Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset (PR) Kependudukan dalam hal ini Kelompok Riset Penduduk dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyelenggarakan Webinar atau diskusi kemisan kelima yang tema “Bongkar Pasang Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk Mitigasi Bencana Hidrometeorologi”, Kamis (23/11). Kegiatan ini menghadirkan pembicara, Malawani dari Departemen Geografi Ilmu Lingkungan Universitas Gajah Mada, serta para peneliti PR Kependudukan BRIN, Dewi Retna Indrawati dan Tria Anggita H.
Malawani kali ini memaparkan tema ”Pengelolaan DAS”. Terhadap hal itu, ia menanyakan apakah perlu dibongkar pasang yang artinya terkait dengan manajemen dan peraturannya kemudian bagaimana mengaplikasikan. Untuk mengulas tujuan pengelolaan tersebut, menurutnya tentu saja harus melihat regulasi yang ada di Indonesia.
Jadi, seperti apa konsepnya, pendekatannya, dan bagaimana jika dikaitkan bencana hidrometriologis, seperti apa peluang dan tantangan sehingga bisa menentukan strategi ke depan untuk meningkatkan peluang. ”Ini yang harus diidentifikasi bersama!” ungkap Malawani.
Dia menyebutkan, ada tiga tujuan pengelolaan DAS merujuk pada keputusan atau convention secara internasional. Pertama yaitu United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD) atau terkait biodiversity. Kedua, terkait land degradation atau United Nations Convertion to Combat Desertification (UNCCD). Ketiga adalah Clime Change Adaptation.
Dari Convention internasional tersebut ternyata sudah diterjemahkan di Indonesia yaitu terkait biodiversity, sudah ada regulasinya dari KLHK dengan Nomor 9 Tahun 2009 tentang pedoman konservasi keanekaragaman hayati di level Kabupaten atau Provinsi. Terkait degradasi, menurutnya, sudah sangat jelas dan banyak variasinya, salah satunya adalah kriteria penetapan klasifikasi daerah dan sungai yang nantinya status pemulihannya sangat tinggi, sehingga hal ini belum menjadi prioritas. Selanjutnya, pedoman kajian kerentanan dan dampak perubahan iklim. Sementara, ia menyoroti bahwa melalui pusat riset yang ada, BRIN dapat berkontribusi melalui riset – riset yang dikembangkan dalam menciptakan peluang dalam menghadapi tantangan tersebut.
Dalam kesempatan ini, ia juga menjelaskan konsep pengelolaan DAS yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dikelola per sektor atau wilayah, perencanaan yang berkelanjutan yaitu partisipasi berbagai pihak dan koordinasi, serta bersinergi dan saling terkoneksi.
Menurutnya lagi, peluang yang bisa diciptakan untuk pengelolaan DAS yaitu community involvement atau pelibatan masyarakat. ”Saat ini masyarakat sangat antusias sekali jika dilibatkan dalam pengelolaan DAS dan itu menjadi kekuatan!” ujarnya.
Maka, program tersebut kuncinya adalah harus berkesinambungan. Lalu, program science technology development bisa diterapkan, di mana peneliti-peneliti saat ini semakin canggih dengan ketersediaan alat yang semakin canggih, serta kolaborasi semakin luas sampai tingkat internasional. Namun hal itu, masih ada tantangan yang dihadapi yaitu perubahan iklim, juga eskalasi bencana hidrometeorologis. Seperti contohnya, pembuangan sampah yang bisa menimbulkan eskalasi bencana, kekeringan, dan sebagainya. Ada lagi tantangannya, yaitu anthropogenic pressure, di mana adanya kepadatan penduduk, pembangunan kota, dan lain sebagainya.
“Peluang dan tantangan itu kita pelajari bersama. Kita perlu melihat bagaimana strategi pembangunan wilayah, perencanaan wilayah, dan ke depan mau dibangun seperti apa sehingga program pengelolaan DAS bisa adaptif ,” tegasnya.
Sementara, Dewi memaparkan tema “Kompleksitas Pengelolaan DAS”. Ia mengatakan, pengelolaan DAS sangat kompleks dari sisi-sisi batas wilayah, peran para pihak, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari kondisi DAS saat ini, ternyata masih banyak terjadi bencana hidrometeorologi. Hal itu diungkapkannya berdasarkan sumber data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Di mana, bencana yang setiap tahun selalu naik kejadiannya dan didominasi bencana hidrometeorologi. ”Artinya bahwa pengelolaan DAS yang di lakukan selama ini belum memberikan hasil signifikan,” urai Dewi.
Dewi lantas menambahkan, beberapa fakta terkait pengelolaan DAS dilihat dari sisi wilayah. Di Indonesia wilayah DAS sangat besar, mulai dari puluhan atau ratusan hektar bahkan sampai ratusan ribu hektar. Wilayah – wilayah tersebut, menurutnya, banyak yang tidak selaras dengan wilayah administrasi. Hal itu perlu kerja sama lintas. Namun sayangnya, menurut Dewi, seringkali prioritas dari setiap daerah berbeda. Hal itu yang menjadi tantangan besar karena faktor ekonomi yang menentukan, tentu dengan pendekatan skala prioritas.
Sementara, dewi menjelaskan, untuk wilayah yang cukup besar dengan pendekatan DAS Mikro akan dapat mengurangi kendala kewilayahan. Karena kelebihan dari pengelolaan DAS mikro ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan yang relatif lebih mudah. Hal itu memudahkan koordinasi dan sinkronisasi antar wilayah. Pengelolaan bisa lebih difokuskan pada suatu DAS mikro secara utuh dan dapat dilakukan secara bertahap untuk seluruh DAS. Masyarakat akan lebih mudah ikut berpartisipasi dalam perencanaan dan operasional pelaksanaan pengelolaan DAS mikro.
Fakta lain diungkapkan Dewi, di dalam spengelolaan DAS seringkali ada benturan. Banyaknya pihak yang seharusnya melakukan secara bersama – sama, justru menambah adanya perbedaan kepentingan. Dewi menganalisis, Pemerintah sebenarnya punya kekkuatan untuk mengaturnya, tetapi karena perbedaan kepentingan sehingga pengelolaan DAS masih terfragmentasi. Disoroti Dewi, maka adanya partisipasi masyarakat menjadi bagian penting di dalam pengelolaan DAS, karena mereka adalah pemilik lahan. ”Jadi mereka berhak menentukan pemanfaatan lahannya. Namun sayangnya partisipasi masyarakat masih pasif sehingga mereka belum terlibat aktif di dalam pengambilan keputusan,” ungkapnya.
Selanjutnya, Tria Anggita memaparkan tema “Penguatan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan DAS Jeneberang”. Ia melihat sisi masyarakat Indonesia yang overlapping dengan batas administrasi. Terkait ini, ia memberikan contoh wilayah yang ia teliti yang meliputi kabupaten Gowa (wilayah hulu dan tengah), kabupaten Takalar (wilayah Tengah), dan kota Makassar (wilayah hilir). Wilayah pengelolaan DAS di sini dikenal dengan nama Jeneberang yang berstatus DAS prioritas, sesuai dengan kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2015- 2019. DAS Jeneberang ini untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat, sumber air irigasi, pembangkit listrik, dan potensi pariwisata.
Di dalam mengidentifikasi pengelolaan DAS tersebut, Tria mengungkapkan isu banyaknya runtuhan akibat aktivitas gunung api, lalu kegiatan penambangan ilegal, dan sebagainya yang mengakibatkan mengakibatkan erosi sedimentasi, sehingga hal itu mengancam lingkungan, terutama ketersediaan dan kualitas air.
Tria menyarankan optimalisasi Forum DAS Jeneberang. Caranya, adanya aturan penganggaran program, di mana pembuatan peraturan pemerintah Sulawesi Selatan yang menetapkan bahwa program yang dianggarkan harus berdasarkan kesepakatan Forum DAS Jeneberang. Lalu adanya perwakilan masyarakat di Forum DAS untuk mewakili masyarakat desa dengan melibatkan akademisi, mahasiswa, dan LSM untuk memastikan representasi yang komprehensif. Tria juga menyarankan adanya struktur dan pengawalan Forum DAS untuk persetujuan program yang didasarkan pada kesepakatan Forum DAS Jeneberang. Ini diawasi oleh Dewan DAS Jeneberang dengan anggota dari perguruan tinggi, LSM, masyarakat, pemerintah dan perusahaan. ”Yang tak kalah penting juga, penyebaran informasi kebijakan atau program Forum DAS Jeneberang yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan bantuan akademisi. Ini mencakup tidak hanya pemerintah desa tetapi juga masyarakat yang terlibat dalam proses mencari apresiasi,” tutupnya. (Noor/ed. And)