Bali kembali diterpa banjir. Nusa Dua, kawasan yang dikenal dengan pariwisata kelas dunia, justru menampilkan wajah muram: rumah terendam, jalan lumpuh, dan aktivitas masyarakat terganggu. Pemerintah lalu mengumumkan rencana normalisasi Waduk Muara Nusa Dua sebagai langkah strategis mencegah bencana berulang. Namun, pertanyaannya: apakah normalisasi benar-benar jawaban, atau hanya solusi sementara dari persoalan yang jauh lebih kompleks?
Kapasitas Waduk yang Mengecil
Waduk Muara Nusa Dua yang berfungsi menampung aliran Tukad Badung kini dipenuhi sedimentasi dan sampah. Volume air yang semestinya ditampung menyusut drastis. Normalisasi dengan pengerukan dan pembersihan jelas merupakan tindakan logis. Secara teknis, langkah ini akan mengembalikan daya tampung waduk, memperlancar aliran menuju laut, dan mengurangi risiko limpasan saat hujan ekstrem.
Dari sisi ilmiah, normalisasi bisa mengurangi beban hidrologi yang selama ini tersumbat oleh lumpur dan limbah. Apalagi, faktor pasang laut yang memperlambat pembuangan air hanya bisa diimbangi jika waduk benar-benar bersih dan berfungsi optimal. Dalam jangka pendek, ini langkah paling masuk akal.
Tantangan Biaya, Lingkungan, dan Sosial
Namun, realitas di lapangan tidak sesederhana perhitungan teknis. Sedimentasi waduk mencapai ratusan ribu meter kubik. Pengerukan skala besar bukan saja mahal, tetapi juga memakan waktu panjang. Sementara itu, banjir tidak menunggu proyek selesai.
Dari perspektif lingkungan, pengerukan waduk bisa mengganggu ekosistem perairan dan menimbulkan masalah baru: ke mana sedimen dan lumpur akan dibuang? Jika tidak ada manajemen ramah lingkungan, sedimentasi yang diangkat hanya berpindah tempat dan menimbulkan polusi lain.
Sisi sosial pun tak kalah penting. Pengerjaan proyek normalisasi berpotensi mengganggu aktivitas masyarakat sekitar. Jika komunikasi publik tidak dibangun sejak awal, resistensi warga akan menjadi batu sandungan yang tak kalah besar.
Akar Masalah: Sampah dan Tata Ruang
Normalisasi waduk bisa dianalogikan sebagai membersihkan saluran air rumah tangga yang tersumbat. Namun, apa gunanya jika kebiasaan membuang sampah sembarangan tetap berlanjut? Data resmi menunjukkan, lebih dari 60 ton sampah per hari masuk ke Tukad Badung. Jika tidak ada perubahan perilaku masyarakat dan penegakan aturan, waduk yang dinormalisasi akan kembali tersumbat dalam hitungan tahun.
Selain sampah, tata ruang kota yang abai terhadap sempadan sungai memperburuk situasi. Bangunan liar mempersempit jalur air, drainase tak terkoneksi, dan vegetasi di hulu hilang digantikan beton. Semua ini menjadikan banjir bukan semata-mata urusan waduk, melainkan persoalan tata kelola ruang hidup.
Normalisasi Harus Jadi Bagian dari Strategi Menyeluruh
Di titik ini, publik perlu menilai rencana normalisasi dengan jernih: ia penting, tetapi bukan satu-satunya jawaban. Normalisasi harus ditempatkan dalam kerangka strategi besar: pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengendalian sampah, reboisasi di hulu, dan penataan sempadan sungai. Tanpa itu semua, normalisasi hanya akan menjadi proyek musiman yang berulang setiap kali banjir besar datang.
Selain itu, transparansi anggaran dan pemantauan publik mutlak diperlukan. Jangan sampai normalisasi waduk hanya menjadi proyek fisik tanpa menyentuh akar masalah. Keterlibatan masyarakat juga wajib diperkuat—bukan sekadar menjadi objek kebijakan, tetapi subjek yang diajak mengubah perilaku dalam mengelola sampah dan menjaga ekosistem.
Momentum untuk Berbenah
Banjir di Bali bukan sekadar bencana alam; ia adalah alarm keras tentang cara kita memperlakukan ruang, sungai, dan lingkungan. Normalisasi Waduk Muara Nusa Dua memang langkah penting, tetapi hanya akan berhasil jika dibarengi keseriusan mengatasi akar persoalan.
Bencana Banjir adalah cermin dari ketidakpedulian kita pada lingkungan. Jika kita hanya sibuk menguras waduk tanpa mengubah kebiasaan membuang sampah dan menata ruang, banjir akan kembali, mungkin lebih besar dari sebelumnya. Normalisasi waduk harus menjadi pintu masuk menuju kesadaran kolektif: Bali yang indah tak boleh dibiarkan tenggelam oleh kelalaian manusia.