Jakarta-Humas BRIN. Indonesia adalah negara yang rentan terhadap berbagai jenis bencana alam dan non-alam karena letak geografisnya yang terletak di Cincin Api Pasifik dan memiliki topografi yang kompleks. Pada 2014-2023, bencana paling banyak terjadi pada 2020 sebanyak 5.003 bencana. Bencana yang paling banyak terjadi yaitu puting beliung sebanyak 8.569, diikuti bencana banjir sebanyak 8.334 dan tanah longsor sebanyak 7.437 kejadian.
Sebagian besar wilayah Indonesia terletak di atas jalur-jalur sumber gempa besar dari zona megathrust-subduksi lempeng dan sesar-sesar aktif. Sehingga bukan hanya berpotensi menimbulkan kerusakan infrastruktur dan konektivitas dasar, namun dapat menimbulkan kerugian korban jiwa. Sekitar 96,27% populasi terpapar multihazard, 75% infrastruktur berada pada zona rawan bencana, dan 22,85 Trilyun/tahun rata-rata kerugian akibat bencana.
Penyandang disablitas, lansia, kepala keluarga perempuan, dan anak-anak sebagai kelompok rentan bencana yang perlu memperoleh jaminan untuk dapat menjalani kehidupan secara berkualitas dan bermartabat (human dignity). Kelompok ini mendapatkan kesamaan hak dan kewajiban dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks kebencanaan. Kelompok rentan juga perlu berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Pernyataan tersebut disampaikan Amich Alhumami Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan di Kementerian PPN/Bappenas pada gelaran Kick Off Meeting Nasional Indonesia untuk Program MOST – UNESCO. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan (DKP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara hibrid, di Gedung BJ. Habibie Jakarta, Selasa (27/2).
“Kelompok rentan merupakan kelompok yang paling berpotensi terdampak baik secara fisik, psikologis, maupun sosial ekonomi. Dampak langsung dan tidak langsung (jangka panjang), seringkali diatasi dengan strategi yang kurang tepat sehingga mengakibatkan kelompok rentan menjadi semakin rentan,” ujarnya.
Menurutnya, pengelolaan risiko bencana yang tepat guna merupakan aspek penting untuk memastikan keseimbangan dan keberlanjutan rencana pembangun, sebagaimana tertuang dalam Visi Indonesia Emas 2045 yaitu Negara Nusantara yang Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan.
“Berdaulat, artinya Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki kemandirian dan kewenangan penuh untuk mengatur sendiri seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di wilayahnya. Maju, menunjukkan ekonomi yang mencapai posisi nomor lima terbesar dunia, berbasiskan pengetahuan dan inovasi yang berakar pada budaya Nusantara. Indonesia menjadi negara berdaya, modern, tangguh, inovatif, dan adil,” jelasnya.
Berkelanjutan, terang Amich, sebagai negara yang berkomitmen untuk terus menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yag tinggi seimbang dengan pembangunan sosial, keberlanjutan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup, serta tata kelola yang baik.
Nara sumber berikutnya Dika Yudistira dari Kemensos RI memaparkan mengenai kerentanan sosial menurut Kemensos RI, bahwa risiko kerentanan dibagi tiga, yaitu kemiskinan, perubahan iklim, dan bencana. Kerentanan ini akan terjadi di sepanjang siklus hidup manusia, mulai usia anak, usia sekolah, usia kerja, lansia, dan penyandang disabilitas.
Dirinya juga menjelaskan, tugas Kemensos RI menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
“Di Kemensos ada beberapa program untuk mengatasi hal tersebut, yaitu Climate Change Adaptation berupa program sembako, atensi, bantuan sosial darurat, buffer stock logistic bencana. Selanjutnya, Disaster Risk Reduction yang meliputi Kampung Siaga Bencana (KSB), Lumbung Sosial, Taruna Siaga Bencana (Tagana), dan sebagainya,” paparnya.
KSB merupakan wadah formal penanggulangan bencana berbasis masyarakat yang berada di kecamatan dan dijadikan kawasan/tempat untuk program penanggulangan bencana. Sasarannya yaitu kawasan dari sejumlah desa/kelurahan yang teridentifikasi memiliki risiko bencana.
“Lumbung Sosial adalah sarana penyediaan akses logistik kepada masyarakat di lokasi rawan bencana yang disimpan di ruangan pemerintah setempat atau yang berdasarkan kearifan lokal dan kesepakatan Masyarakat. Logistik disimpan di ruangan bukan milik pemerintah. Untuk pengelolaan, pencatatan dan pelaporannya dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk dengan Keputusan Kepala Desa tempat lumbung sosial disimpan,” jelasnya.
Dika membeberkan, berdasarkan Permensos No. 28 Tahun 2012, TAGANA adalah relawan sosial yang memiliki kepedulian dan aktif dalam penanggulangan bencana. “Tagana merupakan relawan yang berasal dari masyarakat dengan kepedulian tinggi, dan aktif dalam penanggulangan bencana bidang perlindungan sosial. Tagana merupakan perwujudan dari penanggulangan bencana bidang bantuan sosial berbasis masyarakat,” kata Dika.
Ia memberikan contoh, tanggap darurat bencana penanganan korban saat gempa bumi Cianjur, Kemensos RI menyediakan tenda pengungsian, pos medis, pos layanan dukungan psikososial, lapangan olah raga, tempat ibadah. Menyediakan toilet umum, dapur umum, laundry, pos air bersih, dapur kreasi, layar hiburan, dan sekolah darurat.
“Pasca bencana, kami juga menyediakan bansos adaptif untuk 11.077 korban bencana Cianjur. Memberikan akses untuk program pemberdayaan sosial, kemudian reunifikasi dan reintegrasi anak-anak korban bencana yang terpisah dari keluarganya,” ucapnya.
Dirinya menguraikan, untuk bansos adaptif ini Kemensos RI membuat program Keluarga Harapan (PKH) sebagai program bantuan tunai bersyarat agar penyintas dapat meningkatkan kualitas SDM dan memutus kemiskinan yang terjadi akibat bencana.
“Ada juga program sembako, merupakan pemberian sosial pangan yang disalurkan dalam bentuk nontunai kepada penyintas korban bencana di Kabupaten Cianjur. Berikutnya Program Rumah Sejahtera Terpadu dan Atensi, yakni program yang diperuntukan untuk penyintas korban bencana untuk dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari kewirausahaan social,” pungkasnya. (ns)