Kematian satu orang saja tetaplah tragis, tetapi kecilnya jumlah orang yang tewas dalam bencana Senin (1/1) silam adalah sesuatu yang patut dikagumi - kendati hingga kini upaya pencarian orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan masih berlangsung.
Perhitungan sejauh ini memperkirakan jumlah kematian akibat gempa Jepang akan mencapai - paling banyak - 100 orang atau lebih.
Walaupun dahsyatnya kedua gempa bumi ini cukup mirip, tetapi jumlah korban jiwa di Turki dan Suriah mencapai lebih dari 50.000 orang.
Pada 2010, ketika gempa berkekuatan 7 magnitudo menghajar Haiti, lebih dari 100.000 orang meninggal dalam peristiwa naas itu.
Mengapa jumlah korban jiwanya bisa begitu berbeda? Jawabannya sederhana: kesiapan.
Apa saja faktor yang membuat Jepang siap menghadapi gempa?
Sebagai salah satu kawasan dengan aktivitas seismik tertinggi di Bumi, Jepang “menyumbang” sekitar 20% gempa global berkekuatan 6 magnitudo atau lebih.
Jaringan seismometer mencatat kejadian serupa terjadi setiap rata-rata lima menit.
Jepang pun berinvestasi besar untuk membangun infrastruktur dan masyarakat yang tangguh untuk menghadapi gempa bumi.
Jepang secara ketat menerapkan aturan bangunan - yakni panduan untuk konstruksi bangunan.
Penduduknya juga dilatih dengan baik dalam merespons guncangan tanah.
Selain itu, sistem peringatan dini di Jepang juga merupakan salah satu yang paling mutakhir di dunia.
Walaupun para ilmuwan belum bisa memprediksi secara tepat waktu kejadian dan skala gempa, tetapi peringatan gempa bumi secara serta merta langsung terlihat di jaringan TV, radio, dan telepon genggam.
Notifikasi ini bisa sampai ke orang-orang yang jauh dari pusat gempa sekitar 10 hingga 20 detik sebelum getaran paling kuat terjadi.
Sekilas waktunya tidak banyak, tetapi sebenarnya ini cukup untuk membuka pintu di stasiun pemadam kebakaran setempat, mengerem kereta api berkecepatan tinggi, dan memberi kesempatan kepada semua orang untuk “merunduk, berlindung, dan berpegangan.”