Reportase Sesi 1
Seminar Kaitan Peningkatan Risiko Bencana dengan Pencapaian MDGs
Senin, 16 Maret 2015 || Ruang Senat lantai 2 Gedung KPTU Fakultas Kedokteran UGM
dr. Bella Donna merupakan kepala Divisi Manajemen Bencana Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK UGM. Beliau telah lama berkecimpung dalam kebencanaan sektor kesehatan. Dalam seminar kali ini, beliau menjadi moderator untuk sesi 1 dengan topik Dampak Peningkatan Risiko Bencana terhadap Pencapaian MDGs 4 dan 5.
dr. Inni Hikmatin dari Dinas Kesehatan DIY menceritakan pengalamannya pada saat bencana Bantul tahun 2006. Pada saat itu Dinkes belum memiliki pengalaman dalam penangprgulangan bencana. Semua panik. Namun, disanalah pembelajaran di dapat bahwa standar dan SOP itu harus ada untuk mengatasi kepanikan dan kekacauan ini pada saat bencana.
Masalah kesehatan reproduksi pada saat bencana tidak dapat ditangani oleh dinkes sendiri. Penanganannya harus terintegrasi dan direncanakan jauh sebelum kejadian bencana. Namun, pengalaman kejadian Merapi ternyata juga susah untuk memisahkan pengungsian ibu dan anak dengan laki-laki. Apalagi masalah pendistribusian bantuan makanan yang harusnya ibu, anak, dan lansia tidak mendapat jatah bantuan makanan yang sama dengan laki-laki.
Kasus-kasus ibu hamil yang stress, ibu yang kemudian mengganti ASI dengan bantuan susu formula, serta wabah diare pada anak dan bayi karena kurangnya akses air bersih menjadi pemberat dalam meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu dan anak pada saat bencana. Sampai saat ini pedoman yang dibuat oleh kemenkes cukup relevan untuk diterapkan tetapi yang menjadi masukan adalah bagaimana hal ini dapat terdistribusi dengan baik ke pelaksana teknis dilapangan pada saat bencana.
Pembicara kedua, dr. Sari Mutia Timur merupakan perwakilan dari YEU atau YAKKUM Emergency Unit yang telah lama kite ketahui kiprahnya dalam kemanusiaan dan bencana. dr. Sari menyampaikan temuannya di lapangan mengenai data-data korban bencana. Hasilnya begitu menguatkan bahwa anak perempuan, ibu, bayi, dan lansia merupakan kelompok rentang yang paling banyak menjadi korban dalam bencana.
Banyak penyebab yang menjadikan kelompok ini rentan, satu yang menjadi sorotan adalah adanya keterbatasan akses informasi ke mereka. Selain itu, mereka rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan pasca bencana oleh laki-laki.
Seorang ibu meman menghadapi beban ganda pada saat bencana. Dimana seorang ibu juga mengalami goncangan bencana untuk dirinya sendiri, masih harus mengurusi anak dan bayinya, ditambah lagi dengan pemenuhan kebutuhan psikologis dia dan suaminya. Hal –hal ini yang harus mau tidak mau kita perhatikan jika tidak ingin kondisi bencana dan krisis kesehatan mempengaruhi pencapaian target kesehatan masyarakat.
Pembahas pada sesi ini adalah mantan Kepala Dinas Kesehatan Bantul yang disebutkan pengalamannya bersama dengan dr. Inni dalam bencana Bantul tahun 2006. Point utama pembahasan beliau kepada pembicara adalah adakah sudah wawasan mengenai peningkatan risiko bencan ini dalam pencapaian target kesehatan masyarakat. Beliau memulai dengan menampilkan dasar-dasar hukum yang mendasari pentingnya penanganan bencana dan krisis kesehatan serta penyelamatan ibu dan anak. Selanjutnya beliau membahas mengenai bagaimana layanan kesehatan masyarakat tetap berjalan meskipun terjadi bencana? yakni dengan pencatatan yang baik sehingga perencanaan ibu melahirkan dan kesakitan anak dapat diupayakan semaksimal mungkin pada saat bencana terjadi meskipun layanan kesehatan kollaps untuk sementara pada saat bencana. Beliau mengomentari belum konkritnya strategi dinkes dalam hal rumusan penanganan ibu dan anak pada saat bencana pasca MDGs. Sedangkan untuk LSM beliau mengomentari mengenai pencatatan dan masukan data untuk pemerintah mengenai angka-angka korban ibu dan anak pada saat bencana.
Beberapa pertanyaan pada sesi diskusi
- Apakah buku pedoman penanganan bencana yang dimaksud oleh pembicara sudah pernah diujikan keoperasionalannya?
- Apakah latihan bencana untuk kesehatan reproduksi ini sering dilatihkan?
- Bagaimana masalah bentuan susu formula bagi pengungsi?
- Bagaimana mengenai istilah “tenda biru” dan “bilik asmara” untuk berhubungan suami istri pada saat pengungsia. Relawan luar negeri menganggap ini hal yang tidak perlu kita perhatikan, bagaimana di Indonesia?
Pertanyaan dijawab secara merata oleh pembicara dan pembahas pada sesi 1 ini. Masalah pengujian pasti sudah melalui tahap pengujian untuk mengeluarkan sebuah pedoman, tetapi jika akademisi mau meneliti barangkali bisa juga dilakukan. Masalah latihan bencana itu kerap dilaukan tetapi secara umum memang, yang khusus untuk masalah kesehatan reproduksi memang belum banyak. Saat ini yang penting sebenarnya justru layanan kesehatan seperti rumah sakit dan puksesmas yang harus sering latihan bencana, kalau sekolah dan masyarakat sudah sering.
Malasah bantuan susu formula memang menjadi masalah selama ini. Namun, sudah ada aturannya tidak boleh bantuan susu formula karena ini akan bertentangan dengan kebijakan ASI Ekslusif minimal 6 bulan. Kejadian bantuan susu formula, dalam penelitian memang meningkatkan kajadian kesakitan diare untuk itu sudah saatnya tidak ada lagi bantuan susu formula untuk bayi dan ibu pada saat bencana.
Ini menarik sekali. Wajar jika relawan luar negeri menganggap masalah seksual merupakan masalah individual pengungsi. Namun, yang perlu kite perhatikan bahwa pengungsian yang terjadi di luar negeri jarang sekali yang terjadi lama dan bekepanjangan seperti di Indonesia, sehingga masalah seksual tidak begitu mereka perhatikan. Namun bagaiman jika pengungsian yang mengungsi sampai berbulan-bulan, maka penyediaan fasilitas berhubungan seksual yang aman butuh kita siapkan, misalnya seperti yang kita kenal dengan tenda biru dan bilik asmara.