Reportase Sesi 2
Seminar Kaitan Peningkatan Risiko Bencana dengan Pencapaian MDGs
Senin, 16 Maret 2015 || Ruang Senat lantai 2 Gedung KPTU Fakultas Kedokteran UGM
dr. Nandy Wilasto peneliti dari Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK UGM sebagai moderator sesi 2 ini.
Pembicara pertama, Prof. Tjandra Yoga Aditama menyampaikan pengantar mengenai Nawacita sebagai dasar politik Indonesia saat ini. dalam lima tahun ke depan pemerintah sudah mengupayakan untuk kesehatan yang tercermin dalam nawacita 5 disusul nawacita 3 dan 6. Dimana posisi dampak perubahan iklim mempengaruhi semuanya.
Litbangkes sudah pernah melakukan penelitian yang terkait mengenai perubahan iklim dan kesehatan, diantaranya pada tahun 2012 dimana penelitian untuk melihat wawasan pemerintah terhadap perubahan iklim. Pencatatan data kesehatan juga masih buruk, padahal adanya dampak perubahan iklim kita harus siaga dengan data yang kuat sehingga mudah untuk melakukan prediksi untuk kesiapsiagaan. Hasil ini merekomendasikan surveilans sistem yang baik ke depannya.
Banyak dampak kesehatan secara nyata akibat perubahan iklim seperti kejadian deman berdarah, diare, dan gizi buruk. Ini semua meningkatkan beban ganda Indonesia dalam menyelesaikan masalah kesehatan.
Penelitian pernah dilakukan di Manado dan juga DIY. Curah hujan jelas ada hubungannya dengan peningkatan kasus DBD. Semua ini dapat dijelaskan dengan pola statistik, data inilah harapannya yang dapat diterjemahkan untuk melakukan tindakan mitigasi dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan.
Pembicara kedua dari WHO CC, dr. Nirmal Kandel. Beliau telah dua kali hadir dalam kegiatan seminar kebencanaan yang diselenggarakan oleh FK UGM. Dalam paparannya dr.Nirmal menekankan mengenai pola dan dampak perubahan iklim yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kesehatan dan berdampak untuk meningkatkan krisis kesehatan.
Dampak kesehatan yang jelas dirasakan adalah meningkatnya kejadian penyakit menular dengan cepat, adanya dampak kesehatan dan kematian akibat peningkatan kejadian bencana alam, dan juga mengenai pencemaran udara yang mempengaruhi kesehatan masyarakat. Kerentanan masyarakat semakin melemah jika ia berada pada kelompok miskin di negara berkembang.
Yang dibutuhkan adalah penguatan sistem kesehatan dan ekonomi. Upaya kesiapsiagaan dan perenanaan yang baik dibutuhkan dalam menghadapi beban ganda seperti ini. Sektor kesehatan harus memperkuat dirinya.
Pembahas pada sesi ini adalah Prof. Hari Kusnanto dari Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UGM. Pembahas melakukan bahasan pada dua materi yang disampaikan. Dukungan beliau terkait penelitian sebelumnya yang disampaikan pemateri. Ditambahkan bahwa dengan menggunakan pola iklim dan kejadian DB di negara lain kita dapat memprediksi kejadian DB di negara kita. yang jelas ada pola hubungannya adalah dari Google analitik antara kejadian DB di India dengan Indonesia. Kejadian DB di Indonesia selalu didahului oleh kejadian DB di India.
Bagaimana mengatasi ini semua? Tidak ada yang bisa kita lakukan selain siaga dengan upaya mitigasi. Di kesehatan masyarakat kita mengenal adanya tingkatan pencegahan penyakit, maka dalam menghadapi krisis kesehatan dampak perubahan iklim juga seperti itu.
Beberapa pertanyaan pada sesi diskusi:
- Siapa yang mengkoordinasikan penanggulangan dampak perubahan iklim?
- Kematian suku anak dalam, apakah ada kaitannya dengan perubahan iklim ini?
- Adakah dampak perubahan iklim terhadap penyakit neurologi?
- Bagaimana kita menggunakan data penelitian ini untuk advokasi kebijakan?
Jawaban oleh Prof. Tjandra bahwa ditingkat nasional kita memiliki BNPB sebagai koordinator dalam penanggulangan bencana dan ada juga dewan perubahan iklim nasional yang mengurusi mengenai dampak perubahan iklim. Nah biasanya kebijakan ditingkat atas bersifat umum maka supaya cepat seluruh masyarakat harus berperan serta terutama yang melaksanakan teknisnya dilapangan.
Masalah kematian anak suku dalam, banyak faktornya, tidak bisa kita katakana karena perubahan iklim saja, bisa jadi itu karena pembabatan hutan. Yang jelas jika perubahan iklim pada beberapa negara telah mengganggu sistem pertanian dan ini yang meningkatkan kejadian kelaparan dan malnutrisi.
Kaitan dengan neurologi ada juga. Perubahan iklim juga berdampak tidak langsung dengan tingkatan stress masyarakat, kemiskinan, dan juga masalah psikososial.
Penggunaan data perubahan iklim terhadap penyakit ini dapat dianalogikan seperti efek Dewi Kasandra yang dikutuk setiap pembicaraannya tidak akan dipercaya. Sama halnya dengan data-data dampak perubahan iklim terhadap lingkungan dan kesehatan. Seolah-olah perubahan iklim adalah fenomena natural yang terjadi sejak dulu. Lagi pula ketika berbicara pengurangan emisi gas maka kepentingan yang terlibat banyak sekali salah satunya adalah negara berkembang dan industri. Untuk itulah dibutuhkan upaya advokasi dari kita bersama seperti pada pertemuan ini untuk kerap mengangkat isu perubahan iklim dan kesehatan ditingkat ilmiah dan dirumuskan sebagai rekomendasi kebijakan untuk sektor kesehatan.