27 Dec2019
15 Tahun Tsunami Aceh, Pemantik Kesadaran Mitigasi Bencana Alam
Jakarta, IDN Times - Pada 26 Desember 2004, tsunami terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Bencana dahsyat lima belas tahun lalu itu memakan korban hampir 200 ribu jiwa. Tsunami datang tak lama setelah gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter mengguncang Aceh.
Tsunami Aceh, kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo, adalah bencana besar yang mengubah pola pikir Pemerintah Indonesia hingga internasional tentang bencana.
"Pemerintah berpikir penanggulangan bencana tidak sekedar respons, bukan hanya lebih fokus ke respons, ternyata bisa disiapkan sebelumnya (untuk penanggulangan)," ujar Agus saat dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (23/12).
1. Pemerintah mengubah pola penanganan bencana alam setelah peristiwa tsunami Aceh
PFI Aceh menggelar pameran foto bertajuk Tanah Retak dalam memperingati 15 tahun peristiwa Tsunami Aceh (IDN Times/Saifullah)
Sebelum tsunami Aceh, Agus menjelaskan, pemerintah Indonesia hanya memiliki lembaga yang fokus merespons pasca-bencana saja. Lembaga tersebut adalah Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
Lalu setelah tsunami tersebut, lahirlah Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU tersebut diatur tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana.
"...Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi....," bunyi UU Nomor 24 Tahun 2007 Bab 1 Pasal 1 ayat 5.
2. BNPB lahir setelah tsunami Aceh. Pemerintah akhirnya fokus menanggulangi sebelum, saat, dan pasca-bencana
Sisa-sisa lumatan tsunami di Aceh. (Dok. Rappler)
Satu tahun setelah UU tersebut lahir, tepatnya pada 2008, melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dibentuk lembaga independen yang fokus pada penanggulangan bencana secara nasional yaitu, BNPB.
Bukan hanya Indonesia, kejadian tsunami Aceh juga mempengaruhi pola pikir internasional dalam melihat sebuah bencana. Agus menjelaskan, melalui peristiwa tersebut penanggulangan bencana pun dimulai dari sebelum, saat, dan sesudah kejadian.
"Mengubah mindset Indonesia dan internasional bahwa penanggulangan bencana sebelum, saat, dan setelah memiliki dampak besar," lanjutnya.
3. Kajian tentang mitigasi bencana dikembangkan setelah peristiwa Tsunami Aceh
Sehari sesudah tsunami Aceh, 26 Desember 2004, warga mencari anggota keluarga yang jadi korban. (Dok. Rappler)
Bukan hanya mengubah mindset, Agus menjelaskan, tsunami Aceh juga menjadi peristiwa yang menjadi bahan riset internasional untuk mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah sebuah langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan dari sebuah bencana.
Agus menjelaskan, melalui peristiwa tsunami Aceh muncul kebijakan pembangunan berbasis mitigasi bencana. Kebijakan tersebut berguna untuk mengatur standar pembangunan di daerah yang rawan bencana.
"Iya, kebijakan ada, artinya di pinggir (daerah rawan bencana) boleh, tapi ada mitigasi bencananya, jadi persiapan-persiapan, daerah rawan bencana dibangun boleh, tapi harus disesuaikan," ujarnya.
4. Masyarakat diperkenalkan tentang mitigasi bencana
Ilustrasi simulasi bencana. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Sampai saat ini, tsunami Aceh masih menjadi bahan kajian untuk mitigasi bencana di Indonesia. Selain fokus pada peristiwa bencana, pemerintah juga mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar daerah rawan bencana.
Sosialisasi tersebut berguna untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pada sebelum, saat, dan sesudah bencana. Sosialisasi untuk masyarakat itu bernama Keluarga Tangguh Bencana (Katana).
"BNPB buat Katana, itu buat keluarga menyiapkan menghadapi bencana, agar sadar semua kalau ada bencana banyak yang selamat," jelas Agus.