logo2

ugm-logo

75% Bencana Sejak Awal 2023 Disumbangkan 7 Provinsi Ini

JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB ) melaporkan ada 7 provinsi yang menyumbangkan hingga 75% kejadian bencana di Indonesia sejak awal tahun 2023. Sementara itu, BNPB mencatat 1.726 kejadian bencana terjadi dari 1 Januari hingga 9 Juni 2023.

“Data BNPB tentang kejadian bencana di Indonesia dari 1 Januari, sebenarnya kalau kita lihat secara umum daerah-daerah penyumbang terbesar kejadian bencana di Indonesia, yang mana sebenarnya kalau kita hitung dari total kejadian bencana di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, tujuh provinsi ini, ini mungkin menyumbang 70 sampai 75% dari total kejadian bencana di Indonesia,” ungkap Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dikutip dari YouTube BNPB, Selasa (13/6/2023).

Sehingga, kata Aam sapaan akrab Abdul Muhari, jika ingin mengurangi kejadian bencana atau korban bencana di Indonesia, bisa dengan mengurangi frekuensi kejadian bencana di 7 provinsi itu.

Aam mengatakan dominasi kejadian bencana di tiga provinsi itu hanya tiga yakni banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor. “Artinya ini masih berkaitan dengan hidrometeorologi basah. Tapi ini mungkin karena kita masih terpengaruh oleh dari Januari sampai Maret itu kita kan masih di musim hujan, sedangkan kemudian April Mei Juni musim peralihan terjadi kita mulai mengalami kekeringan dan karhutla (kebakaran hutan dan lahan),” kata dia.

Lebih lanjut, Aam mengatakan Karhutla dalam 2 hingga 3 bulan terakhir, Indonesia sudah mengalami 131 kali, meskipun eskalasi dampaknya belum meluas. “Kita harapkan memang kita siap semua di daerah sehingga eskalasi karhutla ini tidak meluas tapi nanti kita lihat potensi atau upaya-upaya yang harus kita lakukan.”

“Satu minggu terakhir, kalau minggu lalu dominan kebakaran hutan dan lahan, ternyata minggu ini cuaca ekstrem 7 kali, cuaca ekstrem 7 kali, kemudian ada gempa bumi, ada kekeringan ada banjir dan tanah longsor,” paparnya.

Secara umum, kata Aam, jika dilihat secara spasial ini biasanya di bulan Januari sampai Maret seluruh Indonesia didominasi oleh kejadian bencana banjir. “Tapi sekarang udah mulai berganti hijau menjadi representasi dari kebakaran hutan dan lahan dan kita lihat mulai mendominasi di mana-mana, Sumatera, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.”

“Tapi masih ada beberapa kejadian banjir di Kota Depok, kemudian di Papua, ini yang mungkin perlu kita perhatikan nanti ada variabilitas-variabilitas dari cuaca lokal yang mungkin secara umum kita kemarau iya, tapi ada potensi potensi daerah-daerah yang masih memiliki potensi banjir hingga potensi menengah, ini juga harus diperhatikan oleh pemerintah daerah,” tandasnya.

BMKG Ajak Dunia Tingkatkan Pemahaman Masyarakat tentang Risiko Bencana

JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG ) Dwikorita Karnawati mengajak dunia internasional untuk mengatasai kesenjangan antara teknologi kebencanaan dan pemahaman masyarakat. Menurutnya, lebarnya kesenjangan tersebut berakibat pada semakin meningkatnya risiko bencana.

Pandangan ini disampaikanDwikoritadalam The Inagural Meeting of the Panel on Sosioeconomic Benefits (PSB) di Jenewa secara daring, Kamis 9 Juni 2023.

"Meskipun sudah ada peringatan dini untuk melakukan evakuasi, namun jika tidak didukung dengan pemahaman tentang mitigasi kebencanaan, kesadaran, ketrampilan, dan juga kemampuan respons yang cepat dan tepat, maka sistem peringatan dini tersebut akan gagal dalam mencegah terjadinya korban," ungkap Dwikorita dalam keterangannya, Senin (12/6/2023).

Dwikorita menyebutkan, lemahnya antisipasi, mitigasi, dan peringatan dini bencana berpotensi besar mengancam keselamatan jiwa, serta kerugian ekonomi pun semakin besar. Terutama untuk negara-negara berkembang yang masuk dalam kategori rawan bencana dengan intensitas dan frekuensi bencana yang tinggi.

Saat ini kata dia, kondisi Planet Bumi semakin kompleks sehingga membutuhkan pengamatan dan data yang cepat, tepat, akurat, dan sistematis. Selain itu juga butuh inovasi teknologi yang mumpuni serta analis dan pemodelan yang handal.

"Situasi ini perlu menjadi perhatian bersama karena jika kesenjangan semakin melebar antara kemajuan teknologi dan kapasitas masyarakat untuk menguasai dan memahami teknologi tersebut, maka peran atau manfaat dari kemajuan teknologi tersebut menjadi kurang berarti," jelasnya.

Solusinya kata Dwikorita adalah, dengan pendekatan literasi dan edukasi masyarakat agar lebih mampu memahami dan memanfaatkan data dan informasi yg dihasilkan oleh teknologi yang modern/canggih, sehingga mampu melakukan respons secara cepat dan tepat terhadap peringatan dini yang disampaikan.

Dalam forum WMO tersebut, Dwikorita kemudian mencontohkan konsep Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) yang diselenggarakan BMKG, guna meningkatkan literasi masyarakat tentang cuaca dan iklim. SLCN ini, kata dia, merupakan upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan Indonesia, berbiaya murah namun memiliki dampak yang cukup signifikan.

"Salah satu success story dari diadakannya SLCN tersebut adalah pada saat terjadinya Siklon Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Salah satu alumnus SLCN menjadi penyelamat warga desa setelah menerima informasi peringatan dini melalui pesan berjejaring Whatsapp," terangnya.

"Usai menerima pesan, warga desa langsung diungsikan ke gedung sekolah dan perahu- perahu dipindahkan ke tempat yang aman agar selamat dari gulungan ombak. Tanpa pengetahuan yang memadai dan respons yang cepat, maka informasi peringatan dini yang disampaikan tentu akan menjadi sia-sia," tambahnya.

More Articles ...