logo2

ugm-logo

Pengadaan Alat Deteksi Dini Bencana Alam Perlu Diprioritaskan

Anggota Komisi VIII DPR Choirul Muna mendesak pemerintah memprioritaskan pengadaan alat deteksi dini bencana alam.

“Seharusnya Indonesia yang juga kaya aneka bencana memiliki 70 ribu alat deteksi dini, tetapi hanya ada 50, itupun banyak yang rusak dan hilang dicuri,” ujarnya

Di sela-sela mengikuti kunjungan spesifik Komisi VII DPR ke Pusdiklat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Sentul, Bogor, Jumat 28 November 2014,  Choirul Muna mengatakan, Indonesia merupakan daerah rawan bencana dari banjir, tanah longsor, gempa hingga letusan gunung, oleh karena itu masalah deteksi dini betul-betul diperhatikan.

“Saya mengusulkan Komisi VIII segera mungundang dan membicarakan masalah ini dengan BMKG dan BNPB membahas alat deteksi dini tersebut,” kata politisi Partai Nasdem ini. Anggota Dewan asal Dapil Jateng (Magelang) ini juga menyaksikan sendiri alat-alat deteksi dini  Gunung Merapi banyak yang hilang dan rusak padahal alat ini sangat diperlukan agar masyarakat lebih waspada dan mengurangi serta mencegah korban bencana lebih banyak.

Kapusdiklat Penanggulangan Bencana Nasional Bagus Tjahyono dalam paparannya kepada Tim Komisi VIII juga nengakui  alat deteksi dini memang kurang sekali. Karena itu pihaknya tidak akan mengurangi kearifan lokal yang selama ini telah berjalan, misalnya woro-woro dari masayarakat setempat yang sangat membantu menanggulangi bencana.

Choirul Muna juga menyoroti  anggaran on call untuk  bencana alam yang hanya berjulah Rp1,6 triliun untuk seluruh Indonesia. Ia akan membicarakan dana tanggap darurat tersebut dengan BNPB, dan Departemen terkait.  “Jangan sampai nanti waktu terjadi bencana, seperti  tsunami di Aceh, justru LSM dari luar negeri yang duluan masuk sementara dari dalam negeri sendiri terhambat,” jelasnya

DIY Jadi Percontohan Pertolongan Korban Bencana

Yogyakarta - Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) memilih Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi provinsi percontohan penerapan standar operasional prosedur (SOP) dalam melakukan pencarian dan pertolongan korban bencana tingkat nasional. Lantaran aneka bencana banyak terjadi di DIY.

“Bencana di DIY itu komplit. Dari gempa, erupsi gunung api, longsor, sampai korban tenggelam di pantai selatan dan korban njegur (masuk) sumur,” kata Kepala Basarnas Marsekal Dua TNI F. Henry Bambang Sulistyo di gedung Pracimosono, kantor Gubernur DIY, Kepatihan, Yogyakarta, Senin, 24 November 2014.

Atas dasar itu pula, Henry menandatangani nota kesepahaman tentang Pelayanan Pencarian dan Pertolongan kepada Masyarakat bersama Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Gatot Saptadi pada hari itu. Sekaligus penandatanganan perjanjian kerja sama DIY tentang Standar Operasional Prosedur Pencarian dan Pertolongan di Bidang Kesehatan. “Ini upaya untuk memperkecil jumlah korban seminimal mungkin,” kata Henry.

Dia menjelaskan, secara nasional dalam dua hari sekali dipastikan terjadi bencana. Sedangkan perlu dilakukan upaya penanganan secepat mungkin. Sedangkan banyak lembaga atau institusi yang mempunyai kapasitas untuk memberikan pertolongan. Seperti Dinas Kesehatan, Basarnas Daerah, Palang Merah Indonesia, polisi, juga TNI. “Perlu ada SOP siapa melakukan apa, kapan, kepada siapa bertanggung jawab. Jangan sampai tumpang tindih,” kata Henry.

Nantinya, SOP yang dibuat instansi-instansi terkait di DIY tersebut akan menjadi percontohan di daerah lain. Sehingga tidak menutup kemungkinan penanganan di setiap daerah berbeda.

Gatot menambahkan, saat ini ada 301 desa di DIY yang diidentifikasi sebagai desa yang potensial terjadi bencana. Pada 2013 pun, DIY berada di posisi ke-14 sebagai daerah dengan potensi bencana yang cukup tinggi. Jawa Tengah menjadi daerah percontohan penanganan bencana berikutnya.

sumber: tempo