logo2

ugm-logo

Blog

Mitigasi Bencana Perlu Memperhitungkan Tata Ruang

JAKARTA, KOMPAS.com - Penanggulangan bencana merupakan salah satu visi pemerintah yang masuk dalam program Nawacita.

Pentingnya penanggulangan bencana ini secara paralel dapat mewujudkan kemandirian ekonomi dan menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik.

"Penanggulanan bencana dilakukan untuk melindungi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang berisiko," ujar Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Wisnu Widjaja saat "Workshop Karakterisasi Sumber Gempa Baru untuk Updating Peta Gempa Indonesia 2016" di Hotel Ambhara, Jakarta, Senin (30/5/2016).

Ia mengatakan, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan bencana alam membutuhkan upaya antisipatif untuk mengurangi atau meminimalisasi bencana di masa depan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, pemerintah juga diarahkan untuk menanggulangi bencana dan meningkatkan ketahanan pemerintah daerah, serta masyarakat dalam menghadapi bencana.

Sasarannya adalah menurunkan indeks risiko. Terutama, karena Indonesia berada di lingkungan ekonomi yang kian bertumbuh.

"Kita diharapkan bisa menurunkan risiko bencana di 136 pusat-pusat pertumbuhan. Kalau bisa melindungi pusat-pusat pertumbuhan, kita harapkan ekonomi tumbuh dan kerentanan di daerah lain bisa kita kurangi," jelas Wisnu.

Dalam upaya tersebut, BPNB melaksanakan beberapa strategi utama, antara lain internalisasi mitigasi bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, koordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan peningkatan kapasitas daerah dalam penanggulangan bencana.

Kaitannya dengan Kementerian ATR/BPN sendiri adalah pemerintah perlu memperhitungkan pembangunan dalam penyusunan tata ruang.

Longsor di Enrekang, Akses Jalan Terputus

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Akses jalan yang menghubungkan Desa Buntu Mondong dan Desa Latimojong Kecamatan Buntu Batu Kabupaten Enrenkang, Sulawesi Selatan terputus akibat bencana tanah longsor.

"Ada tiga titik mengalami longsor. Selain menutupi jalan yang menghubungkan Desa Buntu Mondong dengan Desa Latimojong, puluhan hektare kebun kopi ikut tertimbun," kata sekertaris Desa Buntu Modong, Suardi, Ahad (29/5).

Dalam keterangan tertulisnya, Suardi menyebutkan bahwa tanah longsor tersebut diakibatkan hujan yang mengguyur desa sepanjang hari Jumat (27/5), sehingga tanah mengalami longsor di tiga titik.

Untuk mengantisipasi kejadian tersebut, kata dia, warga setempat mulai membersihkan bekas longsoran dari badan jalan agar tidak menghalangi jalur tersebut.

"Setelah longsor itu, warga di dua desa bergotong royong membersihkan gudukan tanah di jalanab, sampai hari ini jalan mulai bisa diakses," ungkapnya.

Tidak hanya di dua desa tersebut, wilayah pegunungan seperti kecamatan Curio, Buntu Batu, Masalle dan Baroko juga sangat rawan tanah longsor. Curah hujan yang cukup tinggi menjadi faktor utama bencana tanah lonsor.

Sebelumnya, bencana serupa juga melanda warga yang ada di desa Parombean. Bahkan, desa tersebut masih dalam status tanggap darurat. Begitu juga yang terjadi di Desa Sanglepongan Kecamatan Curio. Lebih dari 30 jiwa warga Desa Sanglepongan mengungsi apabila hujan turun dengan intesitas tinggi.

Tim TRC BPBD Kabupaten Enrekang yang turun ke lokasi kejadian menyebutkan kondisi di wilayah tersebut memang sangat rawan tanah longsor. "Jalan poros yang menghubungkan akses dari desa ke desa berada di tebing pegunungan. Belum lagi jalanan yang sangat sempit dengan bagian sisi lainnya adalah jurang," sebut personel BPBD Enrekang, Fhay.

Saat longsor terjadi maka akses jalan, lanjut Fhay, tidak bisa dilalui kendaraan karena tertimbun sendimen tanah yang cukup banyak menutupi jalan tersebut.

Diketahui Desa Buntu Mondong dan Desa Latimojong adalah desa terjauh di kecamatan Buntu Batu. Wilayahnya berbatasan langsung dengan kabupaten Tana Toraja dan Palopo. Ada sekitar seribu lebih warga yang tinggal di kedua desa itu.

Reportase: Sosialisasi dan Simulasi HDP RSUD Kabupaten Belitung Timur

Reportase Hari 1:

Sosialisasi dan Simulasi HDP RSUD Kabupaten Belitung Timur

11-12 Mei 2016


Pembukaan

Kegiatan Sosialisasi dan Simulasi Hospital Disaster Plan (HDP) RSUD Kabupaten Belitung Timur kali ini merupakan kegiatan lanjutan dari penyusunan dokumen HDP pada November tahun 2015. Dokumen HDP pada saat itu telah selesai dibuat sehingga perlu dilakukan uji coba untuk mengetahui keoperasionalan dokumen tersebut.

Kegiatan dibuka oleh Direktur RSUD Kabupaten Belitung Timur dan perwakilan Divisi Manajemen Bencana, PKMK FK UGM. dr. Sulanto Saleh Danu, menyatakan bahwa kegiatan ini sangat penting dan sangat mengapresiasi usaha rumah sakit dalam menyelenggarakan ini sebab tantangan besar setelah berhasil membuat dokumen HDP adalah melakukan sosialisasi dan uji coba. Direktur berharap agar para karyawan di rumah sakit semakin meningkat kompetensinya dengan pelatihan, seminar, dan kegiatan seperti saat ini. Ditambah, hal ini memang dibutuhkan oleh Kabupaten Belitung Timur sebab memang banyak kasus bencana yang pernah dan akan rumah sakit hadapi ke depannya. Seminggu yang lalu, diceritakan bahwa rumah sakit juga sempat menerima korban kecelakaan kapal. Meski masih bisa ditangani dan belum dikatakan bencana tetapi kita harus terus siap siaga.

Peserta pada sesi pagi ini berjumlah 25 orang yang merupakan tim SPGDT-B dan tim Bencana rumah sakit. Kali ini ada 3 materi pengayaan yang diberikan oleh tim PKMK FK UGM. Sesi pertama dan kedua disampaikan oleh dr. Hendro Wartatmo dengan judul materi Pengantar Bencana dan Mengapa Rumah Sakit Membutuhkan HDP dan Hospital Incident Command System dan Overview HDP.

dr-hendro

dr. Hendro menceritakan mengenai kasus-kasus penanganan korban bencana nasional. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa jenis korban berbeda-beda antar jenis bencana. Rumah sakit setempat ada yang mengalami kollaps sehingga harus mendirikan rumah sakit lapangan atau melakukan perawatan di tempat umum lainnya seperti aula, sekolah, dan lainnya. Ada juga rumah sakit yang tidak kollaps tetapi kekurangan sumber daya.

Dalam materi yang disampaikan, peserta menanyakan mengenai kapan sebaiknya tim bencana ini diaktifkan? Bagaimana jika salah satu personel tidak ada?. Pertanyaan ini ditanggapi dr. Hendro bahwa yang perlu dimengerti adalah tidak perlu membantuk struktur organisasi yang baru untuk bencana. Namun, perlu disadari bahwa dalam kondisi bencana akan ada perbedaan struktur organisasi yakni adanya kadatangan relawan. Relawan inilah yang perlu dipikirkan untuk diperbantukan dimana dalam struktur organisasi yang ada. Menjawab kapan diaktifkan, itu tergantung dari protap pengaktifan bencana di rumah sakit. Ada baiknya rumah sakit membuat berdasarkan kemampuan rumah sakit sendiri dalam menghadapi korban dan bagaimana agar sesingkat mungkin proses pengaktifannya.

dr-bella

Sesi berikutnya diisi oleh dr. Bella Donna. Beliau kembali mengingatkan tentang kebijakan Hospital Disaster Plan dalam regulasi rumah sakit maupun dalam akreditasi. Meski demikian, harapannya HDP dapat disusun sesuai dengan kebutuhan rumah sakit sehingga dirasakan manfaatnya. Jika sudah disusun dan diuji secara operasional maka akreditasi pasti bisa dilalui. dr. Bella juga mengingatkan tentang komponen Hospital Disaster Plan, bagian fasilitas perlu diperhatikan, apakah sesuai atau tidak, melalui simulasi esok bersama-sama kita akan melihat fungsi organisasi dan fasilitas yang sebelumnya telah ditentukan dalam dokumen HDP RSUD Belitung Timur.

sosialisasi-hdp

Sesi siang, jumlah peserta bertambah menjadi 60 peserta yang berasal dari perwakilan bagian-bagian di rumah sakit. Sesi ini merupakan sesi sosialisasi dokumen HDP RSDU Belitung Timur. Sesi ini disampaikan oleh Hendri selaku tim penyusun dokumen HDP.

Sesi selanjutnya adalah persiapan simulasi esok. Sesi ini dimulai dengan pengujian kasus bencana kepada seluruh peserta atau semi Table Top Exercise. Fasilitator: Sutono, Budi, Bella, Madelina, dan Sulanto melemparkan beberapa kasus bencana di rumah sakit kepada seluruh peserta, memberikan kesempatan untuk peserta menjawab dan berkoordinasi. Kegiatan ini kemudian menjadi lebih hangat dengan tanggapan dan pertanyaan dari peserta. Peserta menyadari bahwa membaca dokumen saja belum dapat memberikan bayangan tugas mereka dengan jelas, memang perlu simulasi.

Setelahnya, peserta dibagi menjadi dua, tim HDP dan karyawan rumah sakit yang bertugas esok dan peserta yang bertugas sebagai korban.

sesi-table-top

 

BNPB: 5 Tewas dan 388 Jiwa Mengungsi Akibat Banjir Bandang di Cisalak

BNPB: 5 Tewas dan 388 Jiwa Mengungsi Akibat Banjir Bandang di Cisalak

 Jakarta - Banjir bandang melanda wilayah Cisalak, Jawa Barat. Sedikitnya 5 orang tewas akibat peristiwa ini.

"5 tewas, 7 luka, 388 jiwa mengungsi dan 16 rumah rusak berat akibat banjir bandang di Kecamatan Cisalak Jabar," kata Kapusdatin dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho lewat akun twitter miliknya @Sutopo_BNPB, Rabu (25/5/2016).

Peristiwa tersebut terjadi sejak Minggu (22/5). Kayu, batu, hingga lumpur bercampur dan menerjang permukiman warga.

"Alat berat dikerahkan untuk mencari korban dan penanganan darurat banjir bandang di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang Jabar," imbuh Sutopo.

Dia menambahkan, ciri khas banjir di Indonesia adalah adanya hujan dan longsor di bagian hulu. Longsor tersebut kemudian menerjang bagian bawah perbukitan.

sumber: detik.com

Begini Skala Intensitas Gempa BMKG yang Terbaru

Bandung - Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) melakukan modifikasi skala intensitas gempa. Skala dari I-V itu mulai diperkenalkan Mei 2016. Sebelumnya BMKG memakai skala intensitas gempa MMI (Modified Mercalli Intensity) dari I-XII.

Skala intensitas gempa merupakan pendekatan untuk mengukur kekuatan gempa bumi berdasarkan laporan orang yang merasakan getaran lindu. Skala MMI dibuat Giuseppe Mercalli pada 1902. “Alasan dibuat skala intensitas gempa BMKG itu untuk memudahkan masyarakat mengerti dan memahami intensitas gempa bumi sesuai kondisi di Indonesia,” kata Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Jumat, 6 Mei 2016.

Menurut dia, skala intensitas gempa MMI diperkenalkan di negara barat sehingga deskripsinya dikaitkan dengan bangunan di negara Eropa dan Amerika, misalnya ada cerobong asap. Meskipun MMI punya 12 skala sehingga cukup rinci, namun BMKG mengaku kesulitan menjelaskannya secara mudah kepada masyarakat. “Jepang juga memakai skala intensitas gempa sendiri dengan skala 0-7,” ujarnya.

Skala I, gempa terekam oleh alat pencatat gempa, namun getarannya tidak dirasakan atau hanya dirasakan beberapa orang saja. Skala I ditandai dengan warna putih pada peta kejadian gempa. Pada MMI, itu setara dengan skala I-II.

Skala II yang diwarnai hijau oleh BMKG, artinya gempa dirasakan oleh banyak orang tetapi tidak menimbulkan kerusakan. Adapun benda-benda ringan yang digantung terlihat bergoyang, dan jendela atau kaca bergetar. Kondisinya sama seperti MMI skala III-IV.

Skala III berwarna kuning, artinya gempa menimbulkan kerusakan ringan. Bagian non struktur bangunan mengalami kerusakan ringan seperti retak rambut pada dinding, genteng bergeser ke bawah, dan sebagian berjatuhan. Skala itu seperti pada MMI skala VI.

Skala IV yang berwarna jingga atau setara MMI skala VII-VIII, menandakan banyak retakan terjadi pada dinding. Akibat gempa juga pada skala tersebut, sebagian bangunan roboh, kaca pecah, sebagian plester dinding lepas, dan hampir sebagian besar genteng bergeser ke bawah atau jatuh. Struktur bangunan juga mengalami kerusakan ringan sampai sedang.

Skala V berwarna merah yang setara MMI skala IX-XII, merupakan gempa yang menimbulkan kerusakan hebat. Sebagian besar dinding bangunan permanen roboh, struktur bangunan mengalami kerusakan berat, dan rel kereta api melengkung. “Penggagasnya Deputi Bidang Geofisika BMKG Masturyono,” kata Daryono.

ANWAR SISWADI 

sumber: TEMPO.CO