CURAH hujan tinggi yang terjadi pada awal bulan Juli 2025 membuat beberapa kawasan padat penduduk di Jakarta dan sekitarnya kembali di kepung bencana banjir. Yang jadi pembeda adalah bencana banjir kali ini justru terjadi karena hujan ekstrem di musim kemarau.
Air yang begitu cepat menggenang ketika hujan ekstrem datang, memperlihatkan betapa rentannya sistem tata ruang dan drainase di pusat-pusat pertumbuhan. Data dari BPBD Jakarta menunjukkan 109 RT terdampak di empat wilayah ibu kota, dengan genangan hingga setengah meter.
Sementara di Bogor, longsor dan banjir terjadi serentak di 18 kecamatan. Begitu juga, di Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi, air merendam perumahan padat dan menutup sejumlah akses jalan utama.
Di Bekasi, banjir bahkan menenggelamkan kendaraan pribadi di perumahan elite Grand Galaxy. Situasi serupa terlihat di Depok dan Tangerang, yang belum sepenuhnya pulih dari banjir sebelumnya.
Berbagai pihak menilai kondisi ini menunjukkan kegagalan sistemik. Tata kota yang belum adaptif terhadap krisis iklim dan pertumbuhan wilayah yang tak terkontrol menjadi persoalan pokok.
Berbagai upaya untuk mengatasi masalah banjir sebenarnya sudah dilakukan baik pembangunan infrastruktur pengendali banjir seperti pompa air, kolam retensi, dan tanggul telah dilaksanakan. Namun masalah banjir tak kunjung tuntas.
Pakar lingkungan menyebut pentingnya pendekatan menyeluruh berbasis risiko dalam penataan ruang. Bencana banjir harus juga dilihat sebagai masalah besar yang meliputi berbagai aspek luas, salah satunya lintas batas wilayah.
Selain disebabkan hujan deras, kenyataannya banjir juga terjadi karena kiriman dari daerah-daerah hulu sungai. Maka dari itu, perlu intervensi dan koordinasi antara kepala daerah maupun pusat untuk bersama menyelaraskan pembangunan dengan daya dukung lingkungan mengatasi banjir.