Jakarta, CNBC Indonesia - China kembali mengalami bencana baru pasca wabah Covid-19. Kali ini, fenomena gelombang panas mulai melanda Negeri Tirai Bambu.
Bencana ini pun membuat buah-buahan seperti persik dan buah naga gagal dipanen oleh petani. Ini diakibatkan kekeringan yang masih merupakan dampak turunan gelombang panas.
"Ini benar-benar pertama kalinya dalam hidup saya menghadapi bencana seperti itu. Tahun ini adalah tahun yang sangat menyedihkan," kata seorang petani dari wilayah Chongqing, Qin Bin, kepada AFP, Jumat (26/8/2022).
"Kita seharusnya memanen buah-buahan sekarang, tetapi semuanya hilang, mati karena terik matahari."
Panas yang ekstrim juga telah memaksa Qin dan rekan-rekan petani untuk bekerja pada jam-jam yang tidak biasa. Mereka bekerja dari jam 10 malam sampai jam 4 pagi untuk menghindari cuaca panas.
"Tidak mungkin berolahraga di kebun, karena suhu tanah sekitar 60 derajat Celcius ... kami mengukurnya kemarin," jelasnya.
"Jika panas berlangsung hingga 4 September seperti yang dikatakan beberapa dari mereka (pemerintah), mungkin lebih dari separuh pohon yang kami upayakan siang-malam untuk menyelamatkan akan mati."
Wilayah China utamanya bagian Selatan telah mencatat periode suhu tinggi terlama sejak pencatatan dimulai lebih dari 60 tahun yang lalu. Ini pun mendorong pemadaman listrik.
Selain itu, Pemerintah China juga telah memperingatkan bahwa fenomena ini menimbulkan 'ancaman parah' bagi panen musim gugur negara itu. Beijing pun telah menjanjikan miliaran yuan bantuan segar kepada petani.
Namun bagi petani seperti Qin, bantuan apa pun akan dianggap terlambat. Pasalnya, panen yang merupakan sumber utama penghasilannya, telah mengering
"Pada dasarnya semua mati. Pemerintah telah melakukan upaya besar untuk membantu kami, tetapi itu hanya dapat menghidupkan pohon, bukan buah-buahan," katanya.
"Jika Anda berjalan-jalan di sekitar kota kami, Anda dapat merasakan skala bencana," tambahnya.
Diketahui, gelombang panas ini juga membuat sungai di China mengering. Bukan hanya itu, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) juga tak mampu memnuhi pasokan listrik warga dan beralih ke batu bara.