logo2

ugm-logo

Reportase Sesi 4 Hari 2: Development of Disaster Surveilanss

sesi4-hari2

Sesi 4 yang menjadi sesi terakhir di seminar ini membahas sebuah isu yang hangat, yakni mengenai surveilans penyakit pada saat bencana. Bagaimana hasil dari pengalaman di Aceh, apa yang telah dikembangkan hingga saat ini di Indonesia. Sesi ini menghadirkan tiga pembicara dari latar belakang yang berbeda untuk membahas mengenai surveilans kebencanaan di Indonesia. Pembicara pertama dari Dinas Kesehatan Aceh yang akan membahas mengenai pengembangan surveilans penyakit selama dan pasca kejadian Tsunami Aceh hingga saat ini, pembicara kedua dari WHO Indonesia yang juga membantu surveilans di Indonesia, dan yang ketiga dari pendidikan yang membahas mengenai konsep surveilans yang berkaitan dengan kejadian bencana.

dr. M. Yani menceritakan mengenai kegiatan Dinas Kesehatan Aceh yang menangani mengenai surveilans ini. Ada 3 sesi yang mengelola surveilans ini untuk seluruh kabupaten kota yang ada di Aceh dimana 12 kabupaten kota diantaranya mengalami ancaman bencana. Pada saat bencana yang lalu, penyakit yang banyak adalah diare, penyakit kulit, dan Ispa. Ada hal lain yang perlu diperhatikan dan sulit terpantau dari sistem surveilans ini, yakni mengenai kesehatan jiwa masyarakat.

Bersambut dengan paparan dari dr. Nirmal dari divisi kegawatdaruratan dan kemuanusiaan WHO Indonesia. Surveilans bencana bukan sesuatu yang baru harusnya, karena surveilans dilakuakn pada sebelum, saat, dan pasca bencana. Mengerjakan surveilans artinya kita bekerja pencegahan, maka untuk kejadian bencana kita membutuhkan sekali data surveilans pada saat sebelum bencana, untuk memetakan masalah kebutuhan makan dan minuman, sanitasi, dan penyakit yang kemungkinan terjadi.

Paparan ketiga begitu menarik dari dr. Rossi Sanusi, beliau menyampaikan sebuah konsep sistem surveilans yang baik dapat membantu penanggulangan penyakit pada saat bencana. Siklus surveilan jika dijalankan dengan benar maka memudahkan sekali untuk membuat pemetaan, meramalkan, bahkan menentukan kebutuhan apa yang dibutuhkan oleh korban bencana. Point yang beliau sampaikan bahwa kembangkan surveilans respon pada saat tidak terjadi bencana dan adaptasi sistem ini juga pada saat terjadi bencana, jadi tidak ada perubahan apapun.

Diskusi:

Pertanyaan yang dibuka pada sesi ini juga menarik sekali. Ada pertanyaan mengenai dimana peran universitas dalam melakukan surveilans respon, dan hal ini ditujukan kepada dr. Yani dari Aceh. Tanggapan dr. Yani, memang belum banyak perannya, selama ini universitas lebih banyak dalam hal pemanfaatan data surveilans untuk penelitian.

Pertanyaan lainnya mengenai pengembangan surveilans di Indonesia, dan hal ini ditanggapi oleh dr. Nirmal bahwa pengembangan surveilans di Indonesia sudah cukup baik, kita hanya perlu menjaga komitmen dan penamfaatan data surveilans untuk keperluan lainnya, misalnya pada saat bencana.

BACK

Session 3 – The Role of Universities on Disaster Health Management in Indonesia

sesi-3-hari-2

Hari kedua, seminar bertempat di ruang Senat lantai 2 KPTU Fakultas Kedokteran UGM. seminar hari kedua ini disisipkan satu sesi sebelum sesi 3 dimulai. Dimoderatori langsung oleh dr. Hendro Wartatmo, Sp.BD, pembicara sesi 2 hari 1, Prof. Graeme dan dr. Carlos. Kedua pembicara ini membahas mengenai manajemen bencana sektor kesehatan di negara masing-masing. Prof. Graeme khusus membicarakan mengenai framework dan bagan organisasi penanggulangan bencana di bawah kementerian kesehatan New Zealand. Sedangkan, dr. Carlos lebih membicarakan mengenai konsep manajemen bencana dan definisi dari bencana itu sendiri. Point yang tertangkap adalah suatu kejadian dikatakan bencana jika peristiwa tersebut membutuhkan bantuan dari luar.

Sesi 3 kali ini mengundang pembicara perwakilan-perwakilan dari universitas di Indonesia yang pernah terlibat dalam penanggulangan bencana tsunami Aceh. Semua fakultas kedokteran dari Universitas Brawijaya, Universitas Hasanudin, dan Universitas Gadjah Mada. Melibatkan juga, dr. M. Yani yang sekarang merupakan mantan Pembantu Dekan 1 Universitas Syiah Kuala, Aceh.

Dr. Ali Haedar, Sp.EM, sebagai pembicara pertama menyampaikan pengalaman dan hasil penelitiannya mengenai penanggulangan bencana di Indonesia dengan sangat apik. Beliau menekankan bahwa pengiriman tim bantuan ke daerah bencana tidak selalu melakukan kegiatan medis, tetapi juga penilaian atau assessment dan tidak selalu datang pada saat terjadi bencana. Seperti pengalaman beliau dan tim Brawijaya yang pernah berangkat ke Bencana Wasior justru hari ke 7 setelah kejadian. Hal ini terjadi karena yang dibutuhkan daerah adalah berdirinya rumah sakit lapangan.

Pembicara kedua, Prof. DR. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS yang saat ini merupakan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Setelah berbagai kejadian bencana yang terjadi di Indonesia, Makasar sendiri juga mulai mengambil pelajaran dimana sudah mulai dikembangkan adanya manajemen bencana bagi mahasiswa s1. Beliau juga mengomentari mengenai masalah perencanaan yang sulit apalagi terkait tentang pembiayaan pra bencana. Pada tahun 2000 pernah diadakan kegiatan yang menghasilkan Deklarasi Makasar, jika memang deklarasi ini dijalankan, sesungguhnya manajemen becana itu sudah bisa baik. Namun, alur birokrasi perlu dikompromikan sebelumnya dengan kondisi bencana yang tidak terduga dan sangat membutuhkan pelatihan dan perencaaan pada saat sebelum terjadi bencana.

Bersambut dengan bahasan yang dibawakan oleh dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS sebagai dokter di RS Sardjito dan juga ketua Pokja Bencana FK UGM, beliau menyampaikan mengenai peran universitas seharusnya dimana dalam fase-fase bencana tersebut. Pengalaman dan pengiriman tim sudah banyak dilakukan oleh universitas jika terjadi becana tetapi lebih dari itu apa yang bisa dilakukan oleh universitas dengan segala sumber dayanya pada saar kesiapsiagaan misalnya. Universitas sangat dibutuhkan perannya dalam rangka kajian dan rumusain inovasi untuk manajemen bencana di Indonesia.

Terakhir, dr. M. Yani sebagai narasumber dari Aceh menutup sesi ini dengan paparannya. Tidak banyak foto kejadian di Aceh silam yang ditampilkan beliau, karena pasti sudah banyak di media dan dimiliki oleh rakan sekalian ujar beliau. Pada saat kejadian bencana Aceh Universitas sempat kollaps hingga sekian lama, mau mengerahkan mahasiswa untuk membantu korban bencana tetapi juga ada sanak keluarga mahasiswa yang menjadi korban. Dilema bagi kami pada saat itu. Bahkan pada saat itu kami mengirimkan residen dan mahasiswa koas kami ke luar daearh Aceh agar pendidikan tetap berjalan dan tidak terganggu dengan kejadian bencana tsunami pada saat itu. Kalau peran universitas sendiri sampai saat ini terlibat pada tim bantuan dan psikososial. Saat ini telah ada magister manajemen bencana di Aceh.

Diskusi

Diskusi pada sesi ini berjalan dengan sangat baik dan dua arah. Penanya menanyakan juga mengenai pengalaman Universitas Brawijaya dengan kejadian Meletusnya Gunung Kelud awal tahun lalu.

Begitu juga dengan masalah mengenai pengiriman tim bencana Indonesia keluar negeri, terkadang tim kita tidak bisa masuk karena masalah birokrasi.

Dibahas juga mengenai pendanaan pengiriman tim ke daerah bencana. Biasanya hal sulit yang dilaukan adalah pada saat pelaporan karena SPJ yang disyaratkan sulit dipenuhi di daerah bencana.

Diskusi sesi ini ditutup dengan pemberian plakat pada semua pembicara, yang diwakilkan oleh Dekanat Fakultas Kedokteran UGM, dr. Endro Basuki.

BACK