logo2

ugm-logo

BNPB: 366 Orang Meninggal Akibat Bencana Kurun Januari-Juni 2019 Jeffri Nandy Satria - detikNews

BNPB: 366 Orang Meninggal Akibat Bencana Kurun Januari-Juni 2019

Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan 2.047 bencana di Indonesia terjadi dalam kurun Januari-Juni 2019. Sebanyak 366 orang meninggal akibat bencana-bencana itu.

"366 orang meninggal dunia, 24 orang hilang, 1.497 orang luka-luka, dan 1.633.702 orang mengungsi. Bencana-bencana tersebut juga mengakibatkan sekitar 33.011 unit rumah rusak. Ada yang rusak berat, rusam ringan dan seterusnya," kata Kepala Subdirektorat Peringatan Dini BNPB Bambang Surya Putra dalam konferensi pers di kantor BNPB, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Jumat (28/6/2019)>

Dari jumlah bencana itu, 98 persen di antaranya diakibatkan oleh hidrometeorologi yaitu bencana yang yang pemicunya berkaitan dengan air dan cuaca seperti banjir, tanah longsor, hingga angin puting beliung. Khusus di bulan Juni, ada 116 bencana mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan, hingga Sulawesi yang menyebabkan 17 orang meninggal. Rinciannya, 8 orang meninggal akibat banjir, 8 karena longsor, dan 1 orang akibat kebakaran hutan dan lahan.

Dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama, terjadi peningkatan jumlah bencana sebesar 15,4 persen dengan total bencana 1.774 kejadian. Jumlah korban juga meningkat dari 181 orang meninggal dan hilang di 2018, menjadi 390 orang meninggal dan hilang di 2019.

"Artinya apa, ancaman bencana di Indonesia ini nyata. Bahwa dengan adanya peningkatan-peningkatan ini, ini menjadi PR bagi kita semua. Bagaimana kemudian kita menciptakan kesiapsiagaan, bagaimana kita bisa melakukan mitigasi untuk mencegah resiko bencana dan juga bagaimana kita bisa mensosialisasikan bagaimana upaya-upaya penanganan bencana dari berbagai jenis bencana yang kerap terjadi di Indonesia," ujarnya.

Sementara 5 provinsi teratas yang banyak terjadi bencana yakni 584 bencana di Jawa Tengah, disusul Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Sementara 5 Kabupaten dengan catatan kejadian bencana terbesar yaitu Kota Semarang, Bogor, Sukabumi, Cilacap dan Garut.

"Saat ini perlu diketahui juga bahwa telah diterbitkannya aturan terkait dengan standar pelayanan minimal kebencanaan oleh Kemendagri dengan keputusan Mendagri Nomor 101 tahun 2018. Mudah-mudahan dengan adanya standar pelayanan minimal yang harus dilaksanakan oleh setiap pemerintah daerah kabupaten kota, mudah-mudahan kejadian bencana bisa ditekan. Seandainya itu harus terjadi, masyarakat bisa lebih siap siaga dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi di masa depan," tuturnya.
(idh/tor)

 

Pengertian Istilah Penanggulangan Bencana Berbeda PP dan Permendagri, Pemdes Bingung

Pengertian Istilah Penanggulangan Bencana Berbeda PP dan Permendagri, Pemdes Bingung

POS-KUPANG.COM | KUPANG- Perbedaan istilah "penanggulangan bencana" antara PP nomor 21 tahun 2018 dengan Permendesa nomor 16 tahun 2018 dan Permendagri nomor 20 tahun 2018 dapat membingungkan pemerintahan desa yang akan menyusun RKPDes dan RAPDes.

Hal ini disampaikan oleh Development Consultant KARINA KWI Yogyakarta, Chasan Ascholani menyimpulkan hasil Lokakarya Integrasi Rencana Pengelolaan Daerah  Aliran Sungai Terpadu (RPDAST) ke dalam Pembangunan Desa Tahun 2020 di Wilayah DAS Kabupaten Sikka yang dilaksanakan mulai tanggal 25-27 Juni 2019 di Maumere.  

Dalam rilis yang diterima POS-KUPANG.COM dari Karina KWI pada Minggu (30/6/2019), lokakarya yang dihadiri peserta dari 17 Desa di wilayah DAS Dagesime-Magepanda & DAS Riawajo beserta Kepala Desa dan Ketua BPD, Camat Paga, Magepanda, Tanawawo dan Mego tersebut menghasilkan catatan penting yang menjadi perhatian bersama stakeholder terutama aparat desa.

Chasan Ascholani, membuat catatan kesimpulan integrasi RPDAST ke dalam RKPDesa tahun 2020 di 17 desa dalam kawasan DAS Dagesime-Magepanda dan Riawajo, yaitu “Yang menjadi catatan penting merujuk Permendagri 114/2014, Permendesa 16/2018, Permendagri 20/2018, bahwa Kegiatan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan bencana dimasukan dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan (bidang 1), pembangunan desa (bidang 2), pembinaan kemasyarakatan (bidang 3), dan pemberdayaan masyarakat (bidang 4) dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPdes).

Sedangkan kegiatan penanganan darurat bencana dan pemulihan pasca bencana, mempersyaratkan harus berdasarkan pernyataan status darurat dari Bupati, dengan mekanisme menggunakan alokasi bidang 5 (biaya tak terduga), bagi desa yang sudah alokasikan dana.

Di samping itu, mekanisme lain untuk penanganan darurat/pemulihan bencana adalah melalui MUSDES untuk revisi RKPDes dan APBDes. Sehingga, penanganan darurat dan pemulihan bisa menggunakan alokasi dana perubahan, baik bagi desa yang sudah alokasikan dana di bidang 5 maupun desa yang tidak alokasikan biaya tak terduga di bidang 5. Sedangkan mekanisme pemulihan bencana dapat juga dianggarkan pada periode tahun berikutnya.

Disinilah terdapat perbedaan pengertian istilah “penanggulangan bencana” dalam Permendagri 20/2018 yang hanya untuk penanganan darurat bencana saja, karena hanya menggunakan biaya tak terduga.

Sedangkan PP 21/2008 dan Permendesa 16/2018 menyebutkan penanggulangan bencana itu mencakup seluruh fase pra, saat, dan pascabencana.

"Hal ini tentu membingungkan pemerintah desa dalam menyusun kegiatan berkaitan dengan penanggulangan bencana di bidang 5 dalam APBDesa," jelas Chasan.

Kegiatan Lokakarya sendiri dibuka oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Sikka, Robertus Ray. Narasumber berasal dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Sikka, BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Sikka.

Dalam lokakarya juga didiskusikan hasil pembelajaran integrasi RPDAST ke dalam pembangunan Desa tahun 2018 oleh Caritas Keuskupan Maumere serta hasil presentasi Desa-Desa yang berada di bagian hulu, tengah dan hilir Daerah Aliran Sungai.(*)

 

More Articles ...