tirto.id - Indonesia memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Masing-masing wilayahnya memiliki keunikan dan kearifan lokal (local wisdom) tersendiri. Salah satunya adalah kearifan lokal dalam mitigasi bencana banjir dan longsor di Indonesia.
Kearifan lokal merupakan ide-ide yang muncul dari hasil olah pikir masyarakat setempat (lokal) yang sifatnya bijak, penuh kearifan, dan bernilai baik yang ditanamkan dan diikuti oleh para anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal memuat ketentuan-ketentuan khusus yang meliputi nilai, norma, kepercayaan, etika, dan adat-istiadat.
Pengetahuan lokal ini biasanya sudah dipraktikkan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Pengetahuan yang sifatnya tradisional ini digunakan masyarakat setempat untuk dapat beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan yang ada. Disamping itu, hal tersebut juga menjadi dasar dalam melakukan tindakan mitigasi bencana oleh masyarakat lokal.
Mitigasi Bencana Banjir dan Longsor di Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 ayat 6 PP Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana.
Adanya perubahan iklim di Indonesia yang terjadi secara terus-menerus mengharuskan masyarakat untuk selalu waspada terhadap kedatangan bencana alam yang dapat menimpa wilayah mereka sewaktu-waktu. Perubahan iklim ini salah satunya menyebabkan adanya intensitas curah hujan yang tinggi di Indonesia.
Dikutip dari laman Pojok Iklim, selain karena faktor letak Indonesia yang strategis dan berada di garis khatulistiwa, curah hujan yang tinggi ini juga disebabkan karena aktivitas penebangan pohon yang dilakukan oleh manusia. Sehingga, hal ini dapat memperparah dan mendatangkan adanya bencana banjir dan tanah longsor.
Untuk itu, pada zaman dahulu nenek moyang kita secara tradisional mengaplikasikan pengetahuan tentang pengelolaan alam dan lingkungan menjadi sebuah tindakan mitigasi bencana. Berikut ini sejumlah kearifan lokal dalam mitigasi bencana banjir dan longsor.
Contoh Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana Banjir dan Longsor di Indonesia
Berikut ini sejumlah contoh kearifan lokal yang diterapkan turun-temurun di berbagai daerah di Indonesia untuk mitigasi bencana banjir dan longsor.
1. Lamban Langgakh Sebagai Mitigasi Bencana Banjir di Lampung
Lamban langgakh merupakan sebutan untuk rumah panggung di daerah Pesisir Barat, Lampung. Kearifan lokal berupa rumah panggung ini selain digunakan untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami, serta juga digunakan untuk mitigasi bencana banjir.
Rumah panggung ini berbahan utama kayu atau papan yang diperkuat dengan pasak dan tiang, serta memiliki ketinggian 2-3 meter di atas permukaan tanah.
Bangunan rumah panggung yang ditinggikan ini dapat menjadi alternatif solusi dalam menghadapi bencana banjir. Sebab, air yang datang ketika banjir tidak akan sampai merendam dan masuk ke rumah warga.
Tradisi membangun rumah panggung selain diterapkan di Pesisir Barat, juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Baduy, Banten dan masyarakat Bojongkoneng, Bogor.
2. Repong Damar di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung
Repong damar merupakan kearifan lokal yang mengadaptasi sistem agroforestri kompleks untuk mengelola lahan di hutan secara baik.
Masyarakat di Kabupaten Pesisir, Lampung memiliki larangan tersendiri untuk dapat tetap mengatur dan menjaga kelestarian alam hutan melalui hukum adat.
Masyarakat setempat dilarang menebang pohon damar. Penebangan pohon damar dipercaya akan mendatangkan malapetaka kepada sang penebang.
Namun sebaliknya, apabila masyarakat memperkaya kebun damar dengan menanam tanaman buah lainnya seperti durian, duku, petai, dan yang lainnya, dipercaya panen getah damar akan melimpah.
Dikutip dari tesis yang berjudul “Kearifan Lokal Untuk Mitigasi Bencana pada Masyarakat Rawan Bencana Gempa, Tsunami, Longsor, Banjir di Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung” karya Meri Herlina, fungsi dari repong damar ini sebenarnya adalah sebagai zona penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang digunakan sebagai daerah tangkapan air dan penstabilan iklim.
Salah satu alasannya adalah karena akar pohon damar yang besar, keras, dan tunjam dapat menahan laju tanah jika akan terjadi longsor.
3. Pikukuh Karuhun oleh Masyarakat Baduy, Banten
Pikukuh karuhun merupakan sejumlah aturan atau ketentuan adat yang harus dilaksanakan masyarakat Baduy untuk mencegah terjadinya bencana alam.
Ketentuan pikukuh karuhun ini di antaranya adalah terkait pembuatan bangunan (rumah, jembatan, lumbung, dsb), larangan untuk mengubah jalan air, mengubah kontur tanah, dan meratakan tanah untuk pemukiman.
Dikutip dari artikel “Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Baduy” dalam Jurnal Penelitian Humaniora (Vol. 19, No. 1, 2014), pada suku Baduy, bangunan rumah panggung terbuat dari bahan kayu, bambu, ijuk, rumbia, dan tanpa menggunakan paku dengan ukuran yang hampir sama masing-masing rumahnya.
Hal tersebut dilakukan masyarakat setempat semata-mata sebagai upaya mitigasi bencana gempa, longsor, banjir, dan kebakaran.
Meskipun wilayah masyarakat Baduy merupakan tempat yang dikenal rawan terkena bencana alam, upaya mitigasi tersebut terbukti berhasil diterapkan dan meminimalisir terjadinya bencana alam di wilayah mereka.
4. Pengklasifikasian Hutan dan Lahan
Masih mengenai kearifan lokal masyarakat Baduy, fungsi hutan dibagi menjadi tiga jenis yakni hutan larangan (kawasan larangan), hutan dungusan atau dudungusan (kawasan perlindungan), dan hutan garapan (kawasan budidaya), seperti diterangkan oleh Permana, dkk di artikel Makara, Sosial Humaniora (Vol. 15, No. 1, 2011) yang berjudul “Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy”.
Hutan larangan merupakan hutan lindung yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang. Hutan dudungusan adalah kawasan hutan pelestarian yang dianggap keramat sebagai tempat leluhur. Sementara itu, hutan garapan adalah kawasan hutan yang dapat dijadikan ladang (huma) untuk bertani para penduduk Baduy.
Merujuk pada sumber lainnya dari catatan Ruli dan Nandang dalam prosiding “Kajian Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Dalam Pengelolaan Lingkungan Berbasis Mitigasi Bencana” di Universitas Siliwangi, pengklasifikasian dengan zonasi kawasan hutan dan lahan ini juga diterapkan oleh masyarakat Desa Kampung Naga, Tasikmalaya.
Bedanya di Kampung Naga zona ini terbagi menjadi kawasan suci, kawasan bersih, dan kawasan kotor.
Selain hal tersebut digunakan sebagai upaya mitigasi bencana banjir dan longsor, pembagian hutan ini juga ditujukan untuk menjaga dan melestarikan daerah penyangga agar tetap menghasilkan keseimbangan lingkungan.
5. Tatali Paranti Karuhun oleh Warga Kasepuhan
Dikutip dari artikel “Mitigasi Bencana Longsor pada Komunitas Kesatuan Adat Banten Kidul di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi” dalam Antologi Pendidikan Geografi (Vol. 1, No. 2, 2013), tradisi tatali paranti karuhun berisi norma-norma dan pengetahuan tentang cara bertani yang dilakukan masyarakat Kasepuhan. Terdapat dua jenis pertanian yang dilakukan, yakni perladangan dan sawah.
Dalam sistem perladangan yang dilakukan warga Kasepuhan, terdapat tahapan nyacar, yaitu tahap penyiapan lahan.
Pada tahap ini, pepohonan yang menutupi lahan sengaja tidak ditebang karena hal itu dianggap pamali oleh warga sekitar.
Jadi, lahan yang sudah siap tersebut tidak akan mengalami perubahan yang mendasar, dan juga tidak akan beralih fungsi ke penggunaan yang lain (deforestasi).
Maka dari itu, sistem perladangan dengan metode tradisi tatali paranti karuhun ini tidak memicu longsor dan sebagai upaya mitigasi bencana longsor.
Selain itu, ada juga sejumlah kearifan lokal warga Kasepuhan lainnya yang digunakan sebagai upaya mitigasi bencana longsor adalah bentengan, lelemahan, ngebeberah, dan talutug.
6. Kepercayaan Masyarakat Desa Bojongkoneng, Bogor
Masyarakat desa Bojongkoneng memiliki kepercayaan tersendiri tentang adanya pamali (hal yang tidak boleh dilakukan) terkait pengrusakan lingkungan.
Menurut kepercayaan mereka, barang siapa yang menebang dan merusak pohon di hutan dan menambang batu, mereka akan diganggu oleh jurigan.
Kepercayaan lainnya berbentuk cerita rakyat yang merupakan prediksi masyarakat mengenai kejadian bencana longsor.
Prediksi tersebut digunakan untuk dapat mengontrol perilaku masyarakat yang ada agar tetap menjaga lingkungannya dan lebih waspada terhadap datangnya bencana alam.
Merujuk pada catatan Randy dkk. dalam “Peran Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana: Studi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Longsor di Desa Bojongkoneng, Kabupaten Bogor” yang dimuat Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana (Vol. 7, No. 2, 2016), dengan adanya keyakinan tersebut, masyarakat Bojongkoneng secara turun-temurun dibekali dengan keterampilan membuat penahan longsor yang dibuat dari bambu. Ini bertujuan untuk menahan pergerakan tanah dan mengurangi dampak longsor.