JAKARTA - Banjir menjadi ancaman nyata yang mengancam warga Kota Jakarta dan sekitarnya, terutama di musim penghujan. Tak ayal, peringatan dini menjadi salah satu langkah antisipasi yang penting. Namun, peringatan dini tidak bisa berdiri sendiri tanpa dipadukan dengan langkah-langkah tanggap dini atau tanggap darurat sebagai kesatuan sistem peringatan dan tanggap dini (early warning and early response systems/EWERS).
"Ada early warning (peringatan dini) tapi sistem EWS (early warning system) yang tidak bisa menuntun pada early response (tanggap darurat/dini)," kata Jonatan Lassa, doktor lulusan Harvard University, AS, dalam wawancara melalui surat elektronik, Kamis (31/1/2013).
Menurut Jonatan, kekurangan yang terlihat nyata dalam penanganan banjir di Jakarta beberapa pekan lalu lebih terletak pada minimnya sistem tanggap dini. Sistem peringatan dini sudah mulai terbentuk, namun sistem tanggap dini hampir tak terlihat. Hal ini bisa terlihat dari meluasnya daerah yang diliputi banjir jika dibandingkan banjir besar terakhir pada 2 Februari 2007. Berikut ini petikan wawancara lengkap Kompas.com dengan Jonatan Lassa.
Kompas.com (K) : Sebenarnya apa persoalan mendasar dalam EWS saat banjir melanda Jakarta kemarin?
Jonatan Lassa (JL) : Persoalan mendasar dalam EWS banjir Jakarta kemarin sebenarnya terletak pada konfigurasi sistem EWS Jakarta yang belum satu sistem dengan early response (tanggap dini). Jadi, ada early warning tapi sistem EWS yang tidak bisa menuntun pada early response. Dari sisi praktik, sebenarnya ada 'lead time' alias waktu yang cukup untuk mengetahui prediksi curah hujan di berbagai spot. Misalkan H-14, media sudah tahu (diberitahukan) kalau sekitar tanggal 27 (akan terjadi curah hujan tinggi). Sistem ini sejak 2007 lalu sudah mantap. Masalahnya sistem EWS kita tidak satu paket dengan EWER (early warning and early response systems). Model ini terjadi karena konsep EWS yang masih bersifat mengisolasi orang dari proses-proses teknologi transmisi pesan warning (peringatan).
K : Sistem yang perlu dibangun?
JL : Satukan sistem EW-ER-System. Desain skenario banjir yang terhubung pada skenario-skenario EWS-ER. Sistim simulasi banjir yang juga terhubung pada simulasi respon kota. Munculnya 176 titik banjir baru menunjukan Jakarta miskin skenario. (Padahal) Berita-berita di Kompas sebelumnya, BPBD dan PU serta PSDA optimis titik banjir berkurang.
K : Pihak mana saja yang mengemban tanggung jawab?
JL : Harusnya dibangun sistem tanggung jawab yang multi-nodal. Jadi sebaran tanggung jawab yang didesain oleh sebuah proses EW-ER dengan berbasis konsensus.
K : Solusi jangka pendek?
JL : 1. Selesaikan response banjir Jakarta sementara menanti Februari dan Maret. 2. Perlunya sebuah assessment yang menyeluruh soal distribusi banjir 2013. Ini penting sekali untuk membangun sistem yang mampu menelusuri black swan events (peristiwa yang mengejutkan, sulit diprediksi, dan berdampak besar) di masa mendatang.
K : Solusi jangka panjang?
JL: 1. Jakarta perlu membangun skenario EW-WR System untuk Banjir yang sistemnya dimatangkan tiap tahun. 2. Perlunya membuat rencana adaptasi iklim yang bersifat 50-100 tahun. Planning horizon Jakarta dan Indonesia saat ini terlalu pendek - rencana jangka panjangnya hanya 25 tahun. Ini membuat kita kurang antisipasi dan miskin imajinasi risiko. 3. Law enforcement yang lebih serius terkait kejahatan hidrologis kota Jakarta. Ini diterapkan di Singapura sejak 1960-an pasca-merdeka hingga saat ini. 4. Membangun sistim pemantauan kejahatan hidrologis, baik dari sampah, sistem IMB yang lebih adaptif banjir, sistem pengelolaan sungai. 5. Koordinasi investasi penanganan banjir, di mana Jakarta mampu membayar Bogor dan sebagainya untuk melakukan extra investasi dalam pengelolaan penggunaan lahan. 6. Reformasi tata guna lahan di Jabodetabek.
sumber: KOMPAS.com