Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo yang menelan 52 korban jiwa seharusnya tidak hanya menjadi catatan duka, tapi juga peringatan keras bagi semua pengelola lembaga pendidikan — terutama pesantren, sekolah keagamaan, dan tempat ibadah — agar tidak mengabaikan aspek keselamatan fisik dalam membangun tempat suci dan tempat belajar.
Peristiwa ini membuka mata kita bahwa pembangunan tanpa perencanaan teknis yang matang bukan hanya melanggar aturan, tapi juga bisa berujung pada bencana kemanusiaan.
Agar kejadian serupa tidak terulang di tempat lain, ada beberapa langkah konkret dan prinsip penting yang wajib diterapkan oleh semua pihak terkait:
1. Keselamatan adalah Prioritas, Bukan Tambahan
Banyak lembaga keagamaan membangun karena kebutuhan yang mendesak: jumlah santri meningkat, asrama penuh, ruang belajar terbatas. Namun, keinginan memperluas fasilitas sering dilakukan dengan tergesa dan tanpa standar teknis.
Setiap pembangunan fisik harus diawali dengan pertanyaan sederhana namun penting:
"Apakah bangunan ini aman untuk digunakan manusia?"
Keselamatan bukan soal anggaran besar, tapi soal perencanaan yang tepat. Tidak semua harus mewah — tapi semua harus aman.
2. Gunakan Tenaga Ahli Sejak Awal
Pembangunan gedung bertingkat — termasuk lantai tambahan — bukan pekerjaan sukarela atau sekadar gotong royong. Harus melibatkan arsitek dan insinyur sipil yang memahami perhitungan beban, jenis fondasi, dan standar konstruksi.
Membangun tanpa hitungan teknis ibarat menulis Al-Qur'an tanpa paham tajwid — bisa salah arah dan berbahaya. Jika tak sanggup bayar penuh, banyak komunitas insinyur profesional atau kampus teknik yang bersedia membantu secara sosial.
3. Kepatuhan terhadap Regulasi adalah Bagian dari Ibadah
Masih banyak lembaga yang menganggap urusan izin bangunan (IMB/PBG) hanya formalitas atau beban administratif. Padahal, regulasi itu dibuat untuk memastikan keselamatan publik.
Tidak ada alasan keagamaan yang membenarkan membangun tanpa izin atau tanpa pengawasan teknis. Melanggar aturan yang dibuat demi keselamatan bersama adalah bentuk kelalaian yang bertentangan dengan nilai keislaman sendiri: menjaga jiwa manusia (ḥifẓ al-nafs) adalah tujuan utama syariat.
4. Hindari Pembangunan Parsial atau “Tumpang-Tindih”
Banyak kasus bangunan runtuh terjadi karena fondasi lama dipaksa menopang lantai baru tanpa penguatan struktur. Menambahkan lantai tanpa perhitungan ulang sama seperti meletakkan batu besar di atas rak rapuh.
Setiap penambahan (renovasi atau ekspansi) harus dikaji ulang, apakah struktur yang ada mampu menahannya atau perlu diperkuat.
5. Buat Standar Bangunan Pesantren Secara Nasional
Pemerintah dan organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, MUI, hingga Kementerian Agama perlu menyusun dan menyebarluaskan pedoman teknis minimum untuk bangunan pondok pesantren.
Pedoman ini harus meliputi:
-
Minimal struktur bangunan yang layak
-
Jenis material yang aman digunakan
-
Tata letak evakuasi dan ventilasi
-
Mekanisme inspeksi berkala
Dengan pedoman ini, pesantren tetap bisa membangun secara bertahap dan sederhana, tapi tetap dalam batas aman dan terstandar.
6. Libatkan Komunitas dalam Pengawasan
Santri, wali santri, pengurus yayasan, dan masyarakat sekitar seharusnya ikut serta dalam memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan benar-benar sesuai standar. Transparansi anggaran dan perencanaan penting untuk mencegah kesalahan fatal.
Jika ada bangunan yang terlihat mencurigakan atau dibangun tergesa-gesa, masyarakat harus berani bertanya dan menyampaikan ke pihak berwenang.
7. Simulasi Tanggap Darurat & Pendidikan Keselamatan
Banyak santri atau siswa tidak tahu harus berbuat apa saat terjadi gempa atau bangunan runtuh. Lembaga pendidikan perlu menyelenggarakan:
-
Simulasi evakuasi
-
Pelatihan pertolongan pertama
-
Pengenalan tanda-tanda struktur yang berbahaya
Kesadaran ini penting bukan hanya untuk kejadian konstruksi, tapi juga bencana alam seperti gempa bumi.
Penutup: Iman Harus Dibangun di Atas Fondasi Ilmu
Pesantren adalah tempat mencetak generasi saleh, cendekia, dan pemimpin masa depan. Tapi bagaimana kita bisa mencetak generasi kuat bila bangunan tempat belajarnya rapuh? Bagaimana kita bisa berbicara tentang iman bila kita abai pada ilmu?
Mari kita jadikan tragedi Al Khoziny sebagai pelajaran besar. Kita tidak ingin lagi membaca berita santri wafat karena bangunan runtuh. Cukuplah duka ini menjadi yang terakhir — dengan syarat: kita semua belajar dan berubah.
Membangun tempat ibadah harus diawali dengan takwa dan disempurnakan dengan ilmu.