Tragedi runtuhnya bangunan lantai atas Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan lebih dari 50 santri, bukan semata peristiwa duka. Ia adalah alarm keras akan kelalaian kolektif: dalam perencanaan, pengawasan, dan kesadaran akan keselamatan bangunan di lingkungan pendidikan keagamaan.
Pada Senin sore, 29 September 2025, ratusan santri sedang melaksanakan salat Asar ketika bangunan musala ponpes tersebut tiba-tiba ambruk. Musibah ini mengubur harapan puluhan keluarga dan mengguncang nurani publik. Dalam hitungan hari, evakuasi menemukan 52 jenazah, dan puluhan lainnya terluka.
Fakta-fakta yang muncul dari hasil investigasi awal sangat mengkhawatirkan. Bangunan yang ambruk diketahui tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB/PBG), fondasinya tidak kuat, dan metode pengecoran lantai atas dilakukan secara penuh tanpa tahapan bertahap. Indikasi adanya pelanggaran prosedur teknis dan lemahnya pengawasan konstruksi semakin memperparah.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak pesantren di Indonesia mengalami tantangan serupa: kebutuhan ruang yang mendesak, keterbatasan dana, dan keinginan membangun secepat mungkin. Namun, keterbatasan tidak boleh menjadi alasan mengorbankan keselamatan. Bangunan pendidikan adalah tempat di mana nyawa anak-anak dititipkan — tanggung jawab moralnya sama besarnya dengan tanggung jawab teknisnya.
Pemerintah daerah dan pusat perlu melakukan langkah konkret. Pertama, lakukan pemetaan dan audit bangunan pesantren secara nasional. Kedua, hadirkan program pendampingan teknis dan bantuan legal untuk pengurusan izin. Ketiga, tegakkan regulasi tanpa pandang bulu — keselamatan tidak mengenal kompromi.
Di sisi lain, pengelola pesantren harus membangun budaya kehati-hatian dan keterbukaan. Gunakan tenaga profesional dalam perencanaan konstruksi. Libatkan masyarakat secara transparan dalam pembiayaan maupun pengawasan. Jangan biarkan semangat membangun pesantren melupakan prinsip bangunan yang aman dan layak.
Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar headline sesaat. Kita tidak butuh belasungkawa yang terlambat — kita butuh sistem yang mencegah korban berikutnya. Sebab tempat suci tidak cukup hanya kuat secara spiritual. Ia harus kokoh secara struktural.