logo2

ugm-logo

Kepala BMKG Menekan Risiko Bencana

JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan kesenjangan teknologi berakibat makin meningkatnya risiko bencana.

Dia pun mengajak dunia internasional untuk mengatasi kesenjangan antara teknologi kebencanaan dan pemahaman masyarakat.

Menurut Dwikorita, peringatan dini untuk evakuasi akan gagal mencegah bencana jika tidak didukung pemahaman mitigasi kebencanaan, kesadaran keterampilan, dan kemapuan respons yang cepat dan tepat.

Dia menyebut lemahnya antisipasi, mitigasi, dan peringatan dini bencana berpotensi besar mengancam keselamatan jiwa, serta kerugian ekonomi pun makin besar.

"Terutama untuk negara-negara berkembang yang masuk dalam kategori rawan bencana dengan intensitas dan frekuensi tinggi," kata Dwikorita, dalam keterangannya, Minggu (11/6).

Saat ini, kata dia, kondisi Planet Bumi makin kompleks sehingga membutuhkan pengamatan dan data yang cepat, tepat, akurat, dan sistematis.

Selain itu juga butuh inovasi teknologi yang mumpuni serta analis dan pemodelan yang andal. Untuk membangun sebuah sistem peringatan dini yang andal dan berkelanjutan, kondisi sosial, ekonomi, bahkan politik sebuah negara sangat berpengaruh.

"Situasi ini perlu menjadi perhatian bersama karena jika kesenjangan makin melebar, peran atau manfaat dari kemajuan teknologi tersebut menjadi kurang berarti," lanjut Dwikorita.

Solusinya adalah dengan pendekatan literasi dan edukasi masyarakat agar lebih mampu memahami dan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan oleh teknologi yang modern/canggih, sehingga mampu melakukan respon secara cepat dan tepat terhadap Peringatan Dini yang disampaikan.

Dwikorita mencontohkan konsep Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) yang diselenggarakan BMKG, guna meningkatkan literasi masyarakat tentang cuaca dan iklim.

SLCN ini merupakan upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan Indonesia, berbiaya murah namun memiliki dampak yang cukup signifikan.

Salah satu success story dari SLCN tersebut adalah pada saat terjadinya Siklon Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Salah satu alumnus SLCN menjadi penyelamat warga desa setelah menerima informasi peringatan dini melalui pesan Whatsapp.

Dwikorita menegaskan bahwa makin baik mitigasi yang disiapkan akan makin efisien pemanfaatan anggaran dan makin besar juga harta serta nyawa yang dapat diselamatkan. Maka dari itu, literasi masyarakat tentang kebencanaan perlu ditingkatkan untuk menekan risiko bencana seminimal mungkin.

Khusus sektor swasta, menurut Dwikorita, keterlibatannya masih relatif minim sehingga harus terus didorong.

Indonesia, tambah Dwikorita, menginisiasi lahirnya sertifikasi standard internasional atau ISO untuk sektor industri/swasta terkait Panduan Standar untuk Peringatan Dini Bencana dengan pelibatan aktif komunitas masyarakat.

"ISO tersebut merupakan instrumen sosial ekonomi yang strategis untuk akselerasi terwujudnya ketangguhan masyarakat berbasis sinergi peran swasta dan komunitas masyarakat," jelasnya. 

sumber: jpnn.com

BMKG: Teknologi dan pemahaman masyarakat tekan risiko bencana

Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengajak dunia internasional untuk mengatasi kesenjangan antara teknologi kebencanaan dan pemahaman masyarakat guna menekan risiko bencana.

"Meskipun sudah ada peringatan dini untuk melakukan evakuasi, jika tidak didukung dengan pemahaman tentang mitigasi kebencanaan, kesadaran, keterampilan, dan juga kemampuan respons yang cepat dan tepat, sistem peringatan dini tersebut akan gagal dalam mencegah terjadinya korban," ujar Dwikorita dikonfirmasi di Jakarta, Minggu.

Dalam The Inagural Meeting of the Panel on Sosoeconomic Benefits (PSB) di Jenewa secara daring, Dwikorita menilai lemahnya antisipasi, mitigasi, dan peringatan dini bencana berpotensi besar mengancam keselamatan jiwa, serta kerugian ekonomi pun semakin besar, terutama untuk negara-negara berkembang yang masuk dalam kategori rawan bencana dengan intensitas dan frekuensi bencana yang tinggi.

Saat ini, menurutnya, kondisi bumi semakin kompleks, sehingga membutuhkan pengamatan dan data yang cepat, tepat, akurat, dan sistematis. Selain itu juga butuh inovasi teknologi yang mumpuni serta analis dan pemodelan yang andal.

"Situasi ini perlu menjadi perhatian bersama, karena jika kesenjangan semakin melebar antara kemajuan teknologi dan kapasitas masyarakat untuk menguasai dan memahami teknologi tersebut, peran atau manfaat dari kemajuan teknologi tersebut menjadi kurang berarti," tuturnya.

Ia mengatakan solusi agar masyarakat lebih mampu memahami dan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan oleh teknologi yang modern, yakni dengan pendekatan literasi dan edukasi.

Dalam forum WMO tersebut, Dwikorita mencontohkan konsep Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) yang diselenggarakan BMKG guna meningkatkan literasi masyarakat tentang cuaca dan iklim.

SLCN, kata dia, merupakan upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan Indonesia, berbiaya murah, namun memiliki dampak yang cukup signifikan.

"Salah satu success story dari diadakannya SLCN tersebut, pada saat terjadinya Siklon Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu alumnus SLCN menjadi penyelamat warga desa setelah menerima informasi peringatan dini melalui pesan berjejaring WhatsApp," ujarnya.

Dwikorita mengatakan untuk meningkatkan literasi dan kapasitas masyarakat dalam mitigasi dan merespons peringatan dini bencana, semua pihak harus ikut terlibat, tidak hanya pemerintah, juga akademisi, masyarakat atau komunitas, organisasi masyarakat, media, hingga badan atau pelaku usaha.

Khusus sektor swasta, menurut Dwikorita, keterlibatannya masih harus terus didorong. Indonesia, menginisiasi lahirnya sertifikasi standar internasional untuk sektor industri atau swasta terkait panduan standar untuk peringatan dini bencana dengan pelibatan aktif komunitas masyarakat.

More Articles ...