logo2

ugm-logo

Petani dan nelayan tak bisa menghadapi pemanasan global sendirian, harus berkelompok

Petani skala kecil dan nelayan merupakan kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim. Pasalnya, petani kecil kerap bercocok tanam di kawasan yang rentan, misalnya karena curah hujan yang rendah atau kualitas tanah yang menurun.

Nelayan pun bernasib hampir sama seiring dengan menurunnya keragaman biota laut akibat pemanasan global.

Kendati demikian, dua kelompok ini sebenarnya memiliki sistem kerja dan berbagai metode yang meningkatkan peluang adaptasi di tengah iklim yang berubah. Peluang tersebut dapat semakin tinggi jika mereka giat bekerja sama dan mengorganisasi diri untuk menyusun strategi menghadapi pemanasan global.

Dampak bervariasi bagi nelayan dan petani

Di Amerika bagian tengah dan Madagaskar, pemanasan global mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrem yang menurunkan produktivitas pertanian. Kondisi akhirnya mengganggu ketahanan pangan bagi petani kecil.

Dapatkan rangkuman berita lingkungan hidup sepekan terakhir.

Sementara, sejumlah studi) juga menaksir perubahan cuaca dan temperatur akan terjadi di Indonesia setiap beberapa tahun pada 2010, 2030, dan 2050. Cuaca yang berubah-ubah akan mempengaruhi produksi beras secara drastis di pulau Jawa dan Bali.

Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara, lembaga nirlaba di sektor pertanian, Wahana Tani Mandiri/WTM, melaporkan kekeringan yang berkepanjangan, penurunan kesuburan tanah, dan serangan penyakit tanaman yang memperburuk kualitas panen.

Akibat kejadian-kejadian tersebut, petani kerap menunda aktivitas penananaman sehingga pendapatan mereka jauh berkurang.

Sementara, dalam wawancara yang dilakukan lembaga riset Yayasan Inobu, nelayan di Fakfak menyatakan harus menempuh pelayaran lebih jauh guna mempertahankan jumlah hasil tangkapan mereka.

Strategi khusus kian dibutuhkan

Di tengah kondisi yang semakin menantang, nelayan maupun petani sudah memiliki beragam strategi. Berikut ini adalah ragamnya.

1. Reorganisasi pekerja

Reorganisasi pekerja terjadi ketika petani melibatkan anggota keluarganya untuk bercocok tanam. Metode ini sudah jamak diterapkan petani kecil di banyak negara dalam pekerjaan yang membutuhkan lebih banyak orang. Misalnya pekerjaan perawatan tanah dan air maupun diversifikasi tanaman.

Petani di Etiopia merawat tanah dan air dilakukan melalui rotasi penanaman jagung dengan kacang-kacangan. Petani setempat pun terbiasa membiarkan sisa-sisa panen di ladang mereka untuk menjaga kemampuan tanah menyerap air/.

Nah, penerapan pekerjaan semacam ini biasanya ditentukan oleh faktor jumlah laki-laki dalam suatu keluarga. Sebab, aktivitas rotasi tanaman maupun perawatan tanah dan air lebih membutuhkan banyak pekerja.

2. Alternatif sumber pendapatan

Petani yang memiliki sumber pendapatan alternatif di luar pemasukan hasil panen mereka akan beradaptasi lebih baik terhadap perubahan iklim.

Di Ghana, beragam sumber pendapatan yang dimiliki petani mampu mengurangi risiko keuangan dari gangguan panen akibat kekeringan, banjir, hujan ekstrem, maupun badai. Pendapatan dari sumber non-pertanian juga dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak jenis tanaman yang dikembangkan, ataupun pembelian pupuk agar produktivitas ladangnya meningkat.

Selain diversifikasi sumber pendapatan, upaya mengkombinasikan berbagai jenis tanaman juga menjadi strategi adaptasi yang efektif.

Di Nusa Tenggara Timur, para petani coklat–dalam wawancara kepada Wahana Tani Indonesia–menyatakan turut menanam vanili, pala, dan salak untuk menambah variasi hasil pertanian mereka.

Tak seperti coklat, vanili dan salak dikenal sebagai tanaman yang tahan terhadap cuaca panas dan kering. Sisa hasil panen [salak] pun (http://edepot.wur.nl/192242) dapat bermanfaat untuk pupuk organik.

Sedangkan tanaman pala yang dapat tumbuh tinggi mampu melindungi pohon coklat dari sinar matahari yang menyengat. Pada akhirnya, kombinasi keempat tanaman ini dapat mengisi pundi-pundi keuangan petani.

3. Kearifan lokal

Para nelayan telah menggunakan kearifan lokal untuk melestarikan ikan-ikan laut. Di Papua, para nelayan diajarkan secara turun-temurun untuk memberi jeda dalam menjala ikan agar laut dapat “beristirahat.” Praktik pemulihan sumber daya perikanan (stock recovery) ini dikenal sebagai Sasi Laut.

Tak hanya bagi aktivitas perikanan, Sasi Laut juga diterapkan ke pengelolaan pariwisata.

Guna menghadapi perubahan iklim, sektor perikanan tradisional juga dapat menerapkan upaya peningkatan stok(stock enhancement). Langkah lainnya adalah penambahan (restocking) dan pengembangan stok, hingga pelepasan ikan kembali ke laut–yang dikenal sebagai restorative aquaculture.

Relasi antar-nelayan menjadi vital

Perubahan iklim bukan hanya persoalan yang melanda petani secara individu, tapi juga komunitasnya. Karena itu, kelompok-kelompok tani harus menyusun strategi untuk menghadapinya bersama-sama.

Hal yang sama juga berlaku bagi komunitas nelayan. Riset menunjukkan ikatan sosial yang kuat di kalangan nelayan di pesisir Asia, Eropa, dan Afrika, mampu meningkatkan kemampuan mereka beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Tak hanya ikatan sosial: kemampuan berjejaring, tingkat kepercayaan dan norma-norma sosial, juga turut mempengaruhi pilihan-pilihan tindakan yang diambil para petani.

Di Nusa Tenggara Timur, para petani juga menganggap kelompok tani sebagai sarana utama untuk menghadapi beragam fenomena dalam perubahan iklim. Hal ini terjadi karena rasa tolong-menolong di antara sesama anggota.

Sebaliknya, kegiatan budi daya perikanan yang berkelanjutan (restorative aquaculture) yang dilakukan nelayan di Fakfak secara individu terbukti belum optimal. Sebab, pendekatan ini dapat efektif jika terdapat keterlibatan warga dalam kelompok dan kepala desa setempat.

Pendekatan kelompok memang bukanlah satu-satunya andalan bagi petani dan nelayan untuk menghadapi perubahan iklim. Aspek ini harus dibarengi dengan akses informasi yang memadai, peningkatan kualitas bagi para pemimpin di tingkat komunitas, dan kesediaan para nelayan serta petani untuk menggunakan pendekatan baru.

BMKG Pastikan Suhu Panas Jakarta Melebihi Laju Pemanasan Global

JAKARTA - Peneliti Bidang Meteorologi-Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto, mengatakan teriknya matahari yang ada belakangan ini berbeda dengan laju pemanasan yang di Jakarta jauh lebih tinggi 1,4 kali dibandingkan pemanasan secara global.

Ia menjelaskan bahwa cuaca yang lebih terik dan panas saat ini karena sedang dalam masa peralihan musim untuk di Jakarta dan sekitar Jawa Barat, yang dari mulai kemarau ke musim penghujan.

"Ini juga menjelang bulan Oktober nanti biasanya matahari akan berada di sekitar Khatulistiwa dan akan cenderung bergerak ke arah selatan, sehingga nanti di sekitar tanggal 23 Oktober itu akan 23 derajat di lintang selatan ya, itu berarti akan melewati Pulau Jawa," tuturnya saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (21/9/2021)

Kondisi seperti ini biasa disebut dengan titik kombinasi matahari, yang posisinya tepat di atas kepala kita. Sehingga akan merasakan radiasi matahari lebih kuat dari biasanya, itu biasanya menyebabkan cuaca terik di siang hari.

Nah, jika bicara soal perubahan temperatur di Jakarta yang 1,4 kali lebih kuat dibandingkan pemanasan global, itu sebenarnya adalah ukuran yang menyatakan perubahan suhu permukaan yang dihitung sejak zaman pra industri hingga zaman sekarang.

"Jadi sudah sekitar, kalau zaman pra industri kan sudah ada sejak tahun 1850 an hingga 1900 an, ya berarti data BMKG hingga sekarang menunjukan suhu Jakarta itu kemiringannya atau laju perubahannya itu jauh lebih tinggi dibanding laju perubahan global," jelasnya.

" Nah, pemanasan global atau perubahan global itu dilaporkan oleh WMO (World Meteorological Organization) sudah 1,2 kali lebih tinggi sejak pra industri. Kalau Jakarta dari penelitian saja 1,6 selama 135 tahun terakhir," imbuhnya.

Jika mengacu pada Perjanjian Paris, meminta seluruh pihak negara-negara yg menandatangani supaya menghentikan laju pemanasan global tidak lebih dari 2.

"Kalau kita secara ambisius 1,5. Kita diminta untuk melakukan kajian supaya secara global laju pemanasan tidak lebih dari 1,5," tuturnya.

Saat ini, lanjut Siswanto, seluruh permukaan bumi 1,2 berarti masih punya untuk waktu 0,3 untuk tidak sampai ke 1,5. Dan sekitar 0,8 untuk tidak mencapai 2.

"Tapi kalau kita hitung per lokal, sebenarnya Jakarta sudah melebihi 1,5 dalam 135 tahun terakhir." pungkasnya.

More Articles ...