Mataram (Suara NTB) – Alokasi anggaran untuk penanganan bencana harus ditingkatkan. APBD pada daerah-daerah di NTB hanya 0,02 persen. Angka ini masih jauh dari ideal untuk memaksimalkan penanggulangan bencana yang kompleks di NTB.
Hal itu disampaikan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, H.Ahsanul Khalik saat menghadiri workshop dengan tema Strengthening National Natural Disaster Preparedness : Perspectives from Local Governments di Jakarta, Selasa, 10 September 2019. Acara dihadiri Kepala BPBD se Indonesia yang rawan gempa.
Diskusi digagas oleh Centre For Strategic and International Studies berlangsung hangat. Dalam keterangan tertulisnya, Ahsanul Khalik menyebut, silih berganti Kepala Pelaksana BPBD dari berbagai provinsi memaparkan kondisi daerahnya. Termasuk Kepala Pelaksana BPBD Palu dan NTB.
Mantan Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB ini menyebut, semua daerah mengalokasikan APBD untuk bencana relative kecil. Padahal dari 14 jenis bencana alam, 11 diantaranya terjadi di NTB.
“Anggaran kebencanaan hanya 0,02 persen. Perlu dipikirkan kebijakan politik dari pusat di APBD atau di APBN,” sebut Khalik.
Idealnya, kata dia, dana penanggulangan bencana adalah 2 persen dari total APBD masing-masing daerah. ‘’Bisa 2 persen atau berapa. Intinya perlu ditingkatkan,’’sarannya.
Ahsanul Khalik juga memaparkan, soal gempa bumi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa banyak hal yang dipelajari. Diantaranya, system komando kebencanaan harus jelas. ‘’NTB sejak ratusan tahun lalu dikenal sebagai daerah rawan gempa,’’ katanya.
Dalam catatannya, tahun 1856 gempa, 1815 Gunung Tambora.
“Sejarah ini berulang selalu dilupakan masyarakat,’’ kata Khalik.
Sebagai solusi, literasi kebencanaan menjadi penting. Pengalaman terjadi bencana tahun 1978 dan 2018 begitu mudah dilupakan.
Penjelasan lain, sambung Khalik, setiap terjadi bencana ada kebingungan soal distribusi logistic bagi para penyintas. Hingga ada media yang menyampaikan informasi berseberangan dengan fakta lapangan. Dicontohkannya, saat korban gempa makan daun turi ditulis makan rumput.
‘’Akhirnya ramai. Petugas itu padahal menyisir sampai di atas gunung, saat kejadian stok kebutuhan memang tak ada,’’ bebernya.
Lebih lanjut, penguatan penanggulangan bencana di daerah, pola vertical khusus provinsi atau penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) di BPBD harus dipikirkan dengan baik.
‘’Bapak-bapak yang hadir tentu tahu. Di BPBD itu dianggap buangan itu terjadi pula di daerah lain. Lalu bagaimana bias bekerja optimal,’’ kata Khalik.
Ia mengakui, pendekatan kebencanaan tak hanya bisa dilakukan pemerintah. Perlu pula membangun komunitas dengan pendekatan kearifan lokal. Menjadi komunitas tangguh bencana. Di NTB ada masyarakat adat yang tak terpengaruh dengan gempa.
‘’Rumah adat tak rusak dan mereka bisa mitigasi sendiri. Ke depan komunitas ini harus digerakkan,’’urainya.
Berkaca dari sejumlah bencana, Khalik menambahkan, perlu ada statistik kebencanaan. Ini untuk mengetahui data prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Di NTB saat ini sedang mencoba membangun satu data kebencanaan belajar dari data 2018. Hal lain, dengan pendekatan agama dan budaya dilakukan pemerintah. Dengan agama ada brosur khutbah Jumat yang disebar ke masjid-masjid.
‘’Termasuk penguatan tokoh agama. Peran ini dilakukan oleh Non Government Organization (NGO. Pusat perlu berikan regulasi,’’ pungkasnya. (ars)