logo2

ugm-logo

BMKG Prediksi Bencana Alam Kian Ekstrem Apabila tidak Ada Transisi Energi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi akan terjadi peningkatan bencana ekstrem dalam 10 tahun mendatang, jika transisi energi tidak dilakukan secara masif. Bencana ekstrem yang kemungkinan terjadi di antaranya suhu semakin memanas, hujan ekstrem, banjir dan longsor, El Nino, La Nina, hingga kekeringan ekstrem.

“Selain itu, akan terjadi juga perubahan curah hujan yang bervariasi di masing-masing lokasi. Lalu akan terjadi kenaikan muka air laut yang akan meningkatkan bencana rob khususnya di pesisir,” kata Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, saat dihubungi Republika, Rabu (18/10/2023).

Hingga saat ini, bauran energi primer di Indonesia memang masih didominasi oleh sumber energi fosil. Menurut data Kementerian ESDM tahun 2022, penggunaan sumber energi fosil yaitu sekitar 87,7 persen, sementara energi baru terbarukan (EBT) masih berkisar 12,30 persen.

Ardhasena menjelaskan, suhu permukaan akan terus meningkat jika tidak ada perubahan atau transisi energi ke sumber yang lebih hijau. Pasalnya, transisi energi ke sumber yang lebih hijau merupakan bagian dari adaptasi atau mitigasi perubahan iklim.

Ardhasena menjelaskan, transisi energi sangat berpengaruh pada pola cuaca di Indonesia. Penggunaan sumber energi hijau secara menyeluruh akan mengurangi penggunaan energi berbahan bakar fosil sehingga emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari penggunaan energi berbahan bakar fosil akan berkurang.

Berkurangnya emisi GRK secara menyeluruh akan mengurangi peningkatan suhu udara global akibat pemanasan global. Sebagai contoh, telah terjadi kenaikan rata-rata 0,3 derajat celcius dalam rentang 2000-2023 yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (CO2) dari bahan bakar energi fosil seperti batubara, minyak bumi dan sejenisnya.

Pengukuran GRK khususnya CO2 oleh BMKG juga terus menunjukkan tren yang meningkat. Contohnya pengamatan selama kurun waktu Mei 2020-2022 di tiga lokasi yaitu kawasan hutan Bukit Kototabang (3,12 ppm), Palu (2,2 ppm), dan Sorong (1,8 ppm) yang secara umum mengalami kenaikan setiap tahunnya.

“Memang transisi energi memerlukan waktu yang tidak singkat. Tapi yang pasti, transisi energi yang dilakukan secara menyeluruh dan global akan mengurangi emisi GRK yang tiap tahun terus meningkat,” tegas Ardhasena.

UGM Terpilih Jadi Tuan Rumah Manajemen Kesehatan Bencana ASEAN

Penerapan sistem kebencanaan menjadi fokus utama di berbagai negara pasca COVID-19. Pengalaman pandemi memberikan pelajaran berarti terkait strategi pencegahan, mitigasi, hingga pemulihan setelah bencana. Kali ini, negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam forum ASEAN Institute for Disaster health Management (AIDHM) memilih Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM sebagai tuan rumah penyelenggaraan 2nd ASEAN Academic Conference (AAC) tentang Manajemen Bencana Kesehatan.

“Tentu kami menyambut baik, Indonesia sebagai tuan rumah dalam AAC ini, yang bertujuan untuk membawahi segala informasi, dan pengetahuan di ASEAN (terkait kebencanaan). Jadi apa yang kita miliki, dan apa yang negara lain miliki, seperti Thailand, Filipina, dan seterusnya, itu bisa saling berbagi dan meningkatkan strategi kebencanaan. Ini penting, karena Indonesia itu hampir seluruh daerah itu masuk sebagai zona merah bencana. Artinya, kesiapan siagaan kita harus kita siapkan dari sekarang,” ungkap Dr. Sumarjaya, SKM., MM., MFP., C.F.A selaku Direktur Pusat Krisis Kementerian Kesehatan RI dalam konferensi pers pada Selasa (17/10).

Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2023 tercatat terdapat 852 bencana banjir, 487 kebakaran hutan, 442 tanah longsor, 24 gelombang pasang, dan 21 gempa bumi. Bencana tersebut mengakibatkan setidaknya 4,2 juta orang harus mengungsi, 5.552 orang luka-luka, 199 korban jiwa, dan 10 orang menghilang. Keseluruhan jumlah tersebut mencerminkan kurangnya penerapan sistem kebencanaan. Untuk itu, konferensi ini mendorong negara-negara ASEAN untuk ikut bekerja sama merumuskan sistem kebencanaan yang sesuai dengan kondisi masing-masing negara.

“Kita sebagai universitas sudah sangat aktif dalam menangani bencana itu, terutama tsunami. Kami sering menghadirkan ahli-ahli dalam beberapa bencana yang terjadi di Indonesia. Ini juga merupakan kolaborasi yang luar biasa dan sangat penting, untuk mengelaborasi upaya-upaya kita di bidang kesehatan. Untuk itu, kami juga siap untuk menyelenggarakan bentuk pelatihan dan penelitian bersama negara ASEAN,” tutur Dekan FK-KMK UGM, Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH. 

UGM sebagai tuan rumah AIDHM memiliki lima mandat yang harus dilaksanakan untuk memimpin strategi kebencanaan di ASEAN. Pertama, menyelenggarakan kegiatan akademik untuk memperkuat kapasitas personel terkait kesehatan bencana seperti pengembangan kurikulum, pelatihan, dan latihan simulasi. Kedua, melakukan konsultasi dalam mendukung dan membantu pengembangan, serta melaksanakan kegiatan penanggulangan kesehatan bencana. Ketiga, memfasilitasi, memberikan panduan dan kebijakan, serta mendukung penyelenggaraan latihan kolaborasi regional tentang manajemen kesehatan bencana di AMS. Keempat, mendukung ASEAN Academic Network on Disaster Health Management (AANDHM), termasuk steering committee, dalam pelaksanaan mandatnya sebagaimana dijelaskan dalam ToR. Dan kelima, mendukung dan memfasilitasi pembentukan jaringan regional pusat pelatihan negara-negara anggota ASEAN yang melaksanakan program pembelajaran, pendidikan, dan/atau penelitian umum dan khusus tentang manajemen kesehatan kebencanaan.

2nd ASEAN Academic Conference yang diadakan selama dua hari ini menjadi bagian dari implementasi mandat AIDHM—dalam hal ini diketuai oleh UGM—untuk memulai diskusi terkait kondisi sistem kebencanaan internasional. “Perlu diketahui, ASEAN Academic Conference yang pertama tidak bisa diselenggarakan secara luring karena saat pandemi. Jadi dapat dikatakan Indonesia ini menjadi yang pertama berkesempatan menyelenggarakan ACC secara luring. Untuk partisipasinya, mayoritas memang dari negara tetangga mengirimkan 5-11 delegasi. Dan yang patut diapresiasi ini dari Indonesia, baik yang dari Kemenkes maupun UGM, ini kurang lebih ada 80 peserta,” kata dr. Datu Respatika, Ph.D., Sp.M, Asisten Wakil Dekan Bidang Kerja sama, Alumni, dan Pengabdian kepada Masyarakat. 

More Articles ...