Jakarta: Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengajak para insinyur Indonesia berkolaborasi menghadapi ancaman multi bencana akibat perubahan iklim ataupun fenomena tektonik-vulkanik. Peran insinyur sangat dibutuhkan dalam upaya mitigasi bencana alam.
"Sebagai negara kepulauan yang terletak di wilayah cincin api dan juga negara seismik aktif, Indonesia rentan terhadap risiko multi-bencana alam baik berupa gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, banjir bandang, banjir rob, puting beliung, dan longsor. Realitas ini menjadi tantangan bagi kita semua termasuk para insinyur Indonesia, untuk sama-sama bergotong-royong mewujudkan zero victim," kata Dwikorita melalui keterangan tertulis, Minggu, 5 Juni 2022
Dwikorita menyebut letak geografis Indonesia harus disikapi Insinyur Indonesia dengan senantiasa mengedepankan atau mengintegrasikan manajemen risiko bencana dalam setiap pekerjaan perencanaan, pembangunan, operasional dan pemeliharaan Infrastruktur. Selain itu, menempatkan komunitas masyarakat sebagai mitra aktif.
Upaya pemberdayaan masyarakat melalui edukasi dan literasi perlu dilakukan agar masyarakat dapat berpartisipasi menjaga, memelihara, dan mendukung pengoperasian sistem atau infrastruktur yang dibangun. Dengan demikian efektivitas dan keamanan infrastruktur atau sistem yang dibangun dapat terwujud secara berkelanjutkan.
"Insinyur juga bertanggungjawab terhadap literasi kebencanaan masyarakat. Masyarakat perlu dikenalkan desain baru bangunan hingga material bangunan yang lebih baik untuk meminimalisasi risiko kegagalan bangunan akibat gempa," ujar dia.
Dwikorita menjelaskan perubahan iklim menjadi faktor penguat mengapa cuaca ekstrem makin sering terjadi di Indonesia. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es atau kekeringan panjang.
"Karenanya, perlu upaya mitigasi yang dilakukan seluruh pihak dan lapisan masyarakat secara komprehensif dan terukur, guna menahan laju perubahan iklim, beradaptasi dan memitigasi dampaknya," tutur dia.
Kenaikan Suhu
Dwikorita menjelaskan apabila situasi saat ini terus dibiarkan, kenaikan suhu di seluruh pulau utama di Indonesia bisa mencapai 3.5 hingga 4 derajat celcius pada tahun 2100. Kenaikan tersebut, empat kali dibandingkan zaman pra industri.
Akibat kenaikan suhu, es di puncak Jaya Wijaya di Papua, pada 2025 diperkirakan akan hilang sepenuhnya.
"Mitigasi harus dilakukan segera, tidak bisa ditunda-tunda karena situasi kekinian sangat mengkhawatirkan. Contohnya, Siklon Seroja yang terjadi di NTT tahun 2021, semestinya tidak terjadi di wilayah tersebut. Namun, akibat kenaikan suhu muka laut di perairan NTT sebagai dampak perubahan iklim, siklon tersebut terjadi," jelas dia.
Dwikorita mengatakan, peningkatan suhu tersebut akan memicu terjadinya cuaca ekstrem dan anomali iklim yang semakin sering. Intensitasnya pun semakin kuat dengan durasi panjang.
(DEV)