logo2

ugm-logo

Banjir dan 75 izin tambang mengepung Konawe

sumber: beritagar

Selain Kabupaten Konawe Utara, banjir selama sepekan mengepung Kabupaten Konawe di Sulawesi Tenggara (Sultra). Bila di Konawe Utara terdapat 6 kecamatan yang dilanda banjir, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di Konawe ada 4 kecamatan yang tergenang.

Masing-masing adalah kecamatan Sampara, Bondoala, Batu Gong, dan Morosi. Banjir akibat meluapnya sungai Pohara pun memutus jalan trans Sulawesi yang mengubungkan Sultra dengan Sulawesi Tengah.

Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konawe, Rabu (12/6/2019), saat ini sudah 4.095 jiwa mengungsi akibat banjir. Bencana banjir muncul setelah hujan tiada henti turun sejak tanggal 2 hingga 10 Juni 2019.

Puncaknya, Minggu (9/6), hujan sangat lebat membuat air sungai Konaweha dan Lahambuti meluap. BPBD Sultra mengatakan dua di antara penyebab banjir adalah saluran pembuangan irigasi jaringan primer dan sekunder, serta perambahan hutan sehingga terjadi pendangkalan di badan sungai.

Sementara Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sultra menyebut banjir di Konawe dan Konawe Utara lebih banyak disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Saharuddin, mengatakan Konawe dan Konawe Utara merupakan daerah dengan izin usaha pertambangan terbanyak di Sultra.

Akibat ekspansi tambang dan sawit, sejak 2001 sampai 2017, Konawe Utara sudah kehilangan 45.600 hektare tutupan pohon. Pertambangan dan sawit juga merusak hutan primer hingga 954 hektare dan hutan alam 2.540.

Sedangkan alih fungsi perkebunan, Walhi Sultra menyebut, ada sekitar 20.000 hektare kebun sawit baru yang 90 persen di antaranya diambil dari pembukaan hutan. Secara umum, lanjut Saharuddin, aktivitas industri ekstraktif dan perkebunan di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara berdampak pada pendangkalan atau sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lasolo dan Konawe.

"Kondisi DAS Konawe berstatus krisis sekarang," katanya saat dihubungi Beritagar.id, Selasa (11/6).

Menurut Udin, sapaan akrabnya, bila kawasan hutan sudah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit dan pertambangan, akan ada dampak kerusakan lingkungan. "Sudah pasti akan menimbulkan bencana alam seperti banjir," katanya.

Seharusnya, lanjut Udin, Pemprov Sultra segera mengevaluasi izin usaha tambang dan perkebunan sawit di dua daerah itu. "Secara umum di Sultra harusnya lebih dari 80 izin pertambangan harus dicabut," paparnya.

Khusus di Konawe Utara dan Konawe, ada tiga perusahaan sawit yang paling berkuasa; masing-masing PT Damai Jaya Lestari (DJL), Sultra Prima Lestari, dan PTPN.

Di sisi lain, Gubernur Sultra Ali Mazi membantah banjir karena aktivitas pertambangan dan kebun sawit. Ali menegaskan konsesi tambang berada di bagian utara sedangkan banjir berada di bagian timur Konawe Utara.

"Tidak juga penyebabnya karena aktivitas tambang," katanya usai mengikuti upacara HUT Pasarwajo ke-16, Senin (10/6/2019).

Ia berdalih, bencana serupa pernah terjadi pada 20 tahun silam ketika pertambangan belum booming. Namun, Wakil Gubernur Sultra Lukman Abunawas justru sependapat dengan WALHI.

Dari data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra, ada 72 izin usaha pertambangan di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara yang statusnya sudah clear and clean (CnC). Dari 72 Izin Usaha Pertambangan (IUP) itu, ada beberapa pengusaha yang memiliki izin lebih dari satu.

Para pemilik tambang, sebagaimana data Dinas ESDM, berlatarbelakang anggota dewan legislatif hingga kerabat Ali Mazi. Poitikus Golkar di DPRD Sultra, Hery Asiku, misalnya, memiliki 5 IUP di Konawe Utara.

Ia bersama putranya tercatat menjadi direksi di tiga perusahaan berbeda. Sedangkan adik kandung Ali Mazi, Sahrin, menjadi pemegang saham di PT Daka Group --perusahan yang mengelola tambang nikel di Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara dengan nomor IUP 212/2012 dengan masa berlaku 21 Mei 2012 hingga 21 Mei 2031 untuk luas lahan 200 ribu hektare.

Soal perkebunan sawit, ironisnya Dinas Perkebunan Sultra justru belum memiliki data komprehensif.

Tags: Banjir