Yangon, Beritasatu.com — Untuk pertama kalinya teknologi canggih kecoa hibrida dikerahkan dalam operasi pencarian dan penyelamatan bencana gempa Myanmar.
Pada 30 Maret 2025 lalu, tim beranggotakan 10 kecoa hidup dikirim dari Singapura ke Myanmar oleh Pasukan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF), sebagai bagian dari misi kemanusiaan “Lion Heart”.
Misi ini dilakukan menyusul gempa dahsyat magnitudo (M) 7,7 yang mengguncang wilayah dekat Mandalay pada 28 Maret 2025, menewaskan lebih dari 3.300 orang, melukai 4.850 lainnya, serta membuat 220 orang dinyatakan hilang hingga 5 April.
Robot kecoa ini dikembangkan oleh Home Team Science and Technology Agency (HTX) bekerja sama dengan Nanyang Technological University (NTU) dan Klass Engineering & Solutions. Uniknya, teknologi kecoa ini bukan mesin, melainkan kecoa hidup. Tepatnya adalah kecoa mendesis Madagaskar, yang dilengkapi dengan kamera inframerah mini, sensor, serta elektroda pengendali.
Dengan panjang tubuh hanya 5–7,5 cm, robot kecoa ini mampu menyusup ke celah sempit di bawah reruntuhan, tempat yang tak bisa dijangkau manusia. Teknologi ini memungkinkan pengendali untuk mengontrol arah gerak kecoa dari jarak jauh, sambil menerima data visual dan sensorik yang diproses melalui algoritma pembelajaran mesin (machine learning) untuk mendeteksi tanda-tanda kehidupan.
Walaupun teknologi ini semula dijadwalkan akan aktif digunakan pada 2026, keadaan darurat gempa Myanmar mempercepat penggunaannya di dunia nyata. Robot kecoa pertama kali dikerahkan pada 31 Maret 2025, lalu dua kali lagi di ibu kota Naypyidaw pada 2 April 2025.
Meski tidak ada korban selamat yang ditemukan secara langsung oleh robot ini, keberadaannya sangat membantu dalam menjelajahi area paling terdampak dan sulit dijangkau.
Teknisi Yap Kian Wee dan Ong Ka Hing, operator tim robot kecoa, memastikan bahwa kecoa-kecoa tersebut dirawat dengan baik menggunakan air dan wortel segar. Mereka mengakui bahwa kondisi lapangan jauh berbeda dari simulasi yang dilakukan di laboratorium.
“Misi di sini membuat kami ingin terus mengembangkan teknologi ini agar bisa menemukan korban lebih cepat,” kata Yap.
“Ada banyak hal tak terduga. Kondisi sebenarnya jauh lebih kompleks dibandingkan uji coba di Singapura. Namun ini jadi pelajaran berharga bagi kami,” tambah Ong.
Penggunaan robot kecoa ini menandai awal era baru dalam teknologi penyelamatan bencana. SCDF dan mitra teknologinya berharap bahwa alat ini dapat meningkatkan kecepatan dan efisiensi operasi SAR di masa depan, khususnya dalam bencana besar dengan medan yang sulit seperti pada gempa Myanmar.