logo2

ugm-logo

Blog

Kepala Ilmuwan WHO: India Berada di Titik Kritis

India dalam beberapa waktu terakhir mengalami lonjakan kasus baru dan kematian COVID-19. Infrastruktur kesehatan publik kewalahan. Begitu juga degan persediaan oksigen, obat-obatan penting, kapasitas tempat tidur rumah sakit, dan vaksin dilaporkan habis.

Penyebaran virus telah merajalela di daerah pedesaan di mana kasus-kasus tidak dilaporkan karena kurangnya tes. Peningkatan infeksi telah disertai dengan perlambatan vaksinasi, meskipun Perdana Menteri Narendra Modi mengumumkan bahwa vaksinasi terbuka untuk semua populasi orang dewasa mulai 1 Mei lalu.

DW pun mewawancarai kepala ilmuwan Badan Kesehatan Dunia (WHO) Soumya Swaminathan. Ia mengatakan penyebaran infeksi di daerah pedesaan, di mana kapasitas sistem kesehatan masyarakat di sana masih lemah, menjadi perhatian.

DW: India telah mencatat ratusan ribu infeksi baru setiap hari dan jumlah kematian terus meningkat. Bagaimana Anda memandang situasi saat ini di negara tersebut?

Soumya Swaminathan: Selama beberapa hari terakhir, India telah melaporkan lebih dari 300.000 kasus baru setiap hari. Jumlah kematian setiap hari juga telah melampaui angka 4.000. Infeksi dan kematian terus meningkat di banyak wilayah.

Sementara kekurangan oksigen dilaporkan, beberapa rumah sakit dan ICU penuh sehingga tidak dapat menerima pasien.

Situasi di India dan di negara-negara lain di kawasan, di mana jumlah kasus meningkat secara signifikan, menjadi perhatian besar WHO.

Kasus-kasus juga meningkat di bagian lain dunia, dan saya pikir kita berada pada keadaan yang sangat rapuh dan sulit dalam pandemi ini, di mana banyak negara telah melonggarkan langkah-langkah kesehatan masyarakat dan pembatasan yang telah diberlakukan pada tahun 2020.

Orang-orang telah kembali ke kehidupan normal, percaya bahwa vaksinasi akan menyelesaikan masalah. Tetapi varian virus baru telah muncul seiring virus berkembang menjadi lebih mudah menular dan lebih efektif.

Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan

Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan

Kami telah melihat pemodelan epidemiologi yang memprediksi bahwa lebih banyak orang akan meninggal karena COVID-19 dalam waktu dekat. Institut Kesehatan Metrik dan Evaluasi di Universitas Washington memperkirakan bahwa India berpotensi mengalami 1 juta kematian pada 1 Agustus.

Kita berada pada titik kritis, kita harus sangat waspada dan proaktif untuk mengatasi situasi, dan untuk mengubah prediksi skenario tersebut. Skenario bergantung pada banyak faktor, dan faktor dapat berubah. Jadi, bergantung pada kita untuk mengubahnya dan tidak membiarkan prediksi itu menjadi kenyataan.

Menurut Anda, faktor apa yang menyebabkan lonjakan ini?

Kami telah melihat ini terjadi berkali-kali di berbagai negara. Virus ini awalnya ditularkan dalam komunitas pada tingkat yang relatif rendah.

Ini mungkin tidak terlihat untuk beberapa waktu, tetapi ini terjadi dan - kecuali jika ada pemantauan ketat - secara bertahap akan meningkat dan mencapai titik di mana virus menyebar dan mentransmisikan dengan kecepatan yang lebih cepat, yang sangat sulit untuk dihentikan tanpa menerapkan tindakan yang sangat ketat.

Saat ini, tidak ada yang bisa mengetahui secara pasti apa penyebab dari lonjakan di India saat ini, tetapi kemungkinan ada kombinasi faktor-faktor yang berperan. Ini termasuk longgarnya perlindungan diri, pertemuan massal dan beredarnya varian yang lebih menular sementara cakupan vaksin masih rendah.

Kita perlu bersama-sama fokus untuk mengisi kekosongan dalam persediaan medis penting dan kapasitas rumah sakit, menekan penularan yang meluas dan menyelamatkan nyawa.

Apakah varian "mutan ganda" yang pertama kali terdeteksi di India merupakan faktor utama penyebab lonjakan?

Sebut saja varian SARS‑CoV‑2 ini dengan nama varian B.1.617. "Mutan ganda" terdengar menakutkan dan kami juga tidak ingin itu dikenal sebagai "varian India".

Saat ini, beberapa varian virus beredar di India, termasuk tiga varian yang menjadi perhatian - varian B.1.117 (pertama kali terdeteksi di Inggris), B.1.351 (pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan), dan varian P.1 (terdeteksi di Brasil). Varian yang lebih baru juga telah terdeteksi di India, seperti varian B.1.617. Sementara penelitian sedang berlangsung, ada beberapa bukti bahwa varian ini lebih menular.

WHO telah mengklasifikasikan varian B.1.617 sebagai varian yang dikhawatirkan karena bukti penularan yang meningkat.Tetapi untuk saat ini, kontribusi relatif varian ini dalam peningkatan kasus yang cepat di India masih belum jelas.

Namun demikian, berdasarkan apa yang kami ketahui sejauh ini, vaksin, diagnostik, dan terapeutik tetap efektif terhadap varian ini.

Bagaimana Anda melihat lonjakan saat ini dalam kaitannya dengan kapan lonjakan itu bisa memuncak dan kemudian menurun?

Kami tidak dapat memprediksi kapan ini akan terjadi, tetapi kami tahu pandemi dapat dikendalikan.

Sekarang fokusnya harus pada pengendalian penularan dan menurunkan jumlah kasus - seperti yang telah kita lihat di negara demi negara, ketika Anda menurunkan kasus, Anda juga akan menurunkan kematian. Ini harus menjadi tujuan kita sekarang.

Kita telah mencoba dan menguji tindakan kesehatan masyarakat dan tindakan sosial yang akan membawa kita ke sana yakni menjaga jarak fisik, menghindari keramaian, memakai masker yang menutupi hidung dan mulut dengan benar, membuka jendela, menutupi batuk dan bersin, dan tangan yang bersih.

Penyebaran infeksi di daerah pedesaan di India, di mana kapasitas sistem kesehatan masyarakat untuk menekan penyebaran masih lemah, menjadi perhatian.

Hampir setiap negara bagian di India menunjukkan tingkat positif tes yang tinggi, dan ada urgensi untuk memikirkan tentang pendekatan di daerah pedesaan, menerapkan mekanisme untuk mendukung dan melibatkan masyarakat, dan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan dalam menerapkan langkah-langkah yang mereka tahu akan kebutuhan komunitas mereka.

Data kasus harian COVID-19 per satu juta penduduk di beberapa negara di dunia

Data kasus harian COVID-19 per satu juta penduduk di beberapa negara di dunia

Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa gelombang ketiga tidak bisa dihindari di India. Menurut Anda apa yang perlu dilakukan untuk menghindarinya?

"Gelombang virus" bukanlah sesuatu yang datang pada kita, itu datang dari kita. Kita tahu virus ini menyebar ketika kondisinya tepat - ada banyak negara yang telah mengalami gelombang ketiga ketika mereka lengah. Penyebaran wabah akan tergantung pada tindakan di semua tingkatan: individu, lokal, nasional, dan internasional.

Saat ini, kita perlu menangani gelombang ini dan melakukan apa yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa dan kita perlu melakukan semuanya: jarak fisik, masker, kebersihan tangan, ventilasi, vaksinasi, pengawasan, pengujian, pelacakan kontak, isolasi, karantina yang mendukung, dan peduli.

Vaksin tetap menjadi alat vital. Namun saat ini, volume dan distribusi vaksin tidak mencukupi untuk mengakhiri pandemi, tanpa penerapan langkah-langkah kesehatan masyarakat yang berkelanjutan dan disesuaikan yang kita tahu akan berhasil.

Adakah pelajaran yang harus dipelajari India di masa depan, mengingat banyak orang di negara itu lengah dan mengira pendemi telah berakhir Desember lalu?

Pandemi telah menunjukkan bahwa ketika kesehatan terancam, semuanya ikut terancam. Tetapi ketika kesehatan dilindungi dan dikampanyekan, individu, keluarga, komunitas, ekonomi dan negara dapat berkembang.

Saya optimis bahwa kita akan keluar dari gelombang yang telah menyebabkan banyak penderitaan ini, sungguh memilukan melihat orang dan keluarga kehilangan orang yang mereka cintai karena penyakit ini. Kita harus belajar dari pengalaman ini dan berinvestasi dalam kesehatan masyarakat. Situasi ini dengan menyakitkan telah membawa kita kebenaran bahwa jika Anda tidak berinvestasi dalam kesehatan, maka tidak ada hal lain yang benar-benar penting.

Jadi, saya berharap di masa depan India akan menjadi contoh yang tepat dan tidak akan pernah menderita seperti ini lagi.

Soumya Swaminathan adalah kepala ilmuwan Badan Kesehatan Dunia. Wawancara dilakukan melalui email dan telah diedit sesuai konteks. (rap/hp)

Pengungsi Cibokor meninggal dunia karena COVID-19

Cianjur (ANTARA) - Pengungsi bencana alam longsor di Desa Cibokor, Kecamatan Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, D (64) yang terpapar COVID-19 meninggal dunia setelah menjalani isolasi di RSUD Cianjur, karena penyakit penyerta.

"Pengungsi berjenis kelamin laki-laki itu, sempat bertahan di ruang isolasi pengungsian selama tiga hari. Namun, kondisi kesehatannya terus menurun di rujuk ke ruang isolasi di RSUD Cianjur," kata Camat Cibeber, Alki Akbar saat dihubungi Selasa.

Pengungsi yang meninggal tersebut, langsung dimakamkan sesuai dengan protokol COVID-19 di pemakaman umum di Desa Cibokor. Sebelumnya pengungsi tersebut menjalani tes cepat dan usap bersama dengan puluhan pengungsi lainnya.

Bahkan sebelum diketahui positif COVID-19 yang bersangkutan, sempat mengeluhkan sakit dan menjalani perawatan medis dari puskesmas setempat. Namun setelah diketahui positif, kondisi kesehatannya semakin menurun.

"Seiring jatuhnya korban jiwa, kami bersama gugus tugas kecamatan, terus melakukan penelusuran dan pengawasan terhadap 76 warga yang masih menjalani isolasi di rumahnya masing-masing sejak kembali dari pengungsian," katanya.

Seperti diberitakan, Pemkab Cianjur, menerapkan pembatasan sosial skala lokal untuk warga satu kampung di Kecamatan Cibeber yang terpapar COVID-19, setelah dilakukan tes cepat dan usap atau RT PCR.

Seluruh kegiatan warga di batasi dan pengawasan dilakukan satgas, gugus tugas kecamatan dan tenaga medis dari puskesmas setempat. Pintu masuk dan keluar kampung di tutup menggunakan portal dari batang bambu, sehingga tidak ada aktifitas keluar masuk perkampungan.

"Semua kegiatan warga selama menjalani isolasi mandiri di rumahnya masing-masing dibatasi, tidak ada yang diizinkan keluar masuk perkampungan kecuali petugas dan tenaga medis," kata Bupati Cianjur, Herman Suherman.

Pihaknya berharap antisipasi yang dilakukan dapat memutus rantai penularan, sehingga wilayah yang sempat dilanda bencana alam longsor dan banjir itu, kembali normal dan bebas dari virus berbahaya.*

Pewarta: Ahmad Fikri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2021

Masa Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana Diperpanjang Lantaran Belum Ada Titik Terang

AKURAT.CO, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily menjelaskan penyebab adanya perpanjangan masa pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana.

Dia mengatakan hal itu dikarenakan masih belum menemukan titik temu antara Panja Komisi VIII DPR RI dengan Panja Pemerintah terkait dengan kelembagaan BNPB.

"Kami, Komisi VIII, masih berprinsip agar nama BNPB dicantumkan secara eksplisit dalam UU. Sementara, Pemerintah masih bersikeras hanya menyebutkan badan saja," tegas Ace saat dihubungi AKURAT.CO, Selasa (22/6/2021).

Ace mengungkapkan, Komisi VIII menginginkan BNPB bukan saja menjadi lembaga yang responsif dan tanggap terhadap bencana, namun harus memiliki kebijakan yang mengedepankan aspek preventif dan pencegahan. Karena dia merasa, sebagai negara yang memiliki potensi bencana yang tinggi harus mengedepankan preventif dengan memberikan edukasi.

"Memetakan potensi kebencanaan yang dapat dikurangi potensi kerugiannya, dan tentu berorientasi pada Pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan Lingkungan alam," terangnya.

Namun meski demikian politisi Partai Golkar itu menilai, sikap pemerintah ini jelas kontradiksi dengan tujuan diadakannya revisi UU ini, yaitu memperkuat kelembagaan BNPB yang harus secara tegas dicantumkan dalam UU beserta dengan tugas dan pokok fungsinya.

"Penyebutan BNPB ini sebagai bentuk penguatan kelembagaan BNPB dan BPBD ditingkat daerah agar managemen pengelolaan bencana kita lebih kuat," tandasnya.

Sebelumnya Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut, perpanjangan pembahasan kedua RUU itu sudah dibahas dalam Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Badan Musyawarah DPR RI pada 17 Juni 2021.

"Perpanjangan waktu pembahasan RUU tentang Pelindungan Data Pribadi diminta Pimpinan Komisi I DPR RI," kata Puan dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (22/6/2021).

Hujan Deras Diprediksi Masih Akan Guyur DIY, BPBD Sleman Waspadai Potensi Bencana

SuaraJogja.id - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman mulai mewaspadai potensi bencana di sejumlah titik wilayah Kabupaten Sleman.

Kewaspadaan itu dimunculkan, menyusul adanya prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta yang menyebutkan, hujan dengan intensitas menengah hingga deras masih akan terjadi di DIY, hingga beberapa hari ke depan.

Kasi Mitigasi Bencana BPBD Sleman Joko Lelono menyebutkan, kewaspadaan di beberapa Unit Lak kalurahan dan Unit Ops di kapanewon juga sudah dipersiapkan, sebagai bentuk antisipasi bencana.

"Misalnya potensi banjir lahar hujan Merapi menjadi perhatian. Mengingat, saat ini material di Merapi sudah lebih dari 1 juta/m3 dan status Merapi masih Siaga. Apabila hujan di atas [Merapi] sangat lebat, bisa melongsorkan material yang ada di atas," kata dia, Selasa (22/6/2021).

Dia menjelaskan, ada beberapa titik yang harus diwaspadai berkaitan dengan potensi lahar hujan Merapi. Meliputi wilayah Turi, Pakem, Cangkringan, Ngemplak dan di wilayah yang dialiri sungai-sungai yang berhulu di Merapi.

"Yang kami pantau selama ini adalah menggerakkan teman-teman relawan untuk memantau wilayah sungai yang memiliki hulu di Merapi. Jadi untuk sementara, yang memiliki hulu di merapi kali Krasak, Boyong, dan Gendol. Kami juga punya CCTV yang memantau," terangnya.

Selain banjir lahar Merapi, pihaknya juga mewaspadai sejumlah titik yang diwaspadai memiliki potensi longsor, antara lain Kapanewon Prambanan. Terdiri atas Kalurahan Bokoharjo, Sambirejo, Gayamharjo, Sumberharjo, Wukirharjo.

"Kami di Prambanan ada forum Bandung Bondowoso yang membantu memantau. Apabila terjadi kejadian darurat akan segera melaporkannya ke BPBD," terangnya.

Selain mewaspadai adanya titik yang berpotensi terjadi banjir lahar hujan dan longsor, BPBD Sleman juga telah mengidentifikasi pohon-pohon yang berpotensi tumbang saat hujan deras.

Ini Upaya BPBD Jabar Waspadai Bencana Kekeringan Akibat Kemarau

Jakarta - Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat (Jabar), Dani Ramdan mengungkap sebagian wilayah di Jabar telah memasuki musim kemarau. Ia memperkirakan kondisi tersebut akan terus meluas, juga dapat memicu bencana kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan.

Dani mengatakan terdapat 7 dari total 36 zona musim di Jabar yang telah memasuki musim kemarau sejak Mei 2021. Tujuh zona musim tersebut berada di sebagian wilayah Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang, dan Karawang.

"Jabar ini terbagi 36 zona musim. Setiap zona musim ini bisa memasuki musim kemarau maupun musim hujan lebih awal atau belakangan. Kita melihat Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, musim hujan lebih panjang. Sampai saat ini masih hujan," kata Dani dalam keterangan tertulis, Kamis (10/6/2021).

"Tapi di Pantura yakni dari Cirebon, Indramayu, Subang, mulai Karawang sudah mulai memasuki musim kemarau. Zona musim ini tidak seluruh wilayah kabupaten tersebut. Karena zona musim ini berbeda dengan batas administratif wilayah kabupaten/kota," imbuhnya.

Dani mengatakan dampak kekeringan di setiap daerah berbeda-beda terlebih jika melihat catatan dari tahun ke tahun. Ia mencontohkan permasalahan yang kerap muncul saat musim kemarau di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bekasi yakni berkaitan dengan ketersediaan air bersih untuk minum.

Sementara itu, musim kemarau di Kabupaten Indramayu, Subang, dan Cirebon akan mengakibatkan kekeringan di lahan-lahan pertanian. Dani menambahkan dampak kekeringan ini berimbas pada lahan pertanian di ketiga daerah yang seringkali mengalami puso.

"Itu berdasarkan catatan historis. Hampir dari tahun ke tahun seperti itu. Memang ada beberapa daerah lain yang mengalami kekeringan, tapi skalanya kecil. Misal hanya satu kampung, satu desa, atau beberapa desa," ucapnya.

Tak hanya itu, Dani mengungkap dampak musim kemarau di Jabar tak hanya berimbas pada minimnya ketersediaan air bersih dan puso saja. Akan tetapi juga dapat memicu kebakaran hutan dan lahan di tujuh daerah, antara lain Kota Cirebon, Cimahi, Kabupaten Cirebon, Kuningan, Bandung Barat, Sumedang, dan Sukabumi.

Oleh karena itu, lanjut Dani, pihaknya telah melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi dampak kekeringan yang terjadi di setiap kemarau. Langkah yang dilakukan BPBD Jabar salah satunya menggelar rapat koordinasi pada Rabu (19/5) dengan BPBD Kabupaten/Kota dan instansi terkait, mulai dari BMKG, Dinas Sosial, sampai Dinas Lingkungan Hidup.

"Dalam rakor itu, kami lakukan pendataan, daerah-daerah yang kemungkinan terdampak kekeringan berdasarkan historis dan perkiraan cuaca yang disampaikan BMKG. Mana daerah yang kemungkinan mengalami cukup berat. Itu sudah diidentifikasi. Termasuk jumlah desa, jumlah kepala keluarga, yang akan terdampak," jelas Dani.

Dani menjelaskan pihaknya melakukan perhitungan kebutuhan air di daerah yang mengalami kekeringan berdasarkan hasil identifikasi tersebut. Selain itu, ia juga melakukan identifikasi terhadap sumber-sumber air.

"Kita perhitungkan juga bagaimana mobilisasinya, alat transportasi. Biasanya menggunakan tangki air. Kita hitung tangki air yang ada di BPBD Kabupaten/Kota, Damkar, PU, Dinsos. Kalau kurang, kita akan meminta bantuan TNI/Polri. Semua sudah dihitung. Dengan harapan, jika terjadi kekeringan, siapa berbuat apa sudah diketahui," pungkasnya.