logo2

ugm-logo

Mitigasi Bencana Tsunami dan Gempa Perlu Menyesuaikan Konteks Wilayah

Sebuah kapal terdampar di lapangan yang jauh dari laut setelah tersapu tsunami Aceh, 26 Desember 2004 silam. Foto diambil setahun setelah kejadian.

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Universitas Brigham Young University (BYU), Ronald Albert Harris berpendapat, ada beberapa kelompok masyarakat tidak mengetahui sejarah tsunami di wilayahnya.

Misalnya, masyarakat di Waingapu, Sumba Timur. Selain itu masyatakat di Bali juga tidak mengetahui bahwa mereka hidup di bekas endapan tsunami purba.

Padahal, menurut penelitian Ron, mengetahui sejarah bencana di lokasi tempat tinggal merupakan hal penting bagi keberlangsungan masyarakat setempat. Selain itu, sebagai upaya penyusunan gagasan mitigasi bencana yang efektif dan efisien.

Hal ini dikatakan Ron dalam diskusi terkait mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami di Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (4/8/2017), sebagaimana disampaikan oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho melalui keterangan tertulisnya, Minggu (6/8/2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ron, beberapa gagasan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat menjadi acuan dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Untuk beberapa wilayah di Jawa dan pulau-pulau Sunda kecil, misalnya.

Berdasarkan penelitian, Ron Harris menggagas jargon 20–20–20.

"Angka itu bukan sekedar angka yang kemudian muncul begitu saja. Namun, angka ini berdasarkan kalkulasi saintifik yang memperhitungkan durasi gempa yang terjadi, kecepatan tsunami dan wilayah evakuasi aman," kata Sutopo, melansir ucapan Ron.

Adapun yang dimaksud dengan 20–20–20, yakni 20 detik gempa (5 km/det x 200 det = 100 km zona pecah), 20 menit evakuasi (tsunami velocity) dan 20 meter ketinggian (tsunami model menunjukkan 20 m gelombang run-up).

Meskipun demikian, menurut penelitian Ron, konsep mengenai mitigasi itu bisa berbeda-beda angkanya di setiap wilayah. Sebab, harus adaptasi dengan konteks wilayah.

"Mungkin saja di Ambon 20–10–20, atau di Bali 20–20–10," ucap Sutopo, mengutip Ron.

Ron, menurut Sutopo, juga mengkritisi pemasangan rambu di beberapa daerah, salah satunya di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

"Mencermati realitas dan hasil penelitian di lapangan maka untuk melihat kembali pemasangan rambu evakuasi seperti yang terpasang di Kuta Lombok. Rambu evakuasi tersebut menurutnya tidak mengarahkan pada tempat yang tinggi namun arah evakuasi masih menunjukkan wilayah yang terkena genangan tsunami," kata Sutopo.

Sementara itu, upaya mitigasi di Pulau Dewata juga membutuhkan pendekatan di beberapa sektor seperti budaya, mengingat sesuai peraturan daerah yang mengizinkan bangunan dengan tinggi maksimal 15 meter.

Di sisi lain, berdasarkan pemodelan tsunami dari BYU bahwa dengan gempa bermagnitudo 9 di zona subduksi selatan Bali dapat memicu tsunami hingga lebih dari 20 meter.

Sementara terkait tanda peringatan, sebagian besar masyarakat memilih sirine. Data ini diambil dari warga di Pelabuhan Ratu, Pacitan, dan Pangandaran.

Namun, menurut Sutopo, Ron menegaskan bahwa terkait alat peringatan bencana itu perlu dipastikan selalu dalam kondisi baik atau tidak rusak.

"Sebagian besar masyarakat di Pelabuhan Ratu, Pacitan, dan Pangandaran memilih sirine. Namun yang terjadi, apakah semua sirine yang terpasang berfungsi secara baik?," tutur Sutopo.

Sinabung Meletus Lagi, DPR Minta BNPB Turun Tangan

Foto dengan teknik long exposure menujukkan lava pijar Gunung Sinabung yang kembali meletus, Rabu (2/8)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatra Utara, kembali meletus dengan melontarkan abu setinggi 4,2 kilometer. Letusan tersebut juga meluncurkan awan panas sejauh 4,5 kilometer ke arah tenggara dan timur pada Rabu (2/8) sekitar pukul 10.00 WIB.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Iskan Qolba Lubis, meminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bergerak cepat menolong para penduduk terdampak.

"Sejauh ini berdasarkan laporan diketahui letusan itu membuat ribuan penduduk terdampak langsung dari hujan abu vulkanik," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (2/8).

Menurut Iskan, para penduduk terdampak itu sudah pasti membutuhkan suplai masker agar tidak tidak mengalami gangguan pernapasan. Dia menyebut, beberapa wilayah di sekitar kaki Gunung Sinabung bisa dikatakan mengalami dampak bencana yang parah. Hujan abu menyebar di beberapa tempat seperti di Desa Perbaji, Sukatendel, Temberun, Perteguhen, Kuta Rakyat, Simpang Empat, Tiga Pancur, Selandi, Payung, dan Kuta Gugung.

"Kondisi itu membuat warga membutuhkan masker dan air untuk membersihkan lingkungan. Apalagi berdasarkan laporan diketahui, di Desa Perbaji jarak pandang saat ini hanya tinggal 20 meter karena tertutup abu tebal," ujar politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Untuk itulah Iskan meminta BNPB dan BPBD segera melakukan kordinasi penanggulangan bencana meletusnya Gunung Sinabung. "Perlu dipikirkan langkah-langkah antisipatif, sehingga dapat meminimalisir terjadinya korban pascaterjadinya bencana," kata dia.

More Articles ...