logo2

ugm-logo

Kasus Corona RI Dinilai dalam Fase Mirip India

Jakarta - Otoritas India mencatat jumlah kematian akibat Corona mencapai 6 ribu kasus dalam sehari. Pakar epidemiologi Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menilai Indonesia sedang dalam fase yang mirip dengan India.

"Jadi pesan atau peringatan keras, penting untuk Indonesia karena kita dalam fase hampir mirip (dengan India) di mana masyarakat abai, cenderung cuek," ujar Dicky kepada detikcom, Kamis (10/6/2021) malam.

Menurutnya, sikap tak disiplin terhadap protokol kesehatan terjadi di semua kalangan di Indonesia. Salah satu buktinya, kata Dicky, adalah kerumunan ketika ada pesta hingga promo di gerai makanan.

Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman (Dok istimewa/foto diberikan oleh Dicky Budiman)Foto: Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman (Dok istimewa/foto diberikan oleh Dicky Budiman)

"Terjadi pelanggaran-pelanggaran di masyarakat seperti ada hajatan, ada yang gerai makanan menimbulkan kerumunan itu representasi secara umum, pendekatan yang dilakukan pemerintah belum koheren," ucap Dicky.

Usul Agar RI Tak Seperti India

Dicky mengusulkan pemerintah agar menggenjot kapasitas testing dan tracing. Warga yang dari luar RI juga harus dikarantina 14 hari sesuai SOP protokol kesehatan pencegahan Corona.

Dia juga mengatakan vaksinasi harus dipercepat. Pemerintah pusat dan daerah disebutnya harus melakukan inovasi agar vaksinasi berjalan cepat dan efektif.

"Jadi pusat harus menjamin ketersediaan stok, distribusi, dan dukungan," tutur Dicky.

JORIA, INDIA - MAY 22: An Indian villager tends to livestock amid the state's coronavirus lockdown on May 22, 2021 in Joria, Alwar District, Rajasthan, India. India's prolonged and devastating wave of Covid-19 infections has gripped cities and overwhelmed urban health resources, but it has also reached deep into rural India, where the true extent of devastation is unknown because of the lack of widespread testing or reliable data. (Photo by Rebecca Conway/Getty Images)Suasana pandemi Corona di India. Foto: Getty Images/Rebecca Conway

"Sementara daerah mencari inovasi yang efektif dan kreatif sesuai lokal konteks untuk mempercepat laju vaksinasi ini. Saya melihat sejauh ini relatif Jakarta, mungkin Jawa Tengah, cukup berupaya melakukan inovasi seperti misalnya dia melakukan terobosan melibatkan organisasi, paguyuban, ataupun profesi," lanjutnya.

Selain itu, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk melawan hoax seputar vaksinasi. Pasalnya, isu tidak benar seputar vaksinasi bisa menghambat penyuntikan vaksin.

India Makin Mencekam

Otoritas India melaporkan angka kematian harian virus Corona tertinggi di dunia, setelah salah satu negara bagian merevisi data resminya. Tercatat bahwa negara ini mencatat lebih dari 6.100 kematian akibat Corona dalam sehari.

Amerika Serikat (AS) sebelumnya memegang rekor itu dengan mencatat 5.444 kematian dalam sehari, pada 12 Februari lalu.

Data terbaru Kementerian Kesehatan India menyebut total kematian Corona di India saat ini mencapai 359.676 kematian.

Jumlah kasus COVID-19 di India terus meroket hingga tembus angka 24 juta. Informasi yang salah mengenai virus Corona pun melonjak seiring dengan meningkatnya jumlah kematian akibat COVID-19
Pandemi Corona di India. Foto: AP Photo /Mahesh Kumar A

Kementerian Kesehatan India juga melaporkan bahwa 94.052 kasus Corona tercatat dalam 24 jam terakhir. Media lokal India Today menyebut bahwa sudah tiga hari berturut-turut India mencatat kurang dari 100.000 kasus harian Corona.


Kasus Corona Baru di Indonesia Capai 8.892

Berdasarkan data dari Satgas Penanganan COVID-19, dilaporkan ada 8.892 kasus baru Corona pada Kamis (10/6/2021) sehingga sejak Maret 2020 sudah ada 1.885.942 kasus COVID-19 di Tanah Air.

Selain itu, dilaporkan ada penambahan pasien sembuh Corona sebanyak 5.661, sehingga sampai hari ini ada 1.728.914 pasien Corona yang sembuh.

Sementara itu, dilaporkan juga hari ini ada 211 pasien meninggal akibat COVID-19. Total tercatat ada 52.373 pasien COVID-19 yang meninggal

30 Juta Orang Mengungsi karena Bencana Iklim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badai, banjir, kebakaran hutan, dan kekeringan akibat kenaikan suhu yang menyebabkan kekacauan iklim, membuat lebih dari 30 juta orang mengungsi tahun lalu. Data ini dilaporkan Pusat Pemantauan Pemindahan Internal (IDMC).

Ditambah dengan konflik perang dan kekerasan, yang memaksa 9,8 juta orang mengungsi di dalam wilayah perbatasan mereka. IDMC mencatat total jumlah pengungsi internal baru pada tahun 2020 menjadi 40,5 juta orang.

Organisasi penelitian yang berbasis di Jenewa, Swiss, ini bahkan memperkirakan rekor baru yakni 55 juta orang hidup terlantar di negara mereka sendiri pada akhir tahun. Itu berarti, dua kali lipat jumlah pengungsi di dunia.

Cuaca ekstrem meningkat secara tidak wajar akibat pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan iklim. Faktor ini diprediksi akan membuat lebih banyak orang mengungsi dari rumah mereka akibat bencana seperti banjir dan badai, serta krisis seperti gagal panen dan kekeringan.

Di negara-negara kaya, para politisinya telah mengemukakan kekhawatiran bahwa migrasi besar-besaran dari daerah yang lebih miskin dapat membebani layanan publik saat planet memanas. Namun gagasan ini dinilai hanya sebagai sebuah "gangguan" karena sebagian besar pengungsian sejatinya bersifat internal, kata Bina Desai, kepala program di IDMC.

"Merupakan kewajiban moral untuk benar-benar berinvestasi dalam mendukung mereka di tempat mereka berada - daripada hanya memikirkan risiko ketika mereka tiba di perbatasan," ucap dia.

Mengungsi akibat kekacauan iklim

Laporan tahunan itu mencatat bahwa lebih dari 80 persen orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka pada tahun 2020 berada di Asia dan Afrika. Di Asia, sebagian besar orang terpaksa mengungsi karena cuaca ekstrem. Seperti di Cina, India, Bangladesh, Vietnam, Filipina, dan Indonesia, kombinasi dari pertumbuhan penduduk dan urbanisasi menyebabkan lebih banyak orang terdampak banjir akibat naiknya permukaan laut.

Seperti topan terparah dalam 20 tahun terakhir yang baru-baru ini melanda India, memaksa pihak berwenang untuk mengevakuasi lebih dari 200.000 orang di negara bagian Gujarat. Meskipun sistem peringatan dini berfungsi menyelamatkan banyak orang, namun banyak dari mereka yang tidak memiliki rumah untuk kembali.

Selain itu, topan Amphan yang melanda Bangladesh tahun lalu, menyebabkan 2,5 juta orang mengungsi dan menghancurkan 55.500 rumah. Laporan itu juga menunjukkan bahwa 10 persen orang yang mengungsi kehilangan tempat tinggal.

Kalau di Asia banyak orang mengungsi akibat cuaca ekstrem, di Afrika sebagian besar pengungsian pada tahun 2020 justru disebabkan oleh konflik. Kekerasan yang terus-menerus terjadi, memaksa orang-orang meninggalkan rumah mereka di negara-negara seperti Burkina Faso dan Mozambik. Sementara perang baru juga dilaporkan bermunculan di negara lain seperti Ethiopia.

IDMC memperkirakan setengah juta orang telah melarikan diri dari pertempuran di wilayah Tigray Ethiopia pada akhir tahun lalu. Sejak itu, UNICEF mencatat angka di atas satu juta pengungsi.

Beberapa konflik juga diperparah dengan musim hujan yang sangat panjang dan lebat, yang mengakibatkan banjir dan bencana panen. Seperti di Somalia, Sudan, Sudan Selatan dan Niger, hujan deras memaksa pengungsi yang sejatinya sudah terlantar untuk kembali mengungsi di negara tersebut, demikian menurut laporan itu.

Bencana lingkungan seperti ini memicu 4,3 juta orang mengungsi di sub-Sahara Afrika pada tahun 2020. Setidaknya setengah dari mereka masih mengungsi hingga akhir tahun.

sumber: https://www.dw.com/id/angka-pengungsi-mencatat-rekor-akibat-cuaca-ekstrem/a-57649775

More Articles ...