Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dari definisi tersebut, bencana dapat dikelompokkan menjadi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Masih dalam undang-undang yang sama, bencana alam dapat didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Tulisan ini akan membahas tentang bencana alam.
Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pusat pertemuan dua pegunungan muda, yaitu Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik. Indonesia juga berada pada pertemuan 3 lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Letak astronomis Indonesia berada pada 6°LU (Lintang Utara) - 11°LS (Lintang Selatan) dan 95°BT (Bujur Timur) - 141°BT (Bujur Timur). Selanjutnya, secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Kondisi geologi, astronomi, dan geografis menyebabkan Indonesia sangat dinamis dipandang dari sisi kebencanaan terutama bencana alam. Indonesia menjadi negara yang memiliki berbagai kemungkinan terjadinya bencana. Jalur pegunungan muda menyebabkan munculnya rangkaian gunung api aktif di Indonesia yang sering meletus. Pergerakan lempeng tektonik menyebabkan Indonesia rawan gempa bumi dan bencana susulannya seperti tsunami dan tanah longsor. Indonesia termasuk dalam wilayah iklim monsun Asia. Curah hujan yang tinggi disertai angin topan, badai, dan puting beliung umum terjadi.
Berdasarkan pengamatan penulis, seringnya terjadi bencana di Indonesia tidak menjadikan masyarakat selalu waspada. Banyak masyarakat yang terkena suatu bencana seolah-olah tidak pernah mengalami bencana tersebut sebelumnya. Salah satu contoh, yaitu bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004.
Banyak masyarakat Aceh yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah gempa yang diikuti dengan surutnya air laut secara cepat dan mendadak. Mereka tidak mengetahui bahwa fenomena tersebut adalah tanda awal terjadinya tsunami yang meluluh lantakkan Aceh hingga beberapa negara di Asia Tenggara. Padahal berdasarkan catatan sejarah, Aceh telah berkali-kali mengalami tsunami dalam banyak generasi. Ketidaktahuan tersebut mungkin disebabkan kala ulang kejadian bencana yang panjang dan dapat melewati umur beberapa generasi.
Bagaimana dengan kejadian bencana yang memiliki kala ulang lebih pendek seperti letusan Gunung Merapi di Jawa?
Penulis mengamati bahwa kesiapsiagaan beberapa masyarakat juga masih rendah. Seperti kejadian letusan Merapi pada Oktober 2010. Seolah-olah mereka lupa bagaimana dahsyatnya letusan Merapi pada tahun-tahun sebelum. Mereka lebih mempercayai mistik dibandingkan tanda-tanda yang telah diberikan oleh alam. Akibatnya lebih dari 300 orang menjadi korban akibat letusan Merapi yang eksplosif.
Mengapa masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana atau tinggal di luar kawasan rawan bencana menjadi cepat lupa?
Banyak penelitian menunjukkan bahwa manusia sering meremehkan jangka waktu yang telah berlalu sejak kejadian suatu peristiwa, contohnya bencana alam masa lalu. Selain itu manusia sering kali terlalu melebih-lebihkan jumlah waktu yang telah berlalu sejak terjadinya suatu peristiwa yang lebih baru. Contohnya kejadian bencana alam yang baru saja terjadi beberapa minggu atau bulan ke belakang. Garis waktu mental manusia melengkung dan cenderung tidak sesuai dengan kronologi yang sebenarnya. Kondisi ini yang dapat menyebabkan manusia menjadi cepat lupa dan tidak siaga akan datangnya bencana.
Seringnya terjadi bencana alam seharusnya membuat manusia harus mampu menyesuaikan diri untuk dapat hidup layak. Demikian juga dengan masyarakat Indonesia. Bencana alam yang datang silih berganti menyebabkan mereka harus beradaptasi dengan kondisi tersebut. Proses adaptasi yang berlangsung panjang tersebut dapat membentuk kearifan lokal yang khas dan menyatu dengan budaya lokal dari tiap masyarakat yang tinggal pada daerah rawan bencana dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Kearifan lokal yang menyatu dengan budaya yang melekat dalam keseharian dan kehidupan masyarakat dapat menghindarkan manusia dari lupa cara menghadapi bencana dan selalu waspada dengan kemungkinan terjadinya bencana. Kearifan lokal tersebut merupakan bentuk mitigasi terbaik bagi masyarakat dalam menghadapi bencana.
Bila kita menggali lebih dalam tentang kebudayaan Indonesia, maka akan ditemukan banyak kearifan lokal yang berbentuk mitigasi bencana. Di Pulau Simeulue yang merupakan bagian dari Provinsi Aceh, masyarakatnya memiliki kearifan lokal yang bernama Smong. Smong adalah istilah kata yang berasal dari Bahasa Devayan, bahasa asli masyarakat Simeulue. Smong berarti hempasan gelombang air laut. Smong bermula ketiga terjadi tsunami yang melanda Simeulue pada tahun 1907.
Tsunami menghacurkan pemukiman di sepanjang pesisir dan menimbulkan banyak korban jiwa. Sejak kejadian itu masyarakat Simeulue menjadikan Smong sebagai budaya tutur. Kisah tentang Smong diceritakan turun-temurun dari generasi ke generasi. Smong disampaikan kepada generasi muda pada berbagai kesempatan. Smong dikisahkan kepada santri setelah selesai mengaji. Smong diceritakan kepada anak saat istirahat atau ketika berkumpul bersama anggota keluarga. Bahkan para ibu selalu bersenandung tentang Smong untuk menidurkan anak-anaknya.
Dalam kesenian tradisional masyarakat Simeulue Nandong juga dapat ditemui lirik yang mengandung kisah Smong. Nandong yang berasal dari kata senandung, dibawakan dengan nyanyian lembut berisi kisah Smong. Syair atau lirik Smong adalah sebagai berikut:
Enggelmon sao curito (Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan (Pada masa zaman dulu)
Manoknop sao fano (tenggelam satu tempat)
Wila dasesewan (begitulah mereka ceritakan)
Unenne aek linon (Diawali dengan gempa)
Besang bakatne malli (Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong (Tenggelam seluruh kampung)
Tibo-tibo mawi (tiba-tiba saja)
Anga linonne malli (Kalau gempanya kuat)
Uwek surui sahuli (disusul air surut sekali)
Mahea mihawali (segera cari)
Fanome singa tenggi (tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede Smong kahanne (Itulah Smong namanya)
Turiang da nenekta (Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere (Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navida (Pesan dan nasihatnya).
Terbukti Smong telah menyelamatkan ribuan penduduk Simeulue pada saat gempa dan tsunami 2004. Dari 78.000 penduduk Pulau Simeulue, korban jiwa yang jatuh saat bencana tersebut melanda hanya berjumlah tujuh orang. Padahal lokasi pulau sangat dekat dengan titik pusat gempa, gelombang tsunami yang melanda juga cukup tinggi, dan penduduk Simeulue bermukim pada daerah pesisir yang sangat dekat dengan pantai.
Selain Smong, ada pula Ilmu Titen yang menjadi mitigasi bencana letusan gunung api dalam bentuk kearifan lokal penting di Desa Balerante, Kabupaten Klaten. Terdapat kepercayaan berupa anak gunung atau bukit yang melindungi desa dari erupsi Gunung Merapi. Bukit tersebut menjadi salah satu acuan untuk kesiapsiagaan. Selama awan panas dari erupsi tidak menjangkau bukit tersebut, maka masyarakat masih merasa aman dari ancaman awan panas.
Bila awan panas melewati bukit maka mereka harus bersiap menuju barak pengungsian. Ilmu Titen menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menentukan kapan mereka harus meninggalkan desa dan menuju tempat yang aman. Sama halnya dengan Smong, Ilmu Titen diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal terkait mitigasi bencana yang menjadi bagian dari budaya merupakan cara tepat untuk membentuk kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Kearifan lokal tersebut dapat mengatasi fenomena garis waktu mental manusia melengkung yang menyebabkan masyarakat cepat lupa dengan kejadian bencana karena sifatnya yang menyatu dengan keseharian kehidupan.
Kearifan lokal tersebut dapat terus dikembangkan bahkan diadopsi ke daerah lain yang memiliki kemiripan karakteristik bencana. Dukungan dari pemerintah untuk menggali lagi kearifan lokal mitigasi bencana di wilayah lain di Indonesia sangat diperlukan sebab dengan berbagai bukti nyata, kearifan lokal terebut dapat mengurangi risiko bencana.