Bogor - Humas BRIN. Indonesia menjadi salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan letak astronomis Indonesia yang beriklim tropis dengan curah hujan tinggi, serta posisinya pada pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Pertemuan tiga lempeng ini menyebabkan Indonesia sering mengalami gempa bumi, tsunami, serta tanah longsor.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi dampak bencana alam yaitu melalui mitigasi dan adaptasi. Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Organisasi Hayati dan Lingkungan (OR HL) memfokuskan penelitiannya pada Daerah Aliran Sungai (DAS), hidrologi, konservasi air dan tanah.
Kepala PREE, Anang Setiawan Achmadi memandang perlu kajian riset terkait kebencanaan dari hulu hingga ke hilir yang kemudian membuka peluang riset kolaboratif dengan stakeholder. Hal ini disampaikan saat membuka Jamming Session seri ke-6 yang bertemakan Berdamai Dengan Bencana, pada Kamis (25/5) secara hibrid melalui aplikasi zoom.
Tyas Mutiara Basuki, Profesor Riset PREE mengungkapkan pentingnya penginderaan jauh (remote sensing) sebagai salah satu input mendapatkan data akurat untuk diolah dalam perencanaan pengelolaan DAS.
Tyas menyebutkan data-data yang dapat dihasilkan melalui citra satelit atau Google Earth terkait pengelolaan DAS, antara lain data kemiringan lereng, data curah hujan, suhu, kelembaban dan evapotranspirasi. Lebih jauh Tyas menambahkan manfaat penginderaan jauh bagi monitoring kondisi sebuah kawasan.
"Melalui penginderaan jauh kita juga dapat memantau pemanfaatan lahan, misalnya batas pengelolaan sebuah perkebunan atau rehabilitasi area terbuka apakah lahannya sudah hijau atau masih gersang," ungkap Tyas.
Pada kesempatan yang sama Endang Savitri Peneliti Ahli Madya PREE, berhasil menyusun peta potensi bencana banjir bandang melalui pengamatan citra lansat. "Berbeda dengan bencana banjir pada umumnya, banjir bandang tidak selalu didahului dengan hujan deras. Ia bahkan dapat dipicu dengan terjadinya gempa bumi seperti kejadian banjir bandang di Luwu Utara tahun 2020," terang Endang. Ia meyakini peta kebencanaan yang dihasilkannya bersama tim berbeda dengan peta yang dikeluarkan BNPP yang lebih fokus pada daerah yang berdampak bencana.
Selain penginderaan jauh, penerapan teknologi konservasi sumberdaya tanah dan air juga memegang peranan yang tak kalah penting untuk pengendalian bencana. Peneliti Ahli Madya PREE bidang konservasi tanah dan air, Rahardyan Nugroho Adi menguraikan pentingnya monitoring tata air untuk mengetahui perkembangan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas aliran air dari suatu DAS.
Adi menegaskan teknologi pengelolaan air pada prinsipnya supaya air yang beredar sesuai siklus hidrologi jumlahnya tetap atau seimbang. "Kekurangan atau air yang berlebih dapat menyebabkan bencana alam kekeringan dan banjir," ujar Adi yang akrab disapa Didi menyimpulkan.
Ryke Nandini dan Wuri Handayani, Peneliti Ahli Madya PREE merinci teknik konservasi air dan tanah di daerah hulu dan tengah DAS. Teknik konservasi di daerah hulu terutama untuk mengatasi masalah lahan kritis, longsor lahan, dan erosi. Hal ini biasanya diatasi dengan teknik terasering, matras erosi dan pengolahan tanah.
"Kearifan lokal masyarakat di setiap daerah dalam mengelola sumberdaya tanah dan air di lahan mereka penting juga kita catat. Praktik pengelolaan lahan yang sudah puluhan tahun terbukti mempertahankan produktivitas lahan, sering kali menjadi dasar pengembangan teknologi konservasi sumberdaya tanah dan air yang kini dikembangkan para peneliti," terang Wuri menambahkan.
Purwanto, Peneliti Ahli Utama PREE bidang ekonomi sumberdaya memaparkan konsep Berdamai dengan Bencana atau adaptasi dari sudut pandang sosial. "Air dan api, kecil jadi kawan, besar jadi lawan. Maka air jangan sampai menjadi air bah. Air di sekitar kita semaksimal mungkin dijaga kualitas dan seminimal mungkin dibuang ke saluran terbuka. Kewajiban setiap pengguna lahan menerapkan teknik konservasi air dan tanah di lahannya," terang Purwanto.
Ia meyakini kearifan lokal petani perlu diadopsi dan dikembangkan seperti dalam pemilihan komoditas pertanian yang tahan kering. "Sistem penanaman tumpang gilir di beberapa wilayah Nusantara serta pembuatan sumur renteng terbukti mampu meningkatkan adaptasi masyarakat lokal dengan bencana kekeringan," ungkap Purwanto.
Bincang konservasi tanah dan air untuk mitigasi dan berdamai dengan bencana dipimpin Hunggul Yudono Setio Hadinugroho, Peneliti Ahli Utama PREE sebagai moderator. "Diskusi kita hari ini dilaksanakan dengan konsep Rumah Cerdas, yaitu rumah tempat berbagi cerita seputar DAS, semoga bermanfaat bagi kita semua," pungkas Hunggul. (ugi/ed:jml)