logo2

ugm-logo

Blog

Jalur kereta di Jawa punya 500 titik rawan bencana

Para anggota Petugas Pemeriksa dan Pemelihara Jalur PT Kereta Api Indonesia Daop I melakukan perawatan jalur rel Jakarta-Merak di Kampung Cinanggung, Serang, Banten, Kamis (17/5/2018).

Jalur mudik di pulau Jawa bukan cuma dibayangi 10 titik kemacetan lalu lintas. Jalur mudik berbasis rel (kereta api) pun disertai titik rawan bencana alam. Bahkan jumlahnya mencapai 500 titik yang terbentang dari Jawa Barat (Jabar) hingga Jawa Timur (Jatim).

Hal ini disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi usai memimpin apel pasukan mudik Lebaran 2018 di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (5/6/2018). Di masing-masing provinsi pun jenis ancaman bencananya berbeda.

Bencana alam longsor paling rawan terjadi di Jabar. Antara lain di Tasikmalaya, Garut, Bogor, dan jalur Bogor-Sukabumi. Sementara ancaman jalur amblas dan banjir ada di Jatim, termasuk di jalur Porong-Sidoarjo yang kerap banjir ketika hujan deras.

Seluruh titik rawan bencana alam ini sudah dipetakan. Itu sebabnya Budi pun memerintahkan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan jajaran Kementerian Perhubungan agar menempatkan para petugas untuk memantau langsung kondisi alam di seluruh titik rawan itu.

"Saya mengimbau rekan-rekan di lapangan agar berkoordinasi dengan Balai Teknik Kereta Api, tempat mewaspadai gangguan alam, khususnya antisipasi banjir dan longsor, serta dampak cuaca," tukas Budi dikutip Kumparan.

Budi juga sudah meminta TNI dan Polri meningkatkan keamanan secara terbuka dan tertutup di seluruh lokasi, termasuk lokasi rawan longsor, banjir, dan stasiun. Jadi para personel TNI dan Polri pun ikut mengamankan kegiatan mudik beserta fasilitasnya.

Sementara Direktur Utama PT KAI Edi Sukmoro mengatakan antisipasi sudah dilakukan sejak 13 April lalu, termasuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas jalur yang rawan longsor dan banjir. Hal itu terutama dilakukan di Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto dan Daop 7 Madiun.

Adapun di wilayah Daop 4 yang membentang dari Tegal hingga Cepu dan Gundih sepanjang 353 km di Jateng, ada lima titik rawan banjir dan longsor. Namun Manajer Humas PT KAI Daop 4 Semarang, Suprapto, kepada Okezone mengatakan ada 97 orang petugas yang disiapkan memantau lima titik rawan tersebut.

Masing-masing titik rawan itu terdapat di Krengseng - Plabuan, KM 53 + 0/4; Plabuan - Kuripan, KM 55 + 1/2; Plabuan - Kuripan, KM 55 + 0/6; Kedungjati - Karangsono, KM 60 + 7/8; dan Semarang Tawang - Alastua, KM 2 - KM 3.

Daop 4 juga menyiapkan alat material untuk siaga (AMUS). Masing-masing ada di Stasiun Tegal, Pekalongan, Kalibodri, Semarang Tawang, Alas Tua, Brumbung, Gundih, Cepu, dan Gambringan.

"PT KAI Daop 4 Semarang telah melaksanakan perbaikan dan penguatan pendukung fondasi tubuh badan rel, serta menambah tenaga pemeriksa jalur rel atau petugas penilik jalur rel ekstra sebanyak 97 petugas," kata Suprapto, Sabtu (2/6) lalu.

Di sisi lain, Budi menyarankan masyarakat untuk mengundur keberangkatan mudik hingga tanggal 10-11 Juni. Maklum, puncak arus mudik di Pulau Jawa diperkirakan bergeser lebih awal menjadi pada 9 Juni.

"Kami menyarankan pada para pemudik tidak mudik pada tanggal 8-9 dan 12-13 karena itu adalah puncak mudik, kalau bisa tanggal 10-11 itu lebih longgar," kata Budi seusai pertemuan koordinasi pengamanan hari raya Idulfitri 1439 H di Mabes Polri, Jakarta, seperti dilansir detikcom, Selasa (5/6).

Budi pun tetap mempersiapkan seluruh fasilitas transportasi dengan baik. Budi berharap kegiatan mudik 2018 ini berjalan lancar seperti halnya mudik 2017.

"Dari catatan kecelakaan, ada penurunan tahun lalu 30 persen. Oleh karenanya, imbauan penggunaan motor dan ramp check jadi penting," ujar Budi.

Fasilitas transportasi seperti jalan tol pun kini makin memadai karena meliputi Jakarta-Surabaya. Namun, Budi mengingatkan bahwa jalan tol Trans Jawa bukan segalanya lantaran masih tetap ada jalur arteri Pantura dan kondisinya baik.

Mudik 2018, Menhub Minta PT KAI Antisipasi 500 Jalur Rawan Bencana

https: img-o.okeinfo.net content 2018 06 06 337 1907066 mudik-2018-menhub-minta-pt-kai-antisipasi-500-jalur-rawan-bencana-1ewuUhsTLj.jpg

JAKARTA – Menteri Perhubungan, Budi Karya, meminta kepada Dirjen Perkeretaapian untuk memastikan antisipasi bencana, seperti banjir, longsor, dan tanah ambles di sekitar pelintasan rel kereta api.

Menurutnya, di perlintasan kereta yang akan dilintasi jalur para pemudik, sedikitnya ada 500 titik rawan banjir, amblas, dan longsor.

"Ada sekitar 500 titik rawan yang meliputi banjir, amblas, dan longsor," kata Budi saat menjadi Inpektur Apel gelar pasukan di Stasiun Gambir, Jalan Medan Merdeka Timur, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (5/6/2018).

Berikan Rasa Aman dan Nyaman, Perawatan Bantalan Rel Kereta Rutin Dilakukan

Adapun pelintasan yang cukup rawan diketahui berada di wilayah Jawa Barat. Daerah itu rawan banjir dan longsor dikarenakan dipengaruhi oleh faktor cuaca dan curah hujan.

"Di Jawa Barat. Seperti di Tasik, Bogor dan Garut. Khususnya untuk antisipasi lokasi banjir dan longsor serta dampak cuaca. Terutama di lintas Bogor dan Sukabumi," lanjutnya.

Adapun untuk di wilayah lainnya, dapat ditemui di Jawa Timur, sepeti di daerah Porong dan Sidoarjo.

"Oleh karenanya, kami melakukan rail check, memberikan catatan apa saja yang harus direkomendasi. Juga dimana saja daerah yang rawan longsor. Semua itu kami minta kepada PT KAI untuk mempersiapkan dengan baik," tutupnya.

 

How corruption slows disaster recovery

The 2018 hurricane season has now begun. It’s a good time to think about lessons learned from last year’s historic storms.

Hurricane Irma, which raged across the Caribbean from late August to early September 2017, was the strongest Atlantic hurricane since record keeping began in 1851.

In total last year, six major storms were Category 3 or greater, making 2017 the seventh most-active year in history and the costliest ever.

The Center for Disaster Management and Risk Reduction Technology, a German research institute, estimates that reconstruction on the islands hit by Irma alone will cost at least US$10 billion.

But having recently completed a monthslong human rights analysis on the aftermath of last year’s deadly hurricane season, we believe that’s a low estimate. Our research identified another cost contributing to the challenges of rebuilding: corruption.

Devastation in Sint Maarten

We visited the Caribbean island of Sint Maarten, which is part of the Netherlands, in February. Hurricane Irma’s destruction was still apparent.

Massive trees had been ripped out of the ground and toppled, their roots exposed. Vehicles and debris were scattered across the landscape. Marinas, a key infrastructure for this 14-square-mile island, were left in ruins, littered with the stranded remnants of boats that had smashed onto shore.

Sint Maarten, five months after Hurricane Irma. Juliet Sorensen, Author provided (No reuse)

Amid such chaos, cleanup and rebuilding after an extreme weather event becomes urgent. And urgency, we found, breeds opportunities for corruption.

Government malfeasance is already prevalent in Sint Maarten, which has relatively lax regulation and a cash-fueled economy driven by tourism and casinos. The influx of reconstruction funds after Hurricane Irma created new opportunities for graft.

Local authorities told us, for example, that the initial days of debris clean-up in Sint Maarten involved over 1,000 workers, paid hourly, but only eight supervisors. Our interviews indicate that the scant oversight enabled fraudulent inflation of reported hours, wasting vital government funds on work left undone.

The Dutch government, which offered Sint Maarten $641 million in relief after Hurricane Irma, was concerned enough about misappropriation that it insisted on certain anti-corruption safeguards. They included establishing an “integrity chamber” to receive and investigate complaints about corruption on the island.

Sint Maarten’s prime minister refused to accept the funds under such conditions and, in November, resigned in the ensuing scandal.

Eventually, Sint Maarten’s government bowed to Dutch demands. The first installment of relief funding, managed by the World Bank, was released to the island in April, seven months after the hurricane devastated the island.

Corruption kills

Corruption in Puerto Rico may have actually contributed Hurricane Maria’s high death toll. While the government’s official tally is 64 storm-related deaths, a recent study puts the figure closer to 4,600 – in part because a prolonged blackout prevented many Puerto Ricans with chronic illness from getting necessary medical care.

After Hurricane Maria knocked out the island’s electric grid, the island’s power authority awarded a $300 million contract to the Montana-based company Whitefish Energy to repair it. The bidding process soon came under suspicion because it was clear that the company, which had just two employees, could never complete the task.

A Puerto Rico resident tries to reconnect his own electricity after Hurricane Maria. AP Photo/Ramon Espinosa

The U.S. House Committee on Natural Resources opened an investigation and the Whitefish contract was canceled.

After $3.8 billion in federal aid for the power grid, some 11,000 Puerto Ricans are still without electricity. Officials say even a mild hurricane could disable the grid again.

We believe progress would have been quicker if Puerto Rico’s first big energy contract had been correctly executed. After a disaster, corruption can literally kill.

Unaccountable donors

In the Caribbean, a developing region where some governments may be too small and cash-strapped to lead a wholesale recovery effort, corruption after natural disasters may be compounded by a lack of transparency among the international donors and humanitarian organizations that rush in to help.

After Haiti’s 2010 earthquake, for example, an unprecedented $13.5 billion in aid money flowed onto the island – more than double its gross domestic product.

Much of this money never made it to those who needed it. A 2011 study by U.S. researchers found that only 44 percent of Haitians affected by the quake received any aid at all.

According to a comprehensive analysis by the Center for Global Development, Haiti’s government received just 1 percent of humanitarian aid and perhaps 15 to 20 percent of longer-term relief aid. The rest was channeled to charities and nongovernmental organizations, whose resulting projects were in many cases impossible to identify.

Time to get ready

The United Nations, which also offers valuable guidance on fighting corruption in its 2005 Convention Against Corruption, will soon launch an anti-corruption initiative offering tools catered toward small island developing states like those in the Caribbean.

Our work also identified several ways that Caribbean countries could limit how corruption harms future hurricane recoveries.

Better disaster preparedness – including building code compliance, zoning enforcement in exposed locations like beaches and hillsides and transparent, well-resourced disaster-response teams – would reduce turmoil after extreme weather. That, in turn, would minimize opportunities for the kinds of chaos-related corruption we documented across the Caribbean.

Island nations might also consider banding together for the purpose of receiving, dispersing and tracking relief funds, as Indian Ocean nations did after the region’s 2004 tsunami.

The European Commission created a similar task force in 2013. Today, European countries aren’t left scrambling to respond when disaster strikes. Instead, the Emergency Response Coordination Center monitors the disaster, continually poised to offer expertise, relief funding and first responders as needed across the continent.

Scientists predict that hurricane activity this year will likely be above average due to climate change. For the Caribbean, preparing for extreme weather means being ready for the human-made disasters that can follow it, too.

Letusan Freatik Buktikan Merapi Telah Berubah, Apa Dampak Negatifnya?

Visual kawah merapi saat kejadian erupsi freatik pagi ini pukul 09.38 WIB dengan tinggi kolom letusan 1200 m arah condong ke barat. Status NORMAL.

KOMPAS.com - Dalam dua minggu belakangan, gunung Merapi sangat aktif. Hari Rabu (25/6/2018) hingga pukul 14.16 WIB saja, Merapi sudah mengalami dua letusan freatik.

Menurut Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), letusan pertama terjadi pukul 3.31 WIB selama 4 menit dengan ketinggian kolom 2.000 meter ke arah barat daya.

Letusan kedua terjadi pada 13.49 WIB dengan durasi dua menit, namun ketinggian kolom abu tidak teramati dari Pos PGM Babadan.

"Status Merapi masih pada tingkat waspada (Level II). Penduduk yang tinggal dan beraktivitas di luar radius 3 KM dapat terdampak abu letusan, namun tidak membahayakan jiwa." kata Hanik Humaida, Kepala BPPTK.

"Masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan diharap menggunakan masker dan  meningkatkan kesiapsiagaan," imbuhnya.

Ahli vulkanologi, Surono, mengungkapkan bahwa rangkaian letusan freatik Merapi kali ini bisa dimaknai sebagai dampak perubahan karakteristiknya.

Sebelumnya, Merapi selalu meletus dengan periode 2-4 tahun sekali. Setiap letusan selalu disertai dengan pembentukan kubah lava.

Namun sejak Oktober 2010, Merapi berubah. Siostemnya jadi terbuka sehingga mempengaruhi karakteristik letusannya.

Surono mengatakan, perubahan karakter itu punya dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, Merapi tak langsung menghasilkan awan panas saat pertama kali meletus.

Sementara itu, dampak negatifnya semua sinyal yang diberikan Merapi sangat lemah. Sinyal yang dimaksud antara lain gempa tidak atraktif, deformasi, dan lain sebagainya.

"Saya bilang, hati-hati dengan sistem terbuka. Gejalanya tidak bisa lagi memakai kamus zaman dulu," ungkapnya.

Status gunung berapiKOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO Status gunung berapi

Meskipun demikian, Surono mengingatkan, "Semua proses alam tidak mungkin tanpa tanda-tanda. Hanya saja tanda-tandanya kecil, karena freatik tidak sebesar magmatik," paparnya.

Menurut pengamatan Surono, masyarakat di sekitar lereng Merapi adalah masyarakat yang paling siap menghadapi letusan gunung berapi. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.

"Saya terus terang saja, sebelum terjadi letusan saya ngobrol dengan kepala SAR DIY. Mereka mengambil langkah menggelar pasukan dengan atau tanpa waspada lho. Itu tindakan yang sangat luar biasa," katanya.

"Jadi menurut saya, masyarakat dan aparat sudah siap. Sekarang kuncinya adalah BPPTKG memberikan informasi secara cepat, tepat, dan akurat," tegasnya.

sumber: Kompas.com dengan judul "Letusan Freatik Buktikan Merapi Telah Berubah, Apa Dampak Negatifnya?

Banjir Bandang Terjang Kabupaten Konawe Utara, 395 Jiwa Mengungsi

KENDARI, KOMPAS.com – Banjir bandang yang menerjang tiga desa di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Senin (21/5/2018), membuat 395 jiwa dari 96 kepala keluarga (KK) yang menjadi korban banjir harus mengungsi.

Para korban yang mengungsi kini terpaksa berteduh dalam tenda darurat yang dibangun oleh Dinas Sosial Kabupaten Konawe Utara. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini, namun kerugian materi yang diderita warga ditaksir mencapai miliaran rupiah. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Konawe Utara Sudin mengatakan, dalam musibah itu tercatat tujuh rumah warga yang hanyut terseret banjir. Sementara 79 rumah warga yang lainnya masih terendam banjir

Sudin menambahkan, saat ini tenda darurat yang dibangun Dinas Sosial bukan hanya dijadikan sebagai tempat perisitirahatan sementara, tetapi juga digunakan untuk mengamankan harta benda warga yang berhasil diselamatkan. Sebagian warga korban banjir juga mengungsi ke rumah sanak kelurga, terutama anak-anak kecil.

"Warga yang terdampak banjir di tiga lokasi di Konawe Utara, yakni untuk Desa Polara Indah sebanyak 33 KK atau 141 jiwa, Desa Landawe Utama 34 KK atau 140 jiwa dan Tamba Kua 27 KK atau 114 jiwa," terang Sudin, Selasa (22/5/2018).

Untuk memaksimalkan pegawasan terhadap para korban banjir, kata Sudin, pihaknya juga mendirikan posko darurat pembantu yang dilengkapi fasilitas tanggap darurat. Saat ini, pihaknya masih terus melakukan pemantauan di sejumlah lokasi yang terdampak banjir. Baca juga: Banjir Bandang di Bogor, 1 Warga Tewas dan 12 Kendaraan Hilang

“Kami berharap bencana alam yang melanda ini tidak menimbulkan korban jiwa. Kalau (kerugian) materi diperkirakan miliaran rupiah karena rumah banyak hancur dan barang berharga lainya hilang,” tukasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, banjir setinggi empat meter menerjang tiga desa di Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara 3 terjadi pada Senin (21/5/2018).

Banjir ini disebabkan oleh curah hujan yang cukup tinggi beberapa hari di wilayah itu, sehingga membuat sungai Wiwirano meluap. Tak hanya itu, akibat banjir bandang tersebut jalan trans-Sulawesi yang menghubungkan antara Kecamatan Langgikima, Konawe Utara dengan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah terputus.