logo2

ugm-logo

Deteksi Dini Bencana Alam, NOAA Akan Benahi Ramalan Cuaca

NEW YORK - Badan Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikiat (National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA), Senin (22/3/2021), mengumumkan akan memperbarui Sistem Ramalan Globalnya (Global Forcasting System/GFS), salah satu model komputer utama yang digunakannya untuk meramalkan cuaca di Amerika Utara dan di dunia.

Perubahan ini disiarkan secara langsung pada Senin (22/3) dan dirancang untuk meramalkan secara lebih akurat cuaca sampai dua minggu ke depan.

NOAA mengatakan peningkatan sistem itu ini akan mengarah pada ramalan yang lebih baik mengenai badai dan kondisi cuaca ekstrem lain, gelombang laut, serta sistem cuaca yang tinggi di atmosfer.

“Peningkatan substantif GFS ini, bersama peningkatan yang sedang berlangsung pada kapasitas supercomputing kami, menunjukkan komitmen kami untuk memajukan peramalan cuaca guna memenuhi misi kami untuk melindungi kehidupan dan properti,” kata Direktur NOAA Louis Uccellini dalam telekonferensi media pada Senin (22/3).

Peningkatan ini difokuskan pada fisika yang mendasari cuaca dan menyesuaikan bagaimana informasi cuaca terbaru dimasukkan dan diolah oleh sebuah model sementara mengintegrasikan data dari sumber-sumber lain seperti satelit dan pesawat.

Sistem Ramalan Global itu kini akan digabungkan dengan sebuah model gelombang global yang disebut WaveWatch III, yang akan memperpanjang ramalan gelombang sampai 16 hari dan memperbaiki prediksi gelombang samudra.

“Peningkatan ini merupakan bagian dari sistem prediksi global generasi berikut di dalam kerangka kerja Unified Forecast System atau UFS, yang merupakan prakarsa yang sedang berlangsung untuk memanfaatkan kepakaran masyarakat cuaca yang lebih luas, serta mempercepat penelitian,” kata Vijay Tallpragada, kepala bagian modeling dan asimilasi data pada Pusat Modeling Lingkungan di NOAA.

Perubahan Iklim Pengaruhi Tingkat Bencana Alam Terkait Air

Liputan6.com, Jakarta - Bahaya perubahan iklim berdampak pada peningkatan banjir dan kekeringan yang berkepanjangan.

Perubahan iklim juga mengubah pola curah hujan, mempengaruhi ketersediaan air dan memperburuk kerusakan akibat banjir dan kekeringan di seluruh dunia.

Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan peningkatan banjir dapat menghancurkan titik-titik air dan fasilitas sanitasi serta mencemari sumber-sumber air.

Akibatnya, juru bicara WMO Clare Nullis mengatakan miliaran orang punya akses yang terbatas atau sama sekali tidak memiliki akses pada air bersih dan sanitasi, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (23/3/2021).

"Jadi, 39 persen populasi dunia tidak memiliki akses pada air minum yang aman. Diperkirakan masalah ini akan semakin parah karena perubahan sosial ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan tentunya, perubahan sumber air, seperti gletser," kata Nullis.

WMO menyebut gletser sebagai menara air dunia. Ini memperingatkan mencairnya lapisan es dan gletser menyebabkan lebih banyak bahaya sekaligus mengancam ketahanan air jangka panjang bagi ratusan juta orang.

Nullis menguraikan salah satu contoh perubahan iklim paling dramatis tentang bagaimana hal itu terjadi, dapat dilihat di Tajikistan, negara yang memiliki lebih dari 14.500 gletser pada abad ke-20.

"Saat ini, lebih dari seribu di antaranya telah mencair sepenuhnya dan volume total massanya berkurang sepertiganya. Hal ini dalam jangka pendek menyebabkan lebih banyak bahaya seperti longsoran salju, aliran lumpur, banjir — yang disebut ledakan glasial," ujarnya.

Sistem Manajemen Air

Gletser adalah salah satu sumber air utama. Dalam jangka panjang, Nullis memperingatkan pencairan gletser dapat meningkatkan kelangkaan air bagi jutaan orang.

Ia menegaskan fenomena sama sedang terjadi di seluruh dunia.

WMO menyatakan lebih dari separuh dari seluruh negara di dunia tidak memiliki sistem manajemen kualitas air.

Badan itu menyerukan tindakan yang lebih terpadu untuk melindungi sumber air dunia yang semakin berkurang dan upaya mengurangi perubahan iklim.

More Articles ...