logo2

ugm-logo

Langkah Mitigasi Bencana Kekeringan, Waspada Dampak Hari Tanpa Hujan

KOMPAS.TV - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis daftar wilayah Indonesia yang disebut akan mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH).

Sejumlah wilayah mengalami Hari Tanpa Hujan dengan kategori sangat panjang (31-60 hari) dan ekstrem panjang (lebih dari 60 hari berturut-turut).

Dengan kondisi tersebut, BMKG memperkirakan adanya potensi kekeringan meteorologis di beberapa kabupaten/kota.

Kekeringan merupakan bencana yang disebabkan oleh minimnya ketersediaan air yang ditandai dengan penurunan curah hujan di suatu kawasan atau di bawah normal, serta berkurangnya pasokan air di suatu daerah.

Kekeringan sangat berdampak pada berkurangnya persediaan air untuk rumah tangga dan pertanian, meningkatnya potensi kebakaran semak, hutan, lahan, serta kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan yang menjadi rentan penyakit.

Menurut BMKG, pemerintah setempat dan masyarakat harus segera mempersiapkan langkah mitigasi dan penanganan dari dampak kekeringan meteorologis ini.

Melansir BPBD DIY, upaya mitigasi bencana kekeringan diawali dengan langkah-langkah pemerintah, seperti:

- Penyusunan peraturan daerah berupa penetapan skala prioritas penggunaan air.
- Pembentukan posko kekeringan di tingkat pusat dan daerah.
- Pengembangan jaringan pengamatan iklim di kawasan rawan kekeringan.

Sebelum terjadi bencana, masyarakat dapat memanfaatkan sumber air yang ada secara efektif dan efisien, menanam kembali pohon, memperbanyak resapan air, serta melakukan konservasi air.

Saat terjadi bencana, yang dapat dilakukan adalah membuat sumur bor untuk mendapatkan air,  menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah di sediakan oleh dinas terkait,  melakukan penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan, serta mengatur pemberian air bagi pertanian secara darurat seperti gilir giring.

Sri Mulyani Buat Skema Dana Cadangan Bencana, Intip Aturannya

JAKARTA - Pemerintah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB) , melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana pada 13 Agustus 2021.

Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan PFB merupakan upaya Pemerintah dalam mewujudkan komitmen untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam.

“PFB ini merupakan milestone penting dalam manajemen risiko bencana di Indonesia karena meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana khususnya pendanaan mitigasi bencana dan transfer risiko. PFB ini khas Indonesia dengan model gotong royong pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta. Tidak banyak negara yang memiliki institusi PFB dan melakukan ini dengan baik,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu di Jakarta, Selasa (24/8/2021).

Analisis Bank Dunia (2018) menempatkan Indonesia di peringkat ke-12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam. Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsong, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kekeringan, dan likuifaksi. Bahkan saat ini Indonesia menghadapi bencana non-alam akibat pandemi COVID-19.

Untuk itu, kebutuhan pendanaan sangat penting dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan dari bencana. Dari hasil kajian Kementerian Keuangan (2020), rata-rata nilai kerusakan langsung yang dialami Indonesia dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp20 triliun per tahun. Namun, dana cadangan bencana di dalam APBN untuk mendanai tanggap darurat dan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi kepada pemerintah daerah masih berada di bawah nilai kerusakan dan kerugian tersebut, yaitu Rp5-10 triliun per tahun sejak 2004.

“PFB hadir untuk menutup celah pendanaan atau financing gap tersebut dan mempercepat proses penanganan bencana. Saat ini, PFB akan memiliki dana kelolaan awal sebesar kurang lebih Rp7,3 triliun,” jelas Febrio.


PFB dikelola secara otonom oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU) di Kemenkeu. Dengan menggunakan prinsip kerja BLU, PFB tidak hanya memobilisasi dana, tetapi juga melakukan investasi dan akumulasi atas dana yang dihimpun.

Sebagai bagian dari Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana, PFB memungkinkan pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat. Adanya PFB diharapkan dapat mempercepat pemulihan dan melindungi masyarakat yang paling terdampak, yaitu masyarakat miskin dan rentan.

“Dalam 2-3 tahun ke depan, PFB akan mendanai pembelian premi asuransi seluruh gedung/bangunan milik Kementerian/Lembaga dan bergotong-royong untuk co-financing dengan pemerintah daerah untuk pengasuransian aset daerah. Sehingga, nilai kerusakan akibat bencana alam yang ditanggung pemerintah dapat ditekan,” pungkas Febrio

More Articles ...