Sesi pertama ditujukan untuk memaparkan mengenai sejarah manajemen bencana sektor kesehatan di Indonesia. Sesi ini langsung dimoderatori oleh Ketua Pokja Bencana FK UGM, dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS dan juga menghadirkan pemateri yang memiliki banyak keterlibatan dalam penanggulangan bencana di Indonesia.
Pemateri pertama adalah dr. Hendro Wartatmo, Sp. BD yang merupakan penasihat dari Pokja Bencana FK UGM dan pada masa penanggulangan bencana Tsunami Aceh terlibat langsung bersama tim bencana dari FK UGM. Beliau membagi pengalamannya saat memberangkatkan tim dari FK UGM ke Meulaboh tahun 2004. Berikut tiga point yang menjadi sorotan beliau dalam manajemen bencana sektor kesehatan, pertama, akomodasi selama masa tanggap darurat, dr. Hendro meminjam pembiayaan ke kepala bagian di FK UGM. Kemudian ia menelpon Depkes apakah relawan bisa memasuki wilayah Aceh? Melalui koordinasi ini, terungkaplah bahwa masih banyak rapat atau briefing dari pemerintah yang menghambat masa tanggap darurat ini. Pengalaman menarik yaitu untuk tim yang akan ke Meulaboh, dr. Hendro sampai menolak relawan karena pendaftar membludak. Kedua, Hal yang pertama dilakukan tim relawan ini ialah masuk ke RS Meulaboh untuk memfungsikan kembali karena functiional collapse. Faktanya, seluruh proses yang dilakukan selama di Meulaboh ialah manajemen bencana yang selama ini ada di buku. Referensi lain untuk menyimak manajemen bencana dapat dibuka melalui wadem.org. Ketiga, Pasca pemberangkatan tim relawan FK UGM ke Meulaboh, dari internal ada ajakan untuk membuat Pokja Bencana pada 2006. Sejalan dengan pembentukan itu, terjadi gempa Jogja. Akhirnya, gempa ini menjadi bencana yang dikelola dengan baik oleh Pokja Bencana dari segi manajemennya.
Pemateri kedua adalah Prof. Dr. Sudibyakto selaku penasihat BNPB dan juga sebagai ketua prodi Magister Manajemen Bencana UGM. Isu terpenting dalam manajemen bencana akhir-akhir ini ialah disaster risk management. Bagaimana mengurangi resiko, terlebih ada prediksi dari para ahli, dalam 30 tahun ke depan akan terjadi gempa dengan kekuatan 8.9 SR. Dua hal terpenting yang harus dikembangkan ialah SOP dan contigency planning.Selain itu, harus ada trust kepercayaan antar institusi, siapa yang menghitung program. Misalnya, BPBD dan BNPB sebagai muara, maka yang menghitung korban dan kebutuhan harus dari institusi yang lain.
Sehingga, harus ada framework untuk disaster risk reduction. Kasus kekinian yang dapat disimak, Banjarnegara rawan longsor, sehingga penataan ruang harus kuat. Policy development dan kebijakan lain harus diatur internasional, nasional dan lokal. memgkomunikasikan resiko penting, komunikasi ke masyarakat itu penting.
Pemateri ketiga adalah dr. Achmad Yurianto hadir sebagai perwakilan dari Pusat Penanggulangan Krisis Kementrian Kesehatan. Beliau juga merupakan kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kemenkes. Kali ini, dr. Achmad memaparkan UU No 24 Tahun 2007 yang menyebutkan pemerintah pusat dan daerah merupakan penanggung jawab dalam penanganan bencana. Pertanggung jawaban ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan kedua belah pihak dalam pengurangan resiko yang harus dipadukan dengan program pembangunan. Salah satunya, mereka memiliki dana antisipasi atau cash in hand.
Pihak yang pertama merespon jika terjadi bencana ialah masyarakat. Maka, pemberdayaan masayarakat sangat penting untuk dilakukan. Pemberdayaan ini untuk mengelola bagaimana langkah yang tepat untuk mengantisipasi, menghadapi dan recovery pasca bencana. Perguruan tinggi dapat berperan besar dalam ranah ini melalui beragam kajian. Menurut pengalaman, ibukota akan selalu 40% wilayahnya banjir karena jumlah itu dihuni pendatang yang mungkin kurang aktif dalam penanggulangan banjir.
Beliau juga sangat menekankan mengenai peran universitas dalam hal kebencanaan. Tidak bisa jika semuanya diserahkan pada pemerintah. Univresitas harus terlibat terutama dari hasil penelitian yang dilakukan.
Sesi Diskusi
Kedua penanya antusias pada sesi ini dan berdikusi hangat dengan para pembicara, pertama, Husaini dari FK Unlam Banjarmasin, selama ini bencana menjadi pencitraan parpol dan Pemda. Bagaimana kita mengatasi hal ini?. Kedua, Al Azim dari KMPK menyatakan ada pergeseran paradigma, dari mitigasi ke pengurangan bencana. Kita tidak belajar dari pengalaman. Jika bencana itu sudah sering terjadi, pengurangan ini bisa dilakukan lebih awal. Jawaban oleh ketiga pembicara, menegaskan PJ pengelola bencana bukan hanya koordinator, namun ada hal lain yaitu pengelolaan manajemen bencana.
Sesi selanjutnya dilanjutkan dari pertanyaan saudara Hakim (Fakultas Psikologi dan Penanganan Bencana UIN Sunan Ampel) menambahkan pendekatan lingkungan untuk pengurangan bencana, masukan pengetahuan dan strategi dari ahli pengelolaan bencana ke pemerintah sudah dilakukan tapi tidak digunakan pemerintah. Bagaimana strategi agar suara PT digunakan pemerintah? Kasusnya, lumpur Lapindo hanya penggantian fisik, tanpa megindahkan nilai sejarah masayarakat disitu.
Pertanyaan di atas ditanggapi langsung oleh dr. Hendro. dr. Hendro menyampaikan euphoria penanganan bencana, orang antusias saat respon. Makin banyak publikasi, masa banyak massa. Preparedness jarang disentuh publikasi. Ada masalah lain yaitu, biokrasi dan otorisasi pengeluaran uang. BPBD tidak ada garis koordinasi/ komando- tidak segaris dengan BN[B. Ancaman lain yang ada yaitu korupsi dalam bencana yaitu secondary disaster, sementara, problem utama ialah koordinasi.
Selebihnya, secara bergantian pembicara menyampaikan pendapatnya, pertama, Prof. Sudibyakto berdasarkan pengalaman beliau, 50 juta/jam minimal 4 jam untuk helikopter air kebakaran hutan sampai terjadi kemarau. Menurut saya, perlu program preparedness yang lebih serius.
dr. Achmad menyatakan Pusat Penanggulangan Krisis Kemkes berkolaborasi dengan WHO dalam hal pengurangan resiko melalui riset dan pelatihan. Ada anggaran namun tidak ada yang menggunakan. Kemkes telah mendorong Menristek untuk mengajak ahli mengembangan riset agar dana dari WHO ini termanfaatkan.