SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Syarifatul Sya’diah menyebut bencana banjir bukan sekadar akibat cuaca ekstrem, tetapi bentuk nyata dari ketidakadilan ekologis yang selama ini dibiarkan terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam tanpa pengawasan lingkungan yang memadai.
“Setiap musim hujan tiba, warga yang tinggal di sekitar kawasan tambang harus hidup dalam kecemasan. Ini bukan semata bencana alam ini bencana sosial dan ekologis,” kata Syarifatul saat di temui di gedung utama B DPRD Kaltim, Senin (2/6/2025).
Syarifatul menggambarkan bagaimana kawasan-kawasan yang dulunya merupakan hutan lebat dan lahan resapan air kini telah berubah menjadi lubang-lubang raksasa bekas tambang.
Lubang-lubang itu, menurutnya, dibiarkan terbuka tanpa reklamasi, membuat air hujan tak lagi punya tempat untuk meresap.
“Ketika hujan deras datang, air tak lagi ditampung oleh tanah atau hutan yang dulu melindungi. Sekarang, ia mengalir deras dari permukaan tanah yang rusak, menenggelamkan rumah, sekolah, bahkan harapan,” ujarnya prihatin.
Ia menegaskan bahwa dirinya bukan anti-tambang, namun mendesak agar praktik pertambangan tidak boleh mengorbankan keselamatan dan kehidupan warga, terutama masyarakat kecil yang tinggal di sekitar lokasi tambang.
“Kita tidak menolak tambang. Tapi tidak boleh ada yang dikorbankan. Terutama masyarakat kecil yang tidak punya kuasa untuk melindungi ruang hidupnya sendiri. Banjir adalah alarm keras bahwa sistem pertambangan selama ini belum memihak rakyat,” tegas legislator asal Partai Golkar tersebut.
Menurut Syarifatul, negara tidak boleh terus berada di balik meja saja. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan pemerintah pusat harus bergerak nyata melakukan pemulihan wilayah terdampak, memberikan kompensasi adil kepada korban, serta memperkuat regulasi lingkungan yang selama ini dinilai lemah dalam penegakannya.
“Kalau banjir terus terjadi karena daya rusak tambang, maka negara harus hadir untuk memulihkan hak-hak rakyat yang terampas. Ini soal keadilan, bukan sekadar administrasi,” ujarnya.
Syarifatul juga mengkritik praktik Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan tambang yang menurutnya masih bersifat seremonial dan hanya berhenti pada baliho atau kegiatan satu kali yang tidak berdampak panjang.
“CSR itu jangan hanya jadi alat branding perusahaan. Harus ada alokasi dana konkret untuk mitigasi bencana, rehabilitasi lingkungan, serta penguatan komunitas di sekitar tambang. Jangan biarkan masyarakat terus jadi korban berulang dari sistem yang tidak adil,” kata Syarifatul.
Lebih jauh, ia mendesak agar DPRD bersama pemerintah daerah segera memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap perusahaan tambang, termasuk sanksi yang tegas bagi perusahaan yang abai terhadap kewajiban reklamasi atau tanggung jawab lingkungan lainnya.
“Kalau kita tidak memperkuat regulasi dan pengawasan hari ini, maka masa depan Kalimantan Timur akan dipenuhi luka-luka ekologis yang tak tersembuhkan. Kita bicara soal masa depan anak cucu kita,” pungkasnya.