RADAR JOGJA - Gempa Jogja 27 Mei 2006 silam menjadi pelajaran bersama bahwa mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat menjadi prioritas utama untuk mengurangi risiko akibat peristiwa alam itu. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIJ pun telah memperkuat keberadaan Kalurahan Tangguh Bencana (Kaltana) dan melibatkan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pengurangan risiko bencana.
Kepala Pelaksana BPBD DIJ Noviar Rahmad mengatakan, terdapat lima sesar besar di Jogjakarta, antara lain, Sesar Opak, Sesar Mataram, Sesar Progo. Ini menjadikan Provinsi DIJ sebagai salah satu wilayah dengan potensi gempa yang tinggi.
"Sebetulnya kalau sesar-sesar itu semua aktif, cuma kapan patahan-patahannya itu nggak ada yang tahu. Jadi yang bisa kita siapkan adalah melakukan mitigasi kepada masyarakat terkait kesiapsiagaannya," kata Noviar kepada Radar Jogja kemarin (26/5).
Noviar menjelaskan, terkait dengan gempa belum ada satu teknologi yang bisa mendeteksi kapan terjadinya gempa di patahan-patahan sesar itu, termasuk Sesar Mataram. Instansi ini melakukan upaya memperkuat organisasi kepemerintahan maupun nonpemerintah. Organisasi pemerintah seperti Kaltana, Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), dan masih banyak lagi.
Selain itu berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) seperti Caritas Germany, Plan Indonesia, Yakkum Emergency Unit, Human Initiative, dan Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) turut berperan aktif dalam melakukan simulasi dan pendidikan terkait bencana. Khususnya bagi kelompok rentan seperti difabel dan lansia.
Noviar menyebut Bank Dunia dan Prudential Foundation dari Hongkong juga memberikan dukungan dalam penyusunan rencana manajemen risiko bencana. "Pertama kita mewaspadai apabila tiba-tiba terjadi gempa, maka yang harus dilakukan apa. Pertama, melakukan penyelamatan diri sendiri dulu ke mana perginya, misalnya," ujarnya.
Menurutnya, simulasi yang dilakukan lebih banyak melibatkan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan mereka. Masyarakat diajarkan cara menyelamatkan diri, evakuasi, pembentukan tenda pengungsi, serta pentingnya membawa tas siaga bencana yang berisi dokumen berharga saat terjadi gempa.
"Jadi hanya satu tas yang harus dibawa. Isinya surat berharga saja. Harta benda lain harus ditinggalkan dalam rangka penyelamatan nyawa," jelasnya.
Meskipun sudah ada 328 Kaltana dan 333 SPAB yang terbentuk, jumlah ini masih jauh dari target. Dari 8.900 satuan pendidikan di Jogjakarta, baru 333 yang sudah menjadi SPAB, sementara 2.903 di antaranya berada di daerah rawan bencana.
"Belum mencapai target, kalau Kaltana masih kurang. Dan itu ada tingkatannya, yaitu Kaltana Pratama, Kaltana Madya, Kaltana Utama. Kita belum mengukur yang dari 328 itu, baru sekadar pembentukan," terangnya.
Mengenai konstruksi bangunan, pengalaman gempa 2006 menunjukkan banyaknya korban jiwa diakibatkan oleh konstruksi bangunan yang masih tradisional. Oleh karena itu, masyarakat diminta mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) yang mencakup standar struktur bangunan.
Saat ini regulasi belum mewajibkan rekomendasi dari BPBD untuk pembangunan di dekat jalur sesar. Berbeda dengan negara-negara maju yang mensyaratkan rekomendasi tersebut. Proses pengeluaran IMB masih sepenuhnya diatur oleh dinas terkait di kabupaten/kota, tanpa konsultasi dari BPBD.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan kesiapsiagaan dan memperkuat regulasi terkait untuk mengurangi risiko bencana dan melindungi warga Jogjakarta dari ancaman gempa bumi.
"Kami imbau ketika terjadi gempa, pertama tidak panik. Simulasinya sudah ada dan sering kita lakukan. Paling gampang adalah setiap masyarakat harus menginstal InaRISK (sistem informasi risiko bencana). Di dalam itu ketika memasuki tempat akan muncul potensi bencana dan penyelamatan yang dilakukan," tambah Noviar. (wia/laz)