logo2

ugm-logo

Blog

GMKI Minta Pemerintah Jokowi Buat Road Map Penanganan Bencana Sinabung

JAKARTA  - Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), meminta pemerintahan Joko Widodo agar segera membuat road map penanganan bencana erupsi gunung Sinabung yang tidak kunjung selesai.

"Pola penanganan bencana gunung Sinabung tidak dibuat secara berkelanjutan. Ditangani ketika terjadi letusan saja," ujar Sekretaris
Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Adolfin Deslina Datang di Kecamatan Payung, Karo, 1 Februari 2015.

Dia mengatakan status bencana gunung Sinabung belum menjadi bencana nasional memang membuat penanganan pasca bencana tidak pernah maksimal karena hanya ditangani oleh pemerintah Kabupaten Karo saja.

"Penanganan relokasi pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang akan direlokasi ke tempat yang aman tidak kunjung terealisasi," ujarnya.

Dia mengatakan perlu memberikan pemahaman tanggap bencana lanjutan terhadap masyarakat sekitar Gunung Sinabung. Masyarakat dapat memahami potensi bahaya erupsi Gunung Sinabung.

"Perlu ada pembangunan sarana dan prasarana dampak bencana di Karo. Masyarakat dapat bersiap ketika tanda- tanda bencana akan terjadi," ujarnya.

Pada kesempatan tersebut GMKI juga melaksanakan Peringatan Hari Relawan GMKI yang jatuh pada Tanggal 1 Februari, untuk mengenang
kepergian 7 relawan GMKI yang terkena awan panas pada 1 Februari 2014 lalu.

GMKI juga menggelar aksi sosial di seluruh cabang GMKI setanah air. "Kami menjadikan momentum perenungan gugurnya 7 saudara kami
tersebut untuk semakin semangat mengabdi kepada negeri," ujarnya.

Peringatan Hari Relawan GMKI ini dihadiri oleh ke tujuh Keluarga Relawan GMKI yang menjadi korban bencana Gunung Sinabung yang terjadi
pada setahun yang lalu.

Peringatan Hari Relawan GMKI ini juga dihadiri ratusan kader GMKI di Sumatera Utara dan Aceh dengan mengunjungi
makam ke 7 Relawan GMKI dan meletak batu pertama pembangunan monumen Hari Relawan GMKI di Desa Payung, Karo.

"Monumen tersebut menjadi pertanda semangat 7 relawan GMKI akan tetap bersama kami dalam menjalankan tugas untuk mengabdi," ujarnya.

sumber: TRIBUNNEWS.COM

2.000 Siswa di Padang Ikuti Latihan Mitigasi Bencana

Padang - Sebanyak 2.000 orang siswa dari 18 SMA dan SMK di Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar), mengikuti latihan mitigasi bencana di lapangan Imam Bonjol Padang, difasilitasi lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Director of Community Network ACT, Rini Maryani di sela-sela acara, Sabtu (31/1), mengatakan pelatihan terbuka tersebut diberikan agar peserta lebih teredukasi dan memiliki pemahaman lengkap mengenai mitigasi bencana.

"Sumbar merupakan salah satu daerah rawan bencana, sehingga masyarakatnya harus memiliki pemahaman terhadap mitigasi bencana tersebut," ujarnya.

Siswa yang menjadi peserta pelatihan menurut dia, diharapkan dapat menjadi agen edukasi bagi teman sebaya atau pelajar di tingkat bawahnya.

Menurut dia, pihaknya mengapresiasi dukungan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dan Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah yang mendukung penuh pelatihan tersebut.

Dia juga mengapresiasi Dinas Pendidikan (Disdik) Padang yang mendukung kegiatan mitigasi dan perlindungan diri masyarakat terhadap bencana itu.

"Kami optimis, dengan pemahaman yang lebih baik terhadap mitigasi akan dapat mengurangi resiko korban jiwa saat terjadi bencana," katanya.

Acara tersebut, jelasnya, sekalian dalam rangka penandatanganan perjanjian kerjasama antara ACT dan Sentra Pelajar Indonesia (SPIN) untuk program "Komunitas Gemar Berbagi".

"Program itu diharapkan akan mengaktivasi kanal-kanal kemanusiaan di Kota Padang," kata dia.

Salah seorang peserta, Murni mengaku mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam hal menghadapi situasi saat bencana.

Dia menambahkan akan menginformasikan apa yang didapatnya kepada teman dan warga lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

sumber: hanter
 

BNPB Ingatkan Kerawanan Bencana di Indonesia Lewat Film

Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berupaya mengedukasi dan mengingatkan masyarakat tentang kerawanan bencana di Indonesia lewat sebuah film bertajuk Nyanyian Musim Hujan. Film itu dirilis hasil kerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI), Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction, Palang Merah Australia, dan Miles FIlms.

“Penting bagi masyarakat, terutama yang sering terdampak banjir, untuk meningkatkan kesiapsiagaan," kata Sekeretaris Jenderal PMI, Ritla Tasmaya, di sela-sela pemutaran film Nyanyian Musim Hujan di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Kamis, 29 Januari 2015.

Film menjadi salah satu media yang dipilih untuk mengedukasi kesiapsiagaan warga terhadap bencana banjir karena sifatnya juga menghibur sehingga dapat mudah dipahami masyarakat.

Menurutnya, melalui film itu, permasalahan masyarakat di tengah bencana dapat menjadi sebuah pembelajaran sehingga masyarakat dapat bersiap diri saat banjir melanda wilayah mereka.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan bahwa film seperti itu menjadi media strategis untuk mengedukasi masyarakat secara luas. Film itu dibuat atas berbagai peristiwa banjir yang melanda berbagai wilayah di Indonesia.

"Setiap permasalahan selalu ada pembelajaran untuk terus memperbaiki kesiapsiagaan masyarakat. Potensi bencana selalu dapat diminimalisasi risikonya. Jika kita sudah mengetahui bahayanya, sudah seharusnya kita dapat mengurangi risikonya," kata Sutopo.

Riri Reza sebagai sutradara film, menjelaskan bahwa dalam film berdurasi 65 menit itu berlatar belakang drama keluarga. "Dalam film kita bisa belajar," katanya. (ren) sumber: VIVA.co.id

DPD RI Bantu Rumuskan Konsep Penanggulangan Bencana Nasional

Jakarta – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk merumuskan politik kebencanaan, Selasa (27/1), di Jakarta bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan SAR Nasional (Basarnas) untuk mendorong sebuah kebijakan nasional yang terintegrasi, komprehensif dan berkelanjutan dalam penanganan bencana alam.

“DPD RI mendukung penuh langkah BNPB, BMKG dan Basarnas dengan berkomitmen dalam mendorong kebijakan nasional penanganan bencana yang lebih komprehensif dan aplikatif. Kita menyadari bahwa selama ini penanganan kebencanaan sudah berjalan dengan baik namun belum optimal," kata Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad dalam kesempatan tersebut.

Selain Farouk, hadir sebagai pembicara adalah Kepala BNPBN Syamsul Maarif, Kepala Laboratorium Departemen Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Wilopo, dan para pejabat BMKG dan Basarnas.

Farouk memaparkan Indonesia merupakan negeri ‘rawan bencana’, mengingat secara faktual berada pada pertemuan dua lempeng dunia dan kondisi geografis yang rawan. Hampir semua bencana ada di Indonesia seperti longsor, topan, banjir dan gempa bumi dan gunung meletus.

“Reflektif dari berbagai bencana yang terjadi di Indonesia selama ini, di antaranya 10 tahun tsunami Aceh dan yang terbaru bencana longsor di Banjarnegara. Ternyata masih banyak catatan dalam penanganan bencana alam di Indonesia. Selain ini kita baru serius saat bencana terjadi, bukan di saat normal seperti saat ini,” kata Mantan Kapolda Maluku ini.

Farouk menambahkan, DPD RI berusaha menginisiasi, mengevaluasi dan memberikan rekomendasi solusi terhadap kebijakan ‘politik kebencanaan’ nasional, yaitu sebuah konsep kebijakan nasional strategis terkait penanggulangan bencana yang disusun secara komprehensif dan integratif.

Kebijakan komprehensif itu mencakup pencegahan dari bencana alam seperti banjir dan longsor; mendidik dan memberdayakan masyarakat; penguatan mekanisme peringatan dini (early warning system); tanggap darurat hingga rehabilitasi pasca bencana terhadap alam maupun penduduk.

“DPD RI saat ini sedang melakukan inventarisasi dan mitigasi daerah rawan bencana berdasarkan dampak dan potensinya di seluruh Indonesia bersama Pemerintah Daerah. Kemudian data tersebut saat ini mencoba dirumuskan bersama lembaga kebencanaan (BNPB, Basarnas dan BMKG), yang diharapkan kita menemukan banyak masukan dan solusi,” kata Farouk.

Sumber:PR

Museum preserves Kobe quake rift as visible reminder of disaster 20 years ago

The massive earthquake that rocked western Japan in January 1995 left a visible reminder of its cause: a ground-level fracture along one of the faults that shifted.

The movement of the Nojima Fault left its mark in the northern part of Awajishima Island, Hyogo Prefecture. After an on-site survey by specialists, 140 meters of the fracture was preserved at a museum on the island. Since it opened in 1998, about 8.6 million visitors have viewed the exhibit at the Nojima Fault Preservation Museum in Hokudan Earthquake Memorial Park.

For the past 10 years, deputy curator Masayuki Komeyama, 48, has been telling visitors of his own experiences that day.

Visitor numbers have fallen since a high in 1998, the year of the opening of the Akashi-Kaikyo Bridge, which links Kobe and Awajishima Island. At nearly 4 km long, it is the world’s longest suspension bridge.

Still, Komeyama believes there is growing public interest in the Nojima Fault.

“After the mechanism of an active fault causing a large earthquake became widely known, an increasing number of people are visiting us to learn how to prepare and respond to disasters,” he said.

After the quake took place, evidence was seen on the ground of movement along roughly 10 km of the Nojima Fault, which runs north-south on the island.

Early on Jan. 17, 1995, Komeyama was asleep in his fourth-floor apartment near the southern end of the fault.

“I heard the Earth rumbling from deep underground, followed by a powerful jolt from below,” he recalls. “It felt as if my apartment was falling down after being hit by a big dump truck or something.”

He threw himself over his wife and daughter, aged 2 months, and grabbed the edge of the bed.

“The shaking continued for about 40 seconds, but it felt longer,” he says. The kitchen was littered with broken dishes and he had to kick open the entrance door.

After taking his wife and daughter to an evacuation center in an elementary school gym, he visited the wooden house of his parents, only to find it collapsed.

As a member of a local fire brigade, he took part in rescue work. In the city of Awaji, 58 people died. The quake claimed more than 6,400 lives in all.

“At the time, I had no knowledge of the Nojima Fault and didn’t think a huge quake would hit Awajishima Island,” Komeyama says. “A friend of mine told me that he thought an airplane had crashed, judging from the big noise and jolt, as Kansai International Airport is located nearby.”

After hearing people say that there were bumps on the ground, he went out and discovered the sharp edge raised above the ground. “As the slip on the fault had caused that magnitude of shaking, I was scared by the Earth’s tremendous power.

“I want everybody to be careful not to forget the earthquake. If it’s forgotten, similar disaster damage will happen again,” Komeyama says.

“A large-scale quake could originate in the Nankai Trough” in the Pacific off Japan’s central to southwestern coast, he notes. “Natural disasters can’t be prevented, but I want everyone to think how the damage from a disaster can be alleviated.”