logo2

ugm-logo

Blog

Dunia Bersiap soal Ancaman yang Lebih Ngeri dari Covid-19

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda, dunia harus dihadapkan pada sebuah ancaman baru. Ancaman itu yakni soal perubahan iklim.

Ancaman bencana baru ini mulai digaungkan lagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Badan internasional itu mengatakan ini adalah "kode merah untuk kemanusiaan".

Tak hanya PBB, beberapa ilmuwan dan pemimpin dunia juga memberikan alarm yang sama. Mereka menyebut bahwa situasi global saat ini sudah memprihatinkan dan harus mendapatkan penanganan segera.

Ini setidaknya tertuang dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Disebutkan bahwa suhu dunia mungkin memanas hingga 1,5°C pada awal 2030-an.

Kenaikan ini disebut sangat mengancam negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik.Dengan meningkatnya suhu di atas 1,5°C, masyarakat Pasifik kemungkinan besar akan mengalami dampak perubahan iklim yang semakin menghancurkan.

Salah seorang profesor penelitian itu, Mark Howden yang juga Wakil Ketua Panel IPCC menyebut bahwa fenomena perubahan iklim ini akan memancing beberapa bencana berat yang akan dialami negara seperti Vanuatu dan Fiji. Mereka saat ini disebut mengalami ancaman dibanjiri air laut dan badai besar.

"Meskipun Pasifik diproyeksikan secara umum menghadapi lebih sedikit topan di bawah pemanasan di masa depan, mereka cenderung menjadi lebih intens," katanya.

"Ini, ditambah dengan kenaikan permukaan laut, akan memperburuk peristiwa gelombang badai mematikan di negara-negara seperti Fiji dan Vanuatu."

Tak hanya itu, kenaikan suhu dunia yang menaikkan ketinggian air laut juga disebut akan mengancam cadangan air bersih negara-negara seperti Mikronesia. Misalnya, penurunan 20% dalam ketersediaan air tanah diproyeksikan pada tahun 2050 di pulau atol karang Negara Federasi Mikronesia (FSM).

"Di bawah skenario kenaikan permukaan laut yang tinggi, ketersediaan air tanah segar di FSM dapat menurun lebih dari setengahnya karena intrusi air laut dan peristiwa kekeringan," tambanya.

Ancaman perubahan iklim juga dialamatkan ke Indonesia. Hal ini diingatkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden beberapa pekan lalu.

Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, presiden negara adidaya itu menyebut bahwa Jakarta terancam tenggelam dikarenakan perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia.

"Departemen Pertahanan mengatakan apa ancaman terbesar yang dihadapi Amerika: perubahaniklim," tegasnya dalam pidato itu sebagaimana dipublikasikan whitehouse.gov akhir bulan lalu

"...Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?"

Lalu apakah dunia sudah siap dengan ini?

Pekan lalu, China, yang selama ini dianggap jadi biang kerok kemunculan pandemi Covid-19 dan juga penghasil emisi karbon terbesar, justru mulai makin waspada soal masalah perubahan iklim.

Negeri Tirai Bambu ini akan merilis rencana terbaru untuk mengurangi emisi karbon. Langkah ini sebagai upaya konkret dari negara ini dalam menekan masalah perubahan iklim.

Utusan China mengatakan akan merilis rencana terbaru pengurangan emisi karbon itu dalam waktu dekat, menjelang acara global United Nations (UN) Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada November 2021 mendatang.

"Dalam waktu dekat makalah kebijakan yang relevan akan ada di luar sana, akan ada rencana implementasi terperinci," kata Xie Zhenhua dalam webinar online yang diselenggarakan oleh Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, dikutip AFP.

"Kemudian kita akan berbicara tentang dukungan itu untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB di Glasgow," tambahnya.

Pertemuan COP26 merupakan langkah penting untuk membuat negara-negara di dunia menyetujui jenis pengurangan emisi karbon guna mencegah bencana perubahan iklim.

Di bawah Perjanjian Paris, negara-negara dimaksudkan untuk menyerahkan target iklim 2030 yang diperbarui sebelum COP26. Tetapi hampir setengahnya belum melakukannya, termasuk penghasil emisi global utama seperti China dan India.

PBB mendorong koalisi global yang berkomitmen untuk nol emisi karbon bersih pada tahun 2050 yang akan mencakup semua negara. China telah mengatakan akan bertujuan untuk netralitas karbon pada tahun 2060.

Perjanjian Paris 2015 mengadopsi janji kolektif untuk membatasi kenaikan suhu permukaan planet pada "jauh di bawah" dua derajat celcius dan batas aspirasi pada 1,5 derajat.

Sebelumnya China enggan berkomitmen Perjanjian Paris. Negeri Tirai Bambu berpendapat negara-negara industri, terutama di Barat, bisa menjadi kaya sebelum kontrol pengurangan karbon disahkan.

Perubahan iklim: Benarkah jadi penyulut memburuknya kebakaran lahan dan hutan di berbagai penjuru dunia?

Gelombang panas dan kebakaran hutan dan lahan yang belakangan terjadi di berbagai belahan dunia memicu kecemasan. Muncul perkiraan bahwa sebagian Eropa dan Amerika Utara akan mengalami tren kebakaran terburuk sepanjang sejarah.

Bagaimana perbandingan tren kebakaran lahan saat ini dengan tahun-tahun sebelumnya?

Kebakaran lahan di California sangat parah

Rekor suhu tinggi pecah di beberapa wilayah barat Amerika Serikat tahun ini. Kondisi itu bukan hanya memicu kekeringan yang parah, tapi juga serangkaian kebakaran lahan besar.

Sepanjang tahun ini luas lahan yang terbakar di negara bagian California sudah dua kali lebih banyak dari rata-rata lima tahunan.

"Kebakaran lahan masif yang kami takutkan sekarang terjadi di California, setelah muncul gelombang panas yang memecahkan rekor," ujar Susan Prichard, akademisi di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan di University of Washington

"Mengingat bahwa kebakaran lahan di California biasanya terjadi hingga November dalam beberapa tahun terakhir, saya cemas AS bakal menghadapi musim kebakaran yang memecahkan rekor lainnya," kata Prichard.

Di AS, lebih dari 3,5 juta hektare lahan telah terbakar sepanjang tahun 2021. Jumlah itu satu juta hektare lebih banyak daripada yang terjadi dari Januari hingga Juli 2020. Padahal, musim kebakaran tahun lalu dicatat sebagai yang paling merusak sepanjang sejarah.

Luas lahan yang terbakar di seluruh AS sepanjang tahun ini masih di bawah rata-rata 10 tahunan. Beberapa negara bagian lain tidak mengalami kebakaran lahan yang separah California.

Tetapi para ahli memperingatkan itu masih sangat dini, dalam apa yang tampak seperti musim kebakaran yang sangat kering dan panjang.

Perubahan iklim meningkatkan risiko cuaca panas dan kering yang kemungkinan akan memicu kebakaran hutan.

"Cuaca ekstrem yang terjadi saat ini, termasuk peningkatan petir dan angin kencang, menjadi lebih sering terjadi selama perubahan iklim," ujar Prichard

Kebakaran di Turki

Kebakaran lahan di Turki juga yang terburuk sepanjang sejarah. Pernyataan itu dikatakan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.

Lebih dari 200 kebakaran terjadi di Turki bagian barat dan selatan, meskipun pihak berwenang mengatakan mayoritas di antaranya sudah terkendali.

Sekitar 175.000 hektare lahan di negara itu terbakar sepanjang tahun ini, menurut Sistem Informasi Kebakaran Hutan Eropa.

Angka itu delapan kali lebih besar dari rata-rata yang dihitung antara tahun 2008 dan 2020.

"Ini adalah tahun yang sangat buruk di seluruh wilayah Mediterania. Kami percaya bahwa ini disebabkan suhu di atas rata-rata sepanjang Juli di wilayah tersebut," ujar Yusuf Serengil, ilmuwan dari Fakultas Kehutanan di Universitas Istanbul.

Pemerintah Turki dikritik karena lengah. Saat kebakaran hebat terjadi, mereka tidak memiliki cukup pesawat untuk mengatasinya situasi.

Turki akhirnya mendapat bantuan dari Perancis, Spanyol dan beberapa negara lain.

Kebakaran lahan di Yunani juga memecahkan rekor, yaitu 12 kali lebih luas daripada rata-rata beberapa tahun sebelumnya.

Salah satu yang sangat terdampak akibat kebakaran ini adalah Pulau Evia. Lebih dari 2.000 orang dievakuasi melalui laut dari pulau tersebut.

Saat ini kebakaran lahan juga masih terjadji di wilayah Peloponnese, di antara kota Kalamata dan Patras.

Siberia terbakar

Asap tebal akibat kebakaran lahan menyelimuti sebagian Siberia. Menurut citra satelit, asap itu berhembus hingga Lingkar Arktik dan sekitarnya.

Kebakaran lahan di Siberia terjadi setiap musim panas dan biasanya dimulai di selatan, yakni di sekitar perbatasan China dan Mongolia.

Pada masa sebelumnya, kebakaran itu secara bertahap bergerak ke utara menuju Lingkar Arktik yang terpencil. Di sana api sulit dijangkau.

Musim kebakaran lahan ini telah melihat asap dari Siberia mencapai Kutub Utara untuk pertama kalinya dalam sejarah yang tercatat.

Dan saat ini ada tanda-tanda lain bahwa kebakaran lahan di kawasan itu bakal semakin parah. Rata-rata area yang terbakar di Siberia selama satu dekade terakhir lebih dari dua kali lipat dari sebelumnya, menurut data Sukachev Forest Institute.

Republik Sakha (atau Yakutia) di timur laut Siberia menghadapi kebakaran hebat sejak pertengahan Juni. Kebakaran dengan intensitas tinggi ini mengeluarkan lebih banyak karbon dioksida ke udara.

Volume karbon yang dilepaskan oleh kebakaran di Sakha tahun ini jauh melebihi beberapa tahun terakhir. Meski begitu, beberapa daerah di sekitar mereka belum mengalami musim yang buruk.Para ilmuwan menyebut bahwa suhu yang lebih hangat dan kering di bagian utara Siberia meningkatkan risiko kebakaran. Perubahan iklim yang disebabkan manusia adalah faktor kunci dalam aktivitas kebakaran yang lebih ekstrem di kawasan ini.

Sebuah studi menyimpulkan bahwa gelombang panas di Siberia yang memecahkan rekor pada tahun 2020 tidak mungkin terjadi tanpa perubahan iklim.

Apa yang terjadi di Amazon?

Kawasan Amazon di Brasil diawasi dengan ketat karena deforestasi dan kebakaran lahan pertanian mengancam wilayah ekosistem yang berharga ini.

Saat ini awal musim kebakaran tahunan di Brasil baru dimulai, yang biasanya mencapai puncak pada bulan Agustus dan September.

Sejauh ini pada tahun 2021, area yang terbakar di Amazon, Brasil, lebih sedikit dibandingkan tahun lalu, menurut data satelit yang dianalisis Michelle Kalamandeen, seorang ahli ekologi tropis.

Namun dampak terhadap padang rumput atau sabana luas yang digunakan untuk bercocok tanam dan ternak meningkat.

Pada tahun 2020, kebakaran sangat merusak terjadi di selatan Amazon, seperti di negara bagian Mato Grosso dan Para. Kawasan ini terdiri dari hutan dan sabana, yang meningkatkan kerawanannya untuk terbakar.

Kondisi saat ini dan ramalan cuaca memperkirakan terjadinya kekeringan lain. Artinya, kata Katia Fernandes, Asisten Profesor di Universitas Arkansas, kebakaran besar bisa terjadi lagi di wilayah Amazon ini.

Kawasan hutan hujan lainnya di Brasil serta hutan di Peru dan Bolivia, diyakini akan terbakar lebih luas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Secara keseluruhan, prakiraan cuaca menyebut kondisi iklim akan tidak memungkinkan terjadinya kebakaran separah tahun 2020.

Aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, bagaimanapun, juga menimbulkan risiko kebakaran besar.

Tingkat deforestasi yang masih dapat memicu kebakaran saat cuaca menjadi lebih kering.

Dan di samping aktivitas manusia ini, dampak perubahan iklim di Amazon signifikan, menurut Fernandes.

"Kami telah melihat bukti bahwa musim kemarau bertambah panjang dan kekeringan parah terjadi lebih sering karena variabilitas alam yang diperburuk perubahan iklim," ujarnya.

Perubahan Iklim, Juli 2021 Bulan Terpanas dalam 142 Tahun Terakhir

NCEI mencatat Asia memiliki rekor terpanas pada bulan Juli 2021, mengalahkan catatan sebelumnya yang ditetapkan pada 2010. Kondisi ini menunjukkan penambahan jalur gangguan perubahan iklim dunia.

Perubahan iklim dan pemanasan global tak membaik. Pusat Informasi Lingkungan Nasional (NCEI) Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat menyebut, Juli 2021 menjadi bulan terpanas di dunia yang pernah tercatat.

“Rekor ini menambah jalur gangguan perubahan iklim dunia,” kata Administrator NOAA Rick Spinrad, PhD, pada situs badan tersebut, Jumat (13/8). 

Dalam catatannya, Juli biasanya menjadi waktu terpanas dunia sepanjang tahun. Khusus pada bulan lalu, suhu permukaan global lebih tinggi 0,93 derajat Celcius dari rata-rata abad ke-20 yang mencapai 15,8 derajat Celcius. Angka ini merupakan rekor tertinggi untuk bulan Juli dalam 142 tahun. 

Angka tersebut lebih tinggi 0,01 derajat Celcius dari rekor sebelumnya, pada 2016. NCEI menyebut, tujuh bulan Juli terpanas terjadi sejak 2015. Tahun ini menandai Juli ke-45 secara berturut-turut kenaikan suhu global.  

Pemanasan permukaan dataran global dipicu menghangatnya daratan bumi belahan utara. Pada bagian jagat ini, suhu bulan Juli tertinggi mencapai 1,54 derajat Celcius di atas rata-rata, melampaui rekor di 2012.

Selama bulan tersebut, NCEI mengatakan suhu lebih hangat dari rata-rata pada Amerika Utara, Eropa, bagian utara dan selatan Amerika Selatan, utara Afrika, separuh bagian selatan Asia, Oseania dan sebagian bagian barat dan utara Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia.

Suhu justru lebih dingin dari rata-rata terjadi di seluruh bagian timur laut Kanada, sekitar wilayah tengah bagian selatan dan tenggara Amerika Serikat, bagian selatan Afrika, bagian utara Rusia, dan bagian tenggara Samudra Pasifik.

Secara regional, NCEI mencatat Asia memiliki rekor terpanas pada bulan Juli 2021, mengalahkan catatan sebelumnya yang ditetapkan pada 2010. Eropa mencatat rekor terpanas kedua pada bulan yang sama. Sedangkan Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika dan Oseania semuanya masuk 10 besar dalam rekor.

Panas ekstrem yang dirinci dalam laporan bulanan NOAA juga merupakan cerminan dari perubahan iklim jangka panjang yang tercantum pada laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pada pekan ini.

Para ilmuwan dari seluruh dunia menyampaikan penilaian paling mutakhir tentang perubahan iklim. “Ini adalah laporan IPCC yang serius yang menemukan bahwa pengaruh manusia, secara tegas, menyebabkan perubahan iklim, dan dampaknya meluas serta meningkat dengan cepat," kata Spinrad.

PBB Peringatkan Bahaya Perubahan Iklim

Bahaya pemanasan global dan perubahan iklim semakin tidak terkendali. Laporan panel iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan, suhu bumi telah meningkat 1,1 derajat Celcius sejak abad ke-19.

Apabila tidak ada penanganan signifikan, suhu bumi akan naik 1,5 derajat Celcius dalam 20 tahun. Pada laporan IPCC, para ilmuwan menyebut manusia adalah penyebab utama pemanasan global. 

Upaya mengurangi emisi karbon dioksida atau gas rumah kaca juga dianggap tak mampu menghilangkan seluruh dampak pemanasan global. Dampaknya sudah terjadi di seluruh penjuru dunia dalam beberapa waktu belakangan ini.

Contohnya, banjir bandang yang menerjang Jerman dan Tiongkok. Lalu, kebakaran hutan besar yang terjadi di  Siberia, Turki, dan Yunani. Ada pula gelombang panas yang menewaskan ratusan orang di Amerika dan Kanada.

Laporan itu juga memperingatkan bencana selanjutnya dapat lebih buruk. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan laporan itu sebagai kode merah untuk kemanusiaan. 

Dia berharap laporan ini bisa bisa menghentikan penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil sebelum menghancurkan bumi. “Bunyi lonceng alarm memekakkan telinga,” kata Guterres dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters, Selasa lalu.

Peneliti LIPI Berharap Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi Soroti BRIN

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas mengenai Badan Riset dan Inovasi (BRIN) dalam Pidato Kenegaraan.

"BRIN sebagai institusi baru sempat menimbulkan polemik," kata Siti Zuhro ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Minggu, 15 Agustus 2021.

Menurut Siti, polemik tersebut diakibatkan oleh Peraturan Presiden yang dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek).

Selain itu, penyebab lainnya adalah kekhawatiran terhadap dibubarkannya 84 lembaga yang dilebur ke dalam BRIN, serta kebingungan dan ketidakpastian khususnya terkait dengan nomenklatur baru. "Pengalaman menyatukan lembaga menunjukkan sesuatu yang tidak sederhana, butuh waktu dan penyesuaian yang memadai," ucapnya.

Ia juga mengatakan, kelembagaan yang efektif sangat diperlukan Indonesia untuk membangun SDM unggul, serta menciptakan teknologi dan inovasi.

Sebagai lembaga baru, tutur Siti menambahkan, BRIN mendapat beban yang sangat berat bila menggabungkan empat lembaga terkait penelitian dan ilmu pengetahuan teknologi, seperti menggabungkan lembaga LIPI, BPPT, LAPAN, dan BATAN yang sudah hampir dewasa. "Nasib riset harus jelas dan prospektif agar berdampak positif bagi kemajuan Indonesia," tutur Siti Zuhro.

Indonesia yang maju dan inovatif perlu ditopang hasil penelitian dan inovasi yang mantap sehingga bisa dijadikan landasan oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan. Oleh karena itu, peneliti politik LIPI ini berharap agar Presiden Jokowi memberi pernyataan dalam Pidato Kenegaraan terkait dengan keberadaan lembaga ini.

Selain itu, Siti Zuhro juga berharap agar pemerintah membahas mengenai kinerja Kementerian Pendidikan dan Ristek. Lembaga ini memiliki kaitan yang begitu erat dengan dampak pandemi Covid-19 terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan. "Prokes yang ketat tidak memungkinkan siswa masuk sekolah, sehingga pola pendidikan di Indonesia berubah drastis," tutur Siti.

Ia berharap agar presiden memaparkan hasil dari perubahan pola pendidikan, dari yang sebelumnya tatap muka, kini diselenggarakan secara daring. "Apakah membuat kualitas siswa dan mahasiswa semakin baik atau justru sebaliknya?" ucap Siti.

Permasalahan pola pendidikan mendapat perhatian khusus dari Siti Zuhro mengingat tidak semua siswa maupun mahasiswa dapat mengakses proses belajar via internet. Oleh karena itu, ia berharap agar Presiden Jokowi menyampaikan kinerja Kementerian Pendidikan dan Ristek dalam Pidato Kenegaraan. "Saya berharap, Indonesia dapat lebih serius dalam membenahi kualitas pendidikan guna memberdayakan rakyat dan menciptakan SDM unggul," tuturnya.

ANTARA

Perubahan Iklim, Arena Perang Kita Saat Ini

Belum genap sebulan selepas Jeff Bezos dan Richard Branson menjelajah luar angkasa dalam beberapa menit, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres menyebut bumi telah sekarat akibat perubahan iklim. Hal ini ia katakan untuk mengomentari laporan terbaru dari panel ilmuwan di badan bernama Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC berjudul Climate Change 2021: The Physical Science Basis (2021).

"Laporan ini," kata Guterres, "adalah kode merah bagi kemanusiaan."

Dalam laporan yang telah dimulai sejak 1988 dan dirilis setiap tujuh atau delapan tahun tersebut, IPCC menyatakan telah terjadi peningkatan karbon dioksida (CO2) sebesar 410 ppm (parts per million) di atmosfer setiap tahun sejak 2011. Ppm menunjukkan rasio dari satu gas dibanding gas lain. Misalnya jika tertulis "1.000 ppm karbon dioksida", berarti terkandung 1.000 karbon dioksida di antara 999 ribu molekul lain di atmosfer. Terjadi pula peningkatan gas metan (CH4) dan dinitrogen monoksida (N2O) masing-masing sebesar 1.866 ppb (part per billion) dan 332 ppb per tahun.

Dengan kian mengepulnya gas rumah kaca di atmosfer, suhu permukaan bumi mengalami peningkatan 1,09 derajat Celsius antara 2011 hingga 2021, dibandingkan dengan peningkatan suhu yang terjadi pada 1850 hingga 1900. Suhu permukaan laut pun meningkat 0,88 derajat Celsius dalam rentang yang sama, membuat semakin mengikisnya es di Kutub Utara dan Selatan hingga tinggi permukaan lautan (sea level) meningkat rata-rata 3,7 milimeter per tahun. Peningkatannya jauh lebih tinggi dibandingkan 1901 hingga 1971. Ketika itu permukaan laut hanya meningkat 1,3 milimeter per tahun.


Gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim tersebut terjadi karena, mengutip laporan, "pengaruh manusia."

Kajian mengenai perubahan iklim kerap berbeda dalam hal "siapa pelaku" sesunguhnya. Peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) bernama Dennis L. Meadows dalam buku The Limits to Growth: A Report for the Club of Rome's Project on the Predicament of Mankind (1972) mewakili satu tendensi, yaitu bahwa semua terjadi karena pesatnya (eksponensial super) pertumbuhan penduduk.

Buku tersebut menjelaskan bahwa bumi hanya diisi 0,5 miliar penduduk pada 1650 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 0,3 persen per tahun. Seiring penemuan obat-obatan untuk menangani berbagai penyakit, semakin berkualitas gizi yang diserap, serta berkurangnya peperangan, kualitas hidup manusia meningkat pula. Demikian pula angka harapan hidup, juga populasi penduduk. Maka, pada 1970 atau 350 tahun kemudian, bumi telah diisi 3,6 miliar penduduk dengan tingkat pertumbuhan 2,1 persen per tahun.

Bersamaan dengan itu tercipta "vicious circle" alias "feedback loop", suatu fenomena yang membuat kenaikan gaji, misalnya, menggiring kenaikan permintaan terhadap barang/jasa, lalu berakibat pada kenaikan harga barang/jasa, kemudian menggiring kenaikan gaji (dan seterusnya dan selamanya). Kenaikan gaji yang menggiring kenaikan permintaan serta harga barang tidak akan memberikan dampak buruk seandainya dapat ditekan di bawah 2 persen. Namun, karena pertumbuhan penduduk naik secara eksponensial super, "vicious circle" yang tercipta pun super.

Pokok/subjek yang digiring pertumbuhan super oleh pertumbuhan penduduk ini adalah industri serta lingkungan, yang sialnya memiliki batas.

Gara-gara pertumbuhan penduduk ini, industri pun harus tumbuh dengan tingkat eksponensial serupa, dari 7 persen pada 1963 menjadi lebih dari 10 persen per tahun setelahnya. Melalui peningkatan industri, meningkat pula material-material bumi yang dimanfaatkan untuk memproduksi berbagai kebutuhan. Hingga, tentu, meningkatkan produksi gas rumah kaca yang berakibat buruk pada lingkungan.

Sementara Jason Hickel dalam studi berjudul "Quantifying National Responsibility for Climate Breakdown: An Equity-based Attribution Approach for carbon Dioxide Emission in Excess of the Planetary Boundry" (The Lancet Planet Health Vol. 4 2020) menyebut bukan manusia secara umum pelaku perubahan iklim, tapi negara-negara berpendapatan tinggi produsen gas rumah kaca. Amerika Serikat menjadi yang paling wahid dengan melepaskan 420 gigaton karbon dioksida dalam rentang 1970 hingga 2015, lalu disusul oleh Uni Eropa sebanyak 377 gigaton.

Hickel menyatakan secara umum Global North atau negara-negara yang terletak di sebelah utara bumi dan umumnya memiliki catatan sejarah sebagai kolonialis menyumbang karbon dioksida jauh lebih banyak dibandingkan Global South. Global North menghasilkan 1,032 teraton atau setara dengan 68 persen total karbon dioksida yang menguap ke angkasa, jauh lebih tinggi dibandingkan Global South yang hanya menyumbang 484 gigaton. Atas dasar itu Hickel mengatakan Global North harus jauh lebih bertanggung jawab atas masalah iklim ini.

Dua negara Global South, Cina dan India, memang menghasilkan karbon dioksida yang besar. Namun Hickel enggan memasukkan mereka ke dalam kantong yang sama karena memiliki banyak sekali penduduk, timpang dengan AS dan Eropa.

Kembali merujuk Guterres, andai persoalan ini tak segera teratasi, maka peningkatan suhu bumi mencapai 1,5 derajat Celsius dalam 20 tahun mendatang. Titik yang dapat menghasilkan petaka bagi umat manusia.

Meskipun mendorong penyelesaian masalah, Steven E. Koonin dalam buku Unsettled: What Climate Science Tells Us, What It Doesn't, and Why It Matters (2021) menyebut PBB dan kawan-kawan di IPCC terlalu naif dengan menyatakan perubahan iklim saat ini sebagai "kode merah". Alasannya, kata mantan penasihat sains pada pemerintahan Barack Obama ini, "tidak ada data yang cukup kuat untuk mengaitkan aktivitas manusia dengan perubahan iklim."

(Catatan: Meskipun buku Koonin terbit lebih dulu dibandingkan laporan IPCC, bersumber pada laporan IPCC terdahulu, Koonin "memprediksi" laporan seperti apa yang keluar pada 2021 ini).

Bukan, Koonin bukan menolak klaim aktivitas manusia melalui industri memengaruhi produksi karbon dioksida. Dengan perbedaan jumlah penduduk antara 1900-an dan 2000-an, menurutnya bukanlah sesuatu yang aneh apabila suhu bumi meningkat gara-gara produksi karbon dioksida yang meningkat. Hanya saja menurutnya dalam kerangka "perubahan iklim" atau, yang semestinya disebut "iklim yang berubah gara-gara manusia", suhu permukaan bumi dan lautan merupakan sesuatu yang sukar diukur. Atau dapat diukur tetapi dengan catatan keras: "perkiraan" semata.

Suatu tempat, misalnya, tak bisa sekadar ditetapkan "memiliki suhu 14,85 Celsius", tetapi wajib menyertakan "sigma" atau "kelenturan". Maka, andai suatu tempat suhu-nya diukur, wajib tertulis 14,85 dan 0,07 Celsius, di mana 0,07 dapat menambahkan atau mengurangi pokok suhu. Artinya, bila hari ini suhu di suatu tempat hanya tertulis 14,85 dan sebulan kemudian tertulis 14,92, tempat tersebut tak bisa disebut mengalami peningkatan suhu. Bagi Koonin, laporan IPCC terlalu berbelit, tak memperlihatkan patokan suhu yang berubah, hanya "peningkatan suhu" semata.

(Catatan: saya sependapat dengan komentar Koonin ini. Silakan cek keruwetan laporan berbentuk PDF berukuran lebih dari 250 megabyte setebal 3.949 halaman dari IPCC ini.)

 

Infografik Perubahan Iklim
 

Kritik dari Koonin mendapat perlawanan dari Michael E. Mann melalui buku berjudul The New Climate War (2021). Dalam buku yang di-endorse Greta Thunberg tersebut, Mann menegaskan kembali bahwa masalah utama perubahan iklim adalah industri yang kian gila mengeksploitasi bumi.

Masalahnya, industri memiliki dana melimpah untuk tetap menjaga produktivitasnya. Dengan kekuatan tersebut, seturut dengan kelakuan perusahaan-perusahaan senjata hingga rokok yang enggan disalahkan atas korban jiwa dan penyakit gara-gara pistol serta tembakau, upaya mengadang perubahan iklim coba dilawan dengan taktik "kill the messenger" alias bunuh kredibilitas individu/lembaga penyebar. Ini dilakukan perusahaan-perusahaan yang sangat mungkin terdampak apabila pengetatan produksi karbon dioksida diterapkan.

Koonin sendiri, sebelum mengabdi pada Obama, merupakan ketua ilmuwan BP alias The British Petroleum Company, salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar saat ini.