logo2

ugm-logo

Perubahan Iklim dan Kaitannya dengan Perubahan Muka Laut dalam Perspektif Masa Lampau

Pemanasan global selain berdampak pada perubahan iklim juga berdampak pada perubahan muka laut.

Perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, angin, frekuensi badai tropis, fenomena iklim dan lain lain.

Indonesia merupakan benua maritim yang memiliki laut (65 %) lebih luas daripada daratan dengan garis pantai yang terpanjang kedua di dunia, yaitu 108.000 km.

Hampir sebagian besar kota besar di Indonesia merupakan kota pesisir Medan, Padang, Surabaya, Makasar, Semarang bahkan ibukota Jakarta. Jumlah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi sebagian besar dijumpai di wilayah pesisir.

Wilayah pesisir ini merupakan wilayah yang rentan terhadap kenaikan muka air laut. Kenaikan muka laut merupakan potensi ancaman bencana bagi wilayah pesisir dan tentu akan memiliki konsekuensi ekonomi.

Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.

Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia dengan penduduk yang sebagian besar tinggal di wilayah pesisir, sudah seharusnya menyadari akan ancaman bencana dari kenaikan muka air laut.

Pengetahuan dan pemahaman tentang perubahan permukaan laut menjadi sangat perlu untuk mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi.

Perubahan permukaan laut disebabkan karena faktor alamiah seperti tektonik, pemuaian air laut karena kenaikan suhu permukaan laut, karena badai tropis dan mencairnya es, selain juga faktor antropogenik seperti eksploitasi air tanah yang berlebihan.

Memahami perubahan permukaan laut memerlukan pemahaman historis perubahan permukaan laut. Data instrumental terlalu pendek untuk sepenuhnya memahami hal tersebut dan menangkap terjadinya peristiwa langka, tetapi paling merusak.

Hal ini dapat diatasi melalui studi iklim dan oseanografi masa lampau (paleoseanografi dan paleoklimatologi) yang mampu menghasilkan data oseanografi maupun klimatologi dari kisaran waktu masa kini sampai masa lampau sampai jutaan tahun lalu.

Sehingga, dapat sepenuhnya dipahami kaitan antara perubahan iklim, mencairnya es dan perubahan muka air laut.

Sedimen laut merupakan salah satu arsip alam mampu merekam perubahan iklim dan permukaan laut dalam kisaran waktu dari ribuan hingga jutaan tahun dengan resolusi puluhan hingga ratusan ribu tahun.

Objek penelitian dalam sedimen laut adalah foraminifera, organisme bersel satu (protista) dengan komposisi cangkang kalsit (CaCO3) berukuran 100 μm hingga 20 cm.

Kandungan foraminifera plankton mampu memberikan informasi suhu dan salinitas sedangkan batimetri masa lampau dapat diperoleh dari hasil interpretasi berdasarkan data foraminifera bentos, yang selanjutnya digunakan untuk interpretasi perubahan muka air laut.

Foraminifera bentos yang dijumpai dalam sedimen laut sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan ataupun ekologi termasuk perubahan muka laut.

Kelimpahan spesies foraminifera bentos tertentu dapat menunjukkan kisaran kedalaman air laut tertentu, dengan tambahan analisis isotop oksigen foraminifera bentos tersebut yang kemudian dikoreksi dengan perubahan volume air laut global dan perubahan suhu air laut dalam didapatkan nilai perubahan muka laut relatif di suatu daerah penelitian.

Berdasarkan rekaman sedimen laut dari wilayah paparan Sunda menunjukkan pada kondisi lampau, yaitu pada pada periode glasial terakhir maksimum atau dikenal dengan last glacial maximum (LGM) (yaitu periode 21.000-18.000 tahun yang lalu), wilayah bagian barat Indonesia pernah merupakan daratan yang luas atau lebih dikenal sebagai Sunda daratan (Sundaland).

Pada periode glasial terakhir maksimum ini, perubahan muka laut global berkurang hingga ± 120 m dibandingkan tinggi muka laut sekarang.

Pada periode 18.000 hingga 10.000 tahun lalu atau deglasiasi terakhir, tinggi muka laut global naik akibat pencairan es di kutub karena dampak pemanasan global dengan kondisi Sunda daratan mulai tenggelam secara bertahap yang kemudian dikenal paparan Sunda (Sunda Shelf).

Pada Holosen (10.000 hingga 0 tahun yang lalu, 0 tahun lalu merupakan awal masa pra-industri tahun 1950) sebagian Sunda daratan ada dibawah muka laut seperti sekarang.

Pada saat ini (1.500 tahun lalu), kondisi sebagian paparan Sunda yang sebelumnya laut kembali menjadi daratan seperti contohnya di Belitung.

Perbandingan wilayah Indonesia sekarang (present) dan pada periode Last Glacial Maximum (LGM).
agupubs Perbandingan wilayah Indonesia sekarang (present) dan pada periode Last Glacial Maximum (LGM).

Rekaman iklim dari sedimen laut di Selat Makassar menunjukkan Sunda daratan pada saat LGM merubah pola salinitas permukaan laut di wilayah Indonesia.

Perubahan salinitas air laut terjadi akibat adanya peningkatan curah hujan menyebabkan aliran air tawar dari sungai-sungai di paparan Sunda mengalir secara langsung ke lautan, berdasarkan rekaman ini dapat dipahami mengenai perubahan stratifikasi dan sirkulasi Arlindo pada saat belum ada pengaruh aliran air tawar dari Laut Cina Selatan (LCS).

Pada kondisi masa sekarang Sunda daratan sebagian sudah tenggelam akibat kenaikan muka laut global dan terbentuknya koneksi laut cina selatan dengan laut jawa, sehingga input air tawar dari LCS juga mempengaruhi salinitas air laut di wilayah Indonesia.

Rekaman sedimen laut dari Laut Timor dan Selat Makassar menunjukkan pada 9.500 tahun yang lalu, pengaruh aliran air tawar dari Laut Cina Selatan masuk ke wilayah perairan Indonesia melalui Laut Jawa ketika sebagian paparan Sunda sudah tergenang.

Berdasarkan data ini maka akan dipahami dinamika Arlindo dimana ketika paparan sunda membentuk daratan yang luas dan dimana ketika paparan sunda tenggelam yang akhirnya aliran air tawar dari laut cina selatan mempengaruhi variabilitas salinitas di perairan Indonesia.

Hasil rekaman stalagmit menunjukkan bahwa pada periode LGM perubahan muka laut memberikan suplai uap air yang lebih banyak naik ke atmosfer dan menyebabkan hujan lebih tinggi ketika muka air laut global naik berdasarkan studi stalagmit di Flores.

Namun, studi terkait perubahan iklim yang dihubungkan dengan perubahan muka laut pada LGM memberikan hasil yang berbeda antara arsip terrestrial (sedimen danau dan stalagmit) dan arsip sedimen laut.

Arsip sedimen danau dan stalagmit di Flores, Sulawesi, dan Kalimantan menunjukkan kondisi kering di wilayah Indonesia.

Hasil tersebut dianggap mirip dengan model iklim pada LGM yang mana paparan Sunda yang luas menyebabkan berkurangnya awan konveksi pembentuk hujan di wilayah paparan Sunda akibat dari melemahnya sirkulasi Walker.

Namun, hasil dari sedimen laut di Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Flores, dan bagian barat Sumatra menunjukkan bahwa pada periode LGM curah hujan tinggi di wilayah paparan Sunda karena menguatnya sirkulasi Walker.

Terdapatnya perbedaan hasil dari rekaman arsip alam yang berasal dari darat (stalagmit, sedimen danau) dan laut (sedimen laut) di wilayah Indonesia menunjukkan, masih diperlukan penelitian dan pengkajian lebih banyak dan mendalam mengenai paleoseanografi dan paleoklimatologi di wilayah Indonesia pada periode LGM, sehingga sejarah perubahan iklim terkait perubahan muka laut dapat semakin dipahami.

Marfasran Hendrizan

Peneliti muda Kelompok Penelitian Iklim dan Lingkungan Purba Geoteknologi LIPI, kandidat doktor sains Kebumian ITB

5 Skenario PBB Baik-Buruk Dampak Perubahan Iklim hingga 2100

Jakarta, CNN Indonesia --  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis lima skenario kemungkinan di masa depan terkait dengan perubahan iklim.

Skenario ini merupakan hasil dari perhitungan kompleks yang bergantung pada seberapa cepat manusia mengekang emisi gas rumah kaca. Tapi perhitungan juga dimaksudkan untuk perubahan sosial ekonomi di berbagai bidang seperti populasi, kepadatan kota, pendidikan, penggunaan lahan, dan kekayaan.

Misalnya, peningkatan populasi diasumsikan menyebabkan permintaan yang lebih tinggi untuk bahan bakar fosil dan air. Kemudian pendidikan dapat mempengaruhi laju perkembangan teknologi. Sementara emisi meningkat ketika lahan dikonversi dari hutan menjadi lahan pertanian.

Setiap skenario diberi label untuk mengidentifikasi tingkat emisi dan apa yang disebut Jalur Sosial Ekonomi Bersama, atau Shared Socioeconomic Pathway (SSP) yang digunakan dalam perhitungan ini. Berikut lima model masa depan menurut PBB:

SSP1-1.9

Skenario paling optimis menurut PBB ini menggambarkan dunia di mana emisi CO2 global dikurangi menjadi nol sekitar tahun 2050. Kemudian masyarakat beralih dari pertumbuhan ekonomi ke kesejahteraan secara keseluruhan.

Kemudian investasi pada bidang pendidikan dan kesehatan meningkat. Ketimpangan terhapus, sementara cuaca ekstrem lebih sering terjadi, tapi dunia telah menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.

Skenario pertama ini satu-satunya yang memenuhi tujuan Perjanjian Paris atau Paris Agreements untuk menjaga pemanasan global sekitar 1,5 derajat Celcius di atas suhu pra-industri.

SSP1-2.6

Dalam skenario terbaik berikutnya, emisi CO2 global sangat berkurang, tapi tidak secepat mencapai nol setelah 2050.

PBB membayangkan pergeseran sosial ekonomi yang sama menuju keberlanjutan seperti SSP1-1.9. Tetapi suhu stabil sekitar 1,8 Celcius lebih tinggi pada akhir abad ini atau tahun 2100.

SSP2-4.5

Ini merupakan skenario "jalan tengah". Emisi CO2 tetap turun pada tahun 2050, namun tidak mencapai nol bersih pada tahun 2100.

Kemajuan disebut melambat, pembangunan dan pendapatan juga tumbuh tidak merata. Dalam skenario ini, suhu naik 2,7 Celcius pada akhir 2100.

SSP3-7.0

Di skenario ini, emisi dan suhu meningkat dengan dan emisi CO2 kira-kira dua kali lipat pada 2100.

Negara-negara menjadi lebih kompetitif satu sama lain, bergeser ke arah keamanan nasional dan memastikan pasokan makanan mereka sendiri. Pada akhir tahun 2100, suhu rata-rata telah meningkat sebesar 3,6 Celcius.

SSP5-8.5

Ini adalah masa depan yang harus dihindari. Tingkat emisi CO2 pada skenario ini kira-kira dua kali lipat meningkat di tahun 2050.
Ekonomi global tumbuh dengan cepat, tetapi pertumbuhan ini didorong oleh eksploitasi bahan bakar fosil dan gaya hidup yang intensif.
Pada tahun 2100, suhu rata-rata global mencapai 4,4 Celcius lebih tinggi.

Apa yang Haurs Dipelajari?

Laporan iklim tidak dapat memberi tahu kita skenario mana yang paling mungkin karena semua tentu akan ditentukan oleh berbagai faktor termasuk kebijakan pemerintah. Tapi itu menunjukkan bagaimana pilihan semua negara atau individu pada hari ini yang akan mempengaruhi masa depan.

Dalam setiap skenario, pemanasan akan berlanjut setidaknya selama beberapa dekade. Permukaan laut akan terus naik selama ratusan atau ribuan tahun, dan Arktik akan praktis bebas dari es laut setidaknya dalam satu musim panas 30 tahun ke depan.

Tetapi seberapa cepat laut akan naik dan seberapa berbahayanya cuaca masih tergantung pada jalan mana yang dipilih dunia.

More Articles ...