifuddin