logo2

ugm-logo

BNPB: Bencana di Juli 2021 Turun Dibanding Juli 2020

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membandingkan dampakbencana pada Juli 2020 dan Juli 2021. Dari data BNPB, ternyata jumlah dan dampak bencana di Juli tahun ini lebih rendah daripada Juli 2020.

"Pada Juli 2020 kejadian bencana yang terjadi mencapai 208 kejadian, sedangkan pada tahun 2021 turun menjadi 130 kejadian atau sekitar 38 persen penurunan," kata Plt. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam keterangan pers, Selasa (3/8).

Selain itu, Muhari mengatakan, jumlah korban meninggal dan hilang pada Juli 2021 juga mengalami penurunan dibandingkan Juli tahun lalu. Pada Juli 2020, angka meninggal dunia mencapai 65 jiwa, sedangkan Juli pada tahun ini 5 jiwa. 

"Demikian juga dampak sektor pemukiman, jumlah kerusakan turun hingga 91 persen pada Juli ini dibandingkan dari total kerusakan rumah pada Juli tahun lalu," ujar Muhari.

Muhari menyampaikan, secara keseluruhan dampak bencana pada Juli 2021 mengalami penurunan yang sangat signifikan dibandingkan dengan tahun lalu. "Ini termasuk jumlah orang terdampak dan mengungsi, jumlah orang terluka dan jumlah rumah rusak," lanjut Muhari.

Di sisi lain, Muhari mengimbau bahwa kesiapsiagaan wajib menjadi perhatian utama semua pihak di bulan Agustus ini. Ia menduga setelah musim hujan berakhir, potensi bahaya yang dihadapi yaitu kekeringan dan karhutla. 

"Setiap tahun wilayah Indonesia selalu terdampak bencana asap yang mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah dan dampak terhadap kehidupan masyarakat, khususnya kesehatan," ujar Muhari.

BNPB mencatat berbagai kasus karhutla di Indonesia dipicu oleh faktor antropogenik atau adanya ulah manusia. "Potensi ini harus dapat dicegah secara bersama-sama sehingga masyarakat tidak lagi terbebani permasalahan asap di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini," tutur Muhari. 

Jakarta Masuk Daftar Kota di Asia yang Diprediksi Tenggelam

Jakarta -  Perubahan iklim, naiknya permukaan air laut, dan banjir diperkirakan akan berdampak besar di Asia di mana jutaan orang tinggal di dataran rendah yang dekat dengan laut.

Laporan terbaru dari Greenpeace Asia Timur melihat risiko di tujuh kota regional menyimpulkan bahwa di kota-kota besar ini saja, lebih dari 15 juta orang dapat terkena dampak kenaikan permukaan laut dan banjir pada tahun 2030.

Sementara prediksi Jakarta akan tenggelam telah diketahui secara luas, namun dalam laporan tersebut, sebenarnya Bangkok berada di urutan teratas kota-kota yang paling terkena dampak.

Greenpeace memperkirakan lebih dari sepuluh juta orang di ibu kota Thailand itu akan terdampak jika banjir sepuluh tahunan terjadi pada level permukaan laut di tahun 2030. Bencana ini akan membahayakan 96% dari PDB kota tersebut (lebih dari USD 500 miliar).

Dikutip dari Science The Wire, dilihat Sabtu (30/7/2021) risiko ekonomi juga tercatat tinggi di ibu kota Filipina, Manila, di mana 87% dari PDB (USD 39,2 miliar) dan sekitar 1,5 juta orang akan terdampak pada tahun 2030 saat terjadi peristiwa semacam itu.

Jakarta tenggelam

Masalah Jakarta

Seperti di Jakarta, pengambilan air tanah yang berlebihan di Manila menyebabkannya tenggelam 10 cm setiap tahun, menurut angka yang dikutip oleh Greenpeace. Penurunan muka tanah maksimum Jakarta ditetapkan sebanyak 25 cm per tahun. Angka ini membuat Jakarta diberi "gelar" kota yang paling cepat tenggelam di dunia.

Namun, masalah ini terkonsentrasi di pantai utara Jakarta. Jika terjadi banjir sepuluh tahunan pada tahun 2030, hanya 17% kota Jakarta yang bisa mengalami banjir. Dibandingkan dengan Bangkok dan Manila, wilayah yang mengalami banjir nantinya masih berupa petak besar.

Masalah di Jakarta diperkirakan akan berdampak pada 1,8 juta orang, menyebabkan potensi kerugian PDB sebesar 18% (USD 68,2 miliar). Pemerintah Indonesia telah berulang kali menyatakan keinginannya untuk memindahkan ibu kota negara ke lokasi yang dibangun khusus di wilayah Kalimantan Timur di pulau Kalimantan.

Sementara para pejabat telah menyebutkan keinginan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi negara dengan lebih baik sebagai alasan, para pengamat percaya masalah lingkungan juga berperan.

Dari kota-kota Asia Timur dalam laporan itu, Taipei dan Tokyo diperkirakan paling berisiko. Sebesar 24% dari PDB Taipei dapat hilang kurang dari sepuluh tahun ke depan, karena banyak lokasi yang dekat dengan Sungai Tamsui akan menghadapi risiko banjir besar. Sebanyak 830 ribu orang dapat terkena dampak di Tokyo yang berpenduduk padat meskipun hanya 4% kota yang akan terendam banjir berdasarkan prediksi skenario yang diberikan.

Sebagai catatan, laporan ini tidak memperhitungkan dampak tanggul atau tanggul laut yang telah atau akan dibangun beberapa kota hingga tahun 2030, yang dapat meminimalkan risiko banjir.

Greenpeace mengatakan, struktur bangunan-bangunan tersebut ada atau sedang dibangun di Tokyo dan Jakarta, tetapi belum ada cukup data untuk memasukkannya ke dalam pemodelan laporan.

sumber: detik.com

More Articles ...