RADARSOLO.ID – Berbagai bencana alam berpotensi terjadi di Tanah Air. Mayoritas adalah hydro meteorologi. Mulai dari tanah longsor, banjir, dan lain sebagainya. Sekelompok mahasiswa ini membuat alat pembangkit listrik bagi daerah-daerah rawan bencana. Dengan memanfaatkan aliran air sungai. Seperti apa?
SEPTINA FADIA PUTRI, Solo, Radar Solo
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan terjadi 2.925 bencana alam sepanjang 2020. Semua bencana tidak jauh dari hydro meteorologi. Beberapa upaya mitigasi dilakukan. Salah satunya dengan pemadaman listrik di wilayah terdampak bencana. Biasanya PLN akan memadamkan listrik dalam beberapa kondisi.
Ambil contoh, adanya gardu listrik yang terkena guncangan tanah longsor atau banjir. Sehingga penduduk di daerah itu tidak bisa memanfaatkan fasilitas listrik lantaran pemadaman yang biasanya dilakukan secara mendadak. Maka wilayah terdampak bencana akan membutuhkan penyimpanan energi listrik yang cukup mewadahi. Apabila terjadi pemutusan arus listrik. Sekaligus memperoleh listrik yang didapatkan secara alternatif.
“Merespons fenomena itu, kami merancang alat pembangkit listrik yang bisa portable digunakan diaplikasikan pada daerah-daerah rawan bencana alam hydro meteorologi. Yakni pembangkit listrik drag type turbin. Dengan tenaga micro hydro berbasis teknologi ultra low head (ULH) stream,” ungkap Lana Alfirza, mahasiswa teknik mesin Universitas Sebelas Maret (UNS) kepada Jawa Pos Radar Solo.
Alat pembangkit listrik ini memanfaatkan penggunaan turbin tipe drag. Tujuannya, mewujudkan daerah rawan bencana yang tangguh energi. Pengaplikasiannya berada di daerah-daerah rawan bencana di Indonesia. Di Kota Solo dan sekitarnya, alat ini diaplikasikan di Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.
Sudah ada salah satu percontohan desa di Indonesia. Tepatnya di Jambi. Di sana memang benar-benar bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di desa itu untuk dijadikan energi listrik. Seperti air dan sel surya dari panas matahari.
“Nah, kami ingin mewujudkan di Solo dan sekitarnya. Kenapa kita tidak menggunakan energi air yang melimpah. Di daerah pegunungan seperti di Lawu, Jenawi, Tawangmangu, Ngargoyoso, dan Boyolali. Di sana mata air sangat melimpah. Kenapa tidak diaplikasikan turbin ini di sana?” bebernya.
Lana bersama dua rekannya, Muhamad Satya Ragil Kencono dan Muhammad Hadziq Munajih lantas membuat alat itu sebagai solusi untuk memanfaatkan energi air menjadi energi listrik. Harapannya, alat ini bisa dimanfaatkan oleh warga desa bila ada pemutusan aliran listrik.
Lana menyontohkan studi kasus di Jenawi. Di sana sering terjadi bencana tanah bergerak. Sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi pemadaman listrik. Sedangkan di Jenawi ada potensi sumber daya air yang melimpah. Ini bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Maka alat ini cocok diaplikasikan di sana.
“Harapannya, apabila ada tanah bergerak di Jenawi, bisa mengaplikasikan alat ini. Untuk pembangkit listrik di sana. Setidaknya bisa menjadi penerangan bila warga ada evakuasi atau penyelamatan dini. Jadi tidak gelap-gelap amat saat malam hari terjadi bencana,” sambungnya.
Alat ini sudah diaplikasikan di Desa Bonglot, Kecamatan Jenawi, Karanganyar. Dengan potensi lebar sungai 0,5 meter. Kecepatan total arus mencapai 2,83 meter per second. Debit air total sebesar 99,2 liter per detik.
Mengapa menggunakan drag type turbin pada pembangkit listrik ini? Lana mengatakan, tipe ini adalah salah satu turbin yang efektif untuk bisa dikomparasikan pada alat serupa yang ada di Jepang. Lana mengaku aplikasi alat pembangkit listrik buatannya memodifikasi apa yang ada di Jepang.
“Nah kelebihannya, ada pada pengaplikasian teknologi ULH stream. Aliran sungai yang ada di Indonesia itu banyak sekali. Ini salah satu potensi yang melimpah. Kami merekayasa bagaimana memanfaatkan aliran yang ada di Indonesia dengan alat ini,” sambungnya.
Perbedaan alat ini dengan alat di Jepang, Lana mengklaim, dimensi yang dibuat lebih kecil dan lebih ramping. Selain itu, alat ini portable sehingga bisa dibawa ke mana-mana. Termasuk didesain agar bisa dibongkar pasang sesuai keinginan dan kebutuhan pengaplikasian.
Teknologi ULH stream ini suitable dengan kontur atau sebaran aliran di Indonesia. Turbin tipe drag yang efisien berpotensi menghasilkan daya output yang lebih maksimal bila dibandingkan dengan alat di Jepang.
“Kami menggunakan drag type turbin ini bukan tanpa alasan. Karena efisiensi yang sangat maksimal dan daya output yang maksimal juga,” imbuhnya.
Soal paten hak kekayaan intelektual alat ini, Lana menyebutkan timnya sudah mendaftarkan paten terkait desain industri. Dengan demikian ada potensi alat ini bisa dikomersilkan. Dibanderol Rp 5 juta.
“Harapannya, alat ini bisa diaplikasikan di berbagai daerah. Terutama daerah rawan bencana. Agar menjadi daerah yang tangguh,” ujarnya. (*/bun)