logo2

ugm-logo

Amukan Longsor di Subang yang Telan Korban

Bandung - Minggu (7/1/2024) sore itu, suasana perkampungan warga di Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang, Subang tiba-tiba berubah mencekam. Bencana longsor datang tanpa diduga-duga yang akhirnya dilaporkan menimbulkan korban jiwa.

Berdasarkan informasi, longsor terjadi di sekitar mata air Cipondok, Subang. Bencana alam mengerikan ini dilaporkan menerjang sekira pukul 17.45 WIB.

Dari laporan awal yang diterima, 2 warga meninggal dunia akibat insiden tersebut. Tim rescue pun dikerahkan karena ada warga yang dilaporkan hilang setelah longsor menerjang Subang.

"Petugas Damkar Subang bersama dengan BPBD dan petugas yang lain kami kerahkan semuanya saat ini ke lokasi kejadian," kata Kabid Damkar Subang, Dede Rosmayadi saat dikonfirmasi.

Informasi korban jiwa yang tewas dalam insiden ini turut dibenarkan Kepala Puskesmas Kasomalang Andri Suratman. Ia mengatakan, pihaknya telah menerima 3 pasien korban dari bencana longsor, yang satu di antaranya meninggal dunia.

"Betul, kami telah menerima pasien korban longsor Cipondok. Ada tiga pasien yang dibawa ke UGD Kasomalang, dari tiga pasien itu satu orang meninggal dunia, dan dua pasien lainnya mengalami luka ringan," ujar Andri saat dihubungi detikJabar.

Menurut Andri, korban tewas tersebut bernama Oom (50), warga dari sekitar terjadinya longsor. "Korban meninggal dunia di lokasi longsor. Sementara dua pasien lainnya berhasil selamat," katanya.

Andri menuturkan, korban akibat bencana longsor tidak hanya dibawa ke Puskesmas Kasomalang. Ada juga yang dibawa ke Puskesmas Cisalak.

Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD Subang Udin Jazudin menyebut, sejauh ini ada dua warga yang dilaporkan meninggal dunia. "Ada korban jiwa, dua orang meninggal dunia, lain luka-luka," ujar Udin.

Rencananya, proses pencarian korban akan dilanjutkan esok hari, Senin (8/1/2024). Kondisi lokasi kejadian yang terkena longsor tidak memungkinkan dijangkau petugas karena kurangnya penerangan.

"Pencarian dihentikan sementara mengingat waktu sudah malam," ujarnya.

Camat Kasomalang Tatang Saepulloh mengatakan, pihaknya mencatat sebanyak 300 warga Kampung Cipondok yang terdampak bencana longsor ini. Dari ratusan warga tersebut, 60 warga di antaranya sudah mengungsi karena khawatir terjadinya longsor susulan.

"Sementara 300 orang warga Cipondok akan diungsikan ke Majlis Ta'lim Bantar Panjang. Sekarang yang sudah masuk di lokasi pengungsian kurang lebih ada 60 orang," ujar Tatang kepada detikJabar, Minggu (7/1/2024).

Dari informasi sementara yang diperoleh pihaknya, diduga masih terdapat korban yang masih tertimbun dan masih belum diketemukan. "Menurut informasi masih ada korban yang belum ditemukan. 11 orang luka-luka dirawat di Puskesmas Kasomalang dan Cisalak," katanya.

(ral/sud)

Teknologi Mitigasi Gempa Jepang

Gempa yang terjadi pada awal tahun 2024 di Jepang, tak menyebabkan korban jiwa yang banyak. Padahal gempa itu bermagnitudo 7,6.

Jepang diguncang gempa besar, magnitudo 7,6 pada Senin (1/1) waktu setempat. Pusat gempa di dekat Noto, Prefektur Ishikawa, sekitar 300 kilometer dari Tokyo. Gempa itu sempat memicu peringatan tsunami. Di beberapa tempat, muncul gelombang setinggi satu meter.

Merujuk situs Earthquake List, tahun 2023 Jepang menempati urutan kelima negara dengan jumlah gempa bumi terbanyak, yakni 879 kejadian, di bawah Indonesia (2.205), Meksiko (1.833), Filipina (1.336), dan Chili (924). Jepang adalah negara paling rentan terhadap gempa bumi karena terletak di wilayah cincin api Pasifik.

Dilaporkan the Asahi Shimbun, hingga Kamis (4/1) ada 73 orang tewas di Jepang bagian barat dan 15 lainnya dinyatakan hilang. Rumah-rumah dan fasilitas publik memang ada yang rusak, tetapi dengan magnitudo 7,6 korban jiwa terbilang sedikit.

Sejarah mencatat, Jepang beberapa kali diguncang gempa besar. Misalnya, gempa Kanto pada 1923, yang menghancurkan Tokyo dah Yokohama. Gempa tersebut dikenang sebagai gempa paling dahsyat, yang menewaskan lebih dari 140.000 orang. Pada Maret 2011, Jepang pernah pula diguncang gempa besar magnitudo 9,0. Saat itu, gempa memicu tsunami besar, terutama di Prefektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima. Setidaknya, 18.000-an orang tewas atau hilang.

“Gempa Tohoku 2011 mendorong banyak perusahaan untuk memperketat langkah-langkah penanggulangan gempa,” kata ahli manajemen risiko di Universitas Keio Tokyo, Atsuomi Obayashi kepada Nikkei Asia.

Salah satu teknologi mitigasi gempa yang dibangun Jepang adalah sistem peringatan. Dikutip dari the Mainichi, sistem peringatan sebelum guncangan kuat dari gempa diluncurkan pada 2007.

Japan Meteorological Agency (JMA) atau Badan Meteorologi Jepang lantas menggunakan sistem ini untuk mengeluarkan peringatan lewat televisi dan perangkat seluler kepada warga yang ada di daerah dengan kemungkinan akan terdaftar 4 atau lebih tinggi pada skala intensitas seismik maksimum (5-7 poin).

Jaringan pengamatan seismometer lalu disebar ke laut. Sistem ini bisa mendeteksi gempa tipe palung lebih awal daripada seismometer darat. JMA secara bertahap juga menggunakan teknologi dense ocean floor network system for earthquake and tsunami (DONET) dan S-net dalam sistem peringatan dini antara tahun 2015 dan 2020.

“Secara teoritis, S-net memungkinkan mengeluarkan peringatan dengan lebih cepat sekitar 30 detik dari sebelumnya, sedangkan DONET mempercepat proses tersebut sekitar 10 detik,” tulis the Mainichi.

Kemudian, pada 2016, JMA memperkenalkan metode iterative proportional fitting (IPF), yang memungkinkan beberapa titik data diproses secara bersamaan. Teknik ini memperbaiki ketidakakuratan ketika mengestimasi lokasi hiposenter dan magnitudo.

Tahun 2018, JMA pun memperkenalkan metode propagation of local undamped motion (PLUM), yang memungkinakan untuk memprediksi intensitas seismik dalam radius 30 kilometer dari setiap seismometer, berdasarkan rekamannya.

Di Kota Choshi, Prefektur Chiba, dilansir dari Prevention Web, dibangun menara evakuasi tsunami. Diterbitkan pula rencana dengan tujuan baru selama 10 tahun untuk mengurangi jumlah kematian akibat gempa besar di Palung Kuril sebesar 80%.

“Pentingnya komunikasi kunci untuk meminimalkan korban jiwa akibat tsunami adalah evakuasi ke tempat yang lebih tinggi segera setelah gempa bumi,” tulis Prevention Web.

“Ketika gempa bumi terjadi, pemerintah setempat sering menggunakan sistem radio pencegahan bencana untuk menyampaikan informasi evakuasi.”

Kota Sendai di Prefektur Miyagi adalah satu dari 108 area yang berisiko terdampak tsunami. Kota ini sudah berinvestasi dalam sistem pengumuman darurat menggunakan drone otomatis untuk memerintahkan orang mengungsi saat peringatan tsunami dikeluarkan. Pada Oktober 2022, sistem baru ini mulai beroperasi.

“Sistem inovatif ini direalisasikan melalui kemitraan antara pemerintah kota dan empat perusahaan: Nokia, Hitachi, Blue Innovation, dan Andex,” tulis Prevention Web.

Sistem drone memakai jaringan komunikasi nirkabel. Kamera inframerah yang terpasang di drone bisa mengambil gambar korban bencana dan objek lain, lalu mengirimkannya ke markas tanggap bencana kota. Hal ini memungkinkan untuk memantau kerusakan di daerah terpencil secara real-time.

Yang juga cukup penting, demi meminimalisir korban jiwa, Jepang membangun bangunan tahan gempa. Ikon gedung tahan gempa yang dibangun di Tokyo pada 2012 adalah Tokyo Sky Tree, setinggi 634 meter. Melansir Direct Industry, gedung tersebut merupakan salah satu bangunan paling tahan gempa di Tokyo.

“Selain pondasi yang sangat kuat dan pegas penahan gempa di dasarnya, desainnya menggunakan sistem kolom pusat yang unik, yang mengurangi getaran seismik sekitar 50%, serta dua sistem pegas pengurang massa yang dipasang di bagian atas,” tulis Direct Industry.

“Ketika terjadi gempa bumi, sistem ini bergerak tidak searah dengan struktur bangunan untuk menjaga pusat gravitasi segaris dengan dasar.”

Ada pula Toranomon Hills Mori Tower setinggi 247 meter di Roppongi, Tokyo. Bangunan 54 lantai ini, disebut Euronews, merupakan apartemen mewah, toko-toko, dan kantor beberapa merek terkenal, yang dibangun dengan sistem antigetaran seismik mutakhir untuk mengendalikan guncangan selama gempa.

“Gempa bumi membuat kami menyadari bahwa kami harus mengambil tindakan untuk membuat orang di dalam gedung merasa aman dan nyaman,” ujar kepala departemen rekayasa struktural perusahaan kontraktor Kajima, Haruhiko Kurino kepada Nikkei Asia.

Kajima adalah salah satu kontraktor terbesar di Jepang, yang banyak membangun gedung tahan gempa. Menurut Nikkei Asia, gedung pencakar langit cenderung bergoyang saat gempa bumi terjadi. Namun, memang dirancang seperti itu.

“Gedung pencakar langit modern dibangun fleksibel, menyerap energi seismik gempa bumi daripada menolaknya,” tulis Nikkei Asia.

Selain Kajiman, perusahaan kontraktor lainnya, yakni Shimizu, mengembangkan jenis langit-langit tahan gempa, setahun setelah gempa 2011. Lalu, Mori Building, salah satu pengembang komersial terbesar di Jepang, mengembangkan teknologi bangunan tahan gempa, sejak gempa Kobe tahun 1995. Pada 2003, kompleks perkantoran Roppongi Hills di Tokyo, yang menjadi landmark perusahaan Mori, dilengkapi pipa baja dan teknologi penyerap gerakan yang disebut peredam oli. Saat terjadi gempa 2011, gedung itu tak mengalami kerusakan berarti.

“Pekerjaan ini merupakan tanda Jepang, negara dengan seismik paling aktif di bumi, setiap gempa besar dan merusak memicu kemajuan dalam teknologi yang digunakan untuk menghadapinya—dan memberikan peluang bagi bisnis inovatif untuk menyebarkan pengetahuan di dalam dan luar negeri,” tulis Nikkei Asia.

sumber: https://www.alinea.id/gaya-hidup/ketika-jepang-membangun-teknologi-mitigasi-gempa-b2kzZ9PzN

More Articles ...