logo2

ugm-logo

Banjir Landa Kawasan Industri Nikel Weda, Walhi: Aktivitas Tambang Jadi Penyebabnya

  • Banjir besar menenggelamkan sejumlah desa di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, mulai Hari Minggu (21/7/2024), termasuk juga di kawasan industri PT IWIP
  • Banjir besar terjadi karena dampak dampak dari aktivitas tambang terbukti dari luapan air sungai yang berwarna coklat pekat membawa endapan material tanah dan tambang
  • Walhi Maluku Utara menyimpulkan bahwa bencana banjir terjadi disebabkan deforestasi dan degradasi hutan dari masifnya pemberian izin konsesi pertambangan nikel oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara dan pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.
  • Analisis Walhi Maluku Utara dari tahun 2001 keberadaan hutan primer seluas 188.000 hektar atau 83 persen areal kawasan Halmahera Tengah. Saat ini telah mengalami deforestasi seluas 26.100 haktare dan terus naik seiring aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan nikel.

Banjir besar menenggelamkan  sejumlah desa di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Minggu (21/7/2024) subuh. Banjir akibat luapan Sungai Kobe ini berlanjut hingga  Selasa (23/7/2024). Ruas jalan di kawasan industri PT IWIP dan ruas jalan di Sagea – Gemaf tepatnya di Jembatan Air Gemaf masih tergenang banjir. Desa Lukolamo terendam air hingga setinggi 2 meter. Desa ini terbilang paling parah.

Menurut sejumlah warga, banjir yang terjadi di Lelilef, Lukolamo, Trans Kobe dan Gemaf,  Sagea hingga trans Waleh di Weda Utara itu karena dampak dari aktivitas tambang.

“Dulu di Lukolamo sering banjir tapi warna airnya beda dengan sekarang,” kata M. Ridwan warga Lukolamo yang dihubungi Selasa (23/7/2024). Dia bilang banjir saat ini airnya  warna coklat pekat karena sedimen material dari aktivitas tambang.

Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Maluku Utara  Mubaliq Tomagola melaporkan dari lapangan Selasa (23/7/2024) malam  menyebutkan  saat  ini intensitas hujan masih sangat tinggi, terutama di daerah hulu sungai Kobe, sungai Akejira, sungai Wosia, sungai Meno, Sungai Yonelo, dan sungai Sagea serta daerah aliran sungai lainnya. Hal ini berpeluang terjadi luapan air dan banjir susulan yang lebih besar dan menggenangi desa-desa lainnya yaitu Desa Lelilef Sawai, Desa Gemaaf, Desa Wale, dan Desa Sagea.

Upaya evakuasi juga terus dilakukan BNPBD Kabupaten Halmahera Tengah, TNI dan Polres Halmahera Tengah dengan menggunakan alat berat dan menempatkan warga di posko-posko yang tersedia di sekitar desa yang tidak terkena dampak banjir.

Bencana banjir telah memutuskan akses utama jalan penghubung antar desa yang saat ini terdampak banjir dan juga membuat Desa Woekob dan Woejerana yang berada 12 km dari wilayah pesisir.

Berdasarkan data peta overlay kawasan terjadinya bencana banjir di Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara, Walhi Maluku Utara menyimpulkan bahwa bencana banjir terjadi disebabkan masifnya pemberian izin konsesi pertambangan nikel oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara dan pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal ini yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan di Halmahera tengah.

Hutan Menghilang

Analisis Walhi Maluku Utara dari tahun 2001 keberadaan hutan primer seluas 188.000 hektar atau 83 persen areal kawasan Halmahera Tengah. Saat ini telah mengalami deforestasi seluas 26.100 haktare dan terus naik seiring aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan nikel.

“Pembukaan areal kawasan hutan termasuk kawasan daerah aliran sungai secara sporadis dan masif untuk pengambilan material ore nikel oleh  perusahaan yang beroperasi menyebabkan hilangnya kawasan buffer zone sehingga ketika terjadi intensitas hujan yang tinggi. Hutan tidak lagi menahan laju kecepatan air bercampur material tanah serta material logam ke wilayah dataran rendah di wilayah pesisir terutama yang saat ini terendam banjir seperti Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Waibulen dan Desa Lukolamo,” jelas Direktur Walhi Maluku Utara Faisal Ratuela.

“Jumlah izin pertambangan nikel di Kabupaten Halmahera Tengah berjumlah 24 IUP dengan luas konsesi 37.952,74 Ha dan yang terluas ijin konsesinya adalah pertambangan nikel milik PT. Weda Bay Nikel (Kawasan Industri Nikel PT. IWIP) seluas 45.065 Ha,” lanjutnya.

Faisal juga bilang ada indikasi  tidak ada keseriusan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara terutama Dinas Lingkungan hidup, Dinas Kehutanan, dan Dinas ESDM menyikapi bencana banjir.

Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara dalam menghadapi situasi bencana banjir yang terjadi tidak bersandar pada data pasti terkait jumlah warga yang terkena dampak bencana banjir di empat desa di kecamatan Weda Tengah sehingga dipastikan model penanganan terhadap korban bencana akan mengalami kendala dan masalah dan berpeluang menimbulkan korban akibat dari keterlambatan dalam melakukan evakuasi.

Desakan Walhi

Desakan Walhi Maluku Utara kepada Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara   dan Negara ini berdasarkan situasi dan kondisi bencana ekologis  di empat desa di Kecamatan Weda Tengah  yang berpeluang meluas ke empat desa di Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah.

“Pemkab Halteng segera menetapkan  status darurat bencana di Kabupaten Halmahera Tengah dan segera menambah personil tanggap darurat dan posko di lokasi yang terkena dampak banjir. Mengevakuasi warga  yang terisolasi di desa Woejerana, Woekob, Kulo Jaya dan Kobe Kulo. Terutama lansia, perempuan dan anak-anak,” katanya.

WALHI juga mmendesak Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia segera mengambil langkah tegas menghentikan aktifitas investasi pertambangan nikel yang masih beroperasi saat kondisi banjir sedang berlangsung karena melanggar prinsip kemanusiaan dan tidak menghargai hak asasi manusia pekerja dan warga yang saat ini sedang menderita kerugian moril dan materil akibat bencana banjir.

“Untuk Pemerintah Pusat segera mendesak pihak perusahan tambang yang beroperasi di wilayah yang terkena banjir segera memberikan seluruh dukungan materil menanggulangi korban bencana banjir terutama bantuan evakuasi korban di desa yang masih sulit diakses. Bantuan pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar yang mendesak dan sangat dibutuhkan lainnya secara menyeluruh di setiap desa,” katanya.

KLHK  juga  diminta segera mengambil langkah membentuk tim investigasi menelusuri   banjir  yang diduga akibat jebolnya tanggul milik PT. Tekindo Energi dan PT. IWIP.  Menindak tegas perusahaan tambang yang terbukti melakukan pengabaian dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga mengakibatkan bencana banjir.

Pemerintah Pusat juga diminta  segera melakukan moratorium industri pertambangan nikel di Maluku Utara terutama yang masuk kebijakan proyek strategis nasional  (PSN)  karena telah mengakibatkan bencana ekologi dan perampasan ruang hidup masyarakat di Maluku Utara.

Terakhir, Walhi  meminta warga Maluku Utara bersolidaritas terhadap bencana ekologis di Halmahera Tengah saat ini. Warga  korban bencana banjir juga tetap waspada dengan banjir susulan akibat tingginya intensitas hujan.

Bentang Alam Berubah

Soal izin tambang di kawasan hutan Desa Sagea di Weda Utara saja ada sembilan izin usaha pertambangan yaitu PT Weda Bay Nickel  20.612 hektar,  PT Bakti Pertiwi Nusantara 1.232 hektar, PT Gamping  Mining 2.538 hektar, Tekindo Energy 1.000 hektar, First Pasifik Mining 2.080  hektar, Harum Sukses Mining 990 hektar, dan Karunia Sagea Mineral 1.225 hektar. Lahan yang menjadi konsesi perusahaan ini tidak hanya menguasai hutan  tetapi juga lahan kebun masyarakat yang telah dijual.

Bencana banjir di Halmahera Tengah saat ini memang terkait bencana hidrometeorolgi tetapi juga karena ada penyebab lain. Jika melihat kasus  di Weda Halmahera Tengah dan beberapa wilayah lainnya di Maluku Utara, sebetulnya banjir bisa terjadi sebesar ini karena ada perubahan bentang alam.  Bentang alam ini yang mestinya menjadi penopang apabila suatu saat terjadi curah hujan tinggi dengan intensitas lama. Jika  bentangan alam tidak tergerus maka  masih bisa dikendalikan secara alami dan tidak terjadi luapan banjir seperti sekarang.

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara, Abdul Kadir Arif,  Selasa (23/7/2024) menjelaskan, banjir yang melanda Halmahera Tengah saat ini, tidak berdiri sendiri hanya karena bencana hidrometeorologi.

“Banjir itu bagian dari bencana hidrometeorologi karena ada pemicu berupa hujan,” kata Dedy sapaan akrabnya. Banjir saat ini selain karena adanya perubahan landscape, harus dicermati juga kondisi sungai di belakang desa  di mana terjadinya banjir saat ini.

Besar kemungkinan ada sedimentasi yang sangat tebal sehingga memicu luapan banjir hingga ke mana-mana secara sporadis. Atau jangan sampai pola aliran sungai yang sudah tertata secara alami, dilakukan perubahan karena ada pemanfaatan lahan seperti tambang sekarang ini.  Hal ini perlu dikaji lebih  mendalam.

“Secara geologi, kami berharap banjir di Weda terutama di daerah lingkar tambang ini dilihat tidak hanya satu sisi. Perlu didudukkan secara tertanggung jawab melalui riset sehingga  data yang didapat juga bisa tertanggung jawab,” harapnya.

Sementara sesuai data monitoring hari tanpa hujan (HTH) berturut-turut Provinsi Maluku Utara sesuai  update 20 Juli 2024: secara umum sebagian besar wilayah Provinsi Maluku Utara, mengalami HTH kategori pendek. HTH kategori sangat pendek terjadi di wilayah Kao Teluk, Mangoli utara, Morotai Selatan dan Sanana.

Analisis distribusi curah hujan Juli 2024 Dasarian II (11 – 20 Juli 2024) Provinsi Maluku Utara diinformasikan curah hujannya  dominan berada pada kategori rendah (0-50 mm/dasarian). Curah hujan tertinggi terjadi di Weda Selatan (Halmahera Tengah) sebesar 126 mm/dasarian.

Dari data di atas, terlihat bahwa Curah Hujan tertinggi di Maluku Utara terjadi selama 10 hari dari  11-20 Juli, terjadi di Halmahera Tengah. Nilai di atas untuk 10 hari menujukkan intensitas curah hujan  yang turun relatif sedang.

“Jika kondisi hulu di hamparan Kabupaten Halteng masih baik baik saja, dampak  banjir di Kobe, Sagea dan Lelilef tidak akan seperti ini.  Banjir, genangan, kekeruhan sungai pada beberapa muara  sungai menunjukkan hulu di DAS Kobe, Sagea  dan sekitarnya tidak baik baik saja,” kata Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Moloku Kie  Raha (MKR) Hidayat Marasabessy.

Sejak awal Juli hingga pertengahan Juli ini, hujan selalu jatuh di Halmahera dengan intensitas dominan sedang hingga berat, terutama di daerah Halmahera Tengah dan Timur.

Membaca prakiraan curah hujan (CH) dasarian 3 bulan Juli (21-31 Juli) terlihat kembali curah hujan tertinggi akan terjadi di Halmahera Tengah.  Melalui analisa di atas  baniir masih akan terjadi  karena  terus turun hujan. Ini akan memicu limpasan (RO) dan membawa material sedimen ke arah muara. Material sedimen tentu hadir dari kegiatan penambangan, rekayasa teknis pada landscape akibat land clearing.  Apalagi hingga aktifitas mengangkat material yang umum dilakukan  dalam pertambangan.

“Luasan yang telah terbuka, butuh kajian lebih mendalam. Namun dilihat dari visual, kekeruhan  dengan curah hujan dengan intensitas sedang, menggambarkan landscape bagian hulu kawasan industry ini sudah tidak baik-baik saja (red flag),” katanya.

Sepanjang 2023 beberapa kali banjir bandang menghantam kawasan industri pengolahan nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, serta desa sekitarnya seperti, Sagea dan Trans Waleh. Hal ini mengakibatkan rumah dan kendaraan milik karyawan tergenang air. Banjir yang menghantam wilayah ini sudah sering  terjadi.

Kamis, (14/9/2023) seorang buruh berinisial LY, ditemukan tak bernyawa di kawasan industri. LY diketahui meninggal karena diduga terbawa banjir besar yang melanda kawasan industri IWIP waktu itu.

Sejak Agustus 2023 Air Sungai Sagea di Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, tercemar material tanah diduga dari kerukan tambang. Air sungai ini sebelumnya sangat jernih  karena dipakai warga untuk minum juga sebagai tempat wisata di Goa Boki Moruru. Namun kini air  berganti dari jernih ke oranye kecoklatan dan berlumpur.

Harus Ada Bertanggung jawab  Dalam  Musibah Ini  

Sosiolog Maluku Utara, Dr. Herman Oesman mengatakan  horor berupa bencana banjir sebagai akibat dari eksploitasi industri ekstraktif membawa dampak sosial yang tidak kecil. Ini terutama pasca bencana. Selain warga kehilangan harta benda, yang paling memiriskan adalah bencana setiap saat hadir dengan segala resiko, yang tentu nyawa jadi taruhannya.

Pada level bawah, warga akan tidak merasa aman, karena tak punya semacam jaminan sosial ekonomi dari bencana ekologis yang terjadi. Sementara pada sisi lain, industri ekstraktif ini tak mungkin berhenti beroperasi yang berarti kondisi lingkungan akan makin tak menentu dan tentu tidak akan pulih kembali.

“Kondisi ini perlu ada semacam  tindakan yang dilakukan  yang memerlukan campur tangan pemerintah pusat. Hal ini  karena proyek ini berkaitan dengan kepentingan pemerintah pusat dan investor atau pemilik modal,” katanya Selasa (23/7/2024) malam.

Di tingkat pemerintah daerah harus ada semacam daya tawar yang dapat mereduksi implikasi-implikasi bencana ekologis yang ada.  “Daya tawar itu harus melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, dan sebagainya agar lingkungan makin tak rusak,” harapnya.

Lalu peran pemda dan DPRD  kala banjir melanda saat ini?

Pemda melalui Badan Penanggulangan Bencana  Daerah (BPBD)   bekerjasama dengan  TNI dan Polri masih  melakukan evakuasi.

Kabid Humas Polda Malut Kombes Pol. Bambang Suharyono, mengungkapkan personel TNI/Polri dan BPBD Halmahera Tengah dikerahkan  menangani bencana tersebut. “Mereka berkoordinasi untuk melakukan evakuasi dan penyelamatan warga yang terdampak” ujarnya.

Evakuasi dimulai sejak Minggu (21/7/2024) dan masih berlangsung hingga saat ini. Tim gabungan memastikan para korban banjir terutama anak-anak dan lansia mendapatkan tempat berlindung yang aman dan layak dari ancaman banjir. Proses evakuasi dilakukan dengan intensif guna meminimalkan dampak bencana.

Tim fokus penyelamatan dan kesehatan warga, memastikan bahwa setiap orang mendapatkan perhatian dan bantuan yang diperlukan. Warga yang terdampak banjir juga diminta tetap berhati-hati dan mengikuti instruksi petugas.

Anggota DPRD Halmahera Tengah Munadi Kilkoda menyampaikan saat ini pemda dan DPRD fokus penanganan korban banjir. Memastikan masyarakat bisa selamat dari musibah dan kebutuhan mereka terpenuhi.

Hanya saja tidak boleh selesai sampai di situ saja. Dinas terkait seperti DLH harus melakukan penyelidikan.  Perlu berkoordinasi dengan KLHK agar ada investigasi bencana ekologi ini.

“Saya berkeyakinan penyebab banjir besar ini karena hutan di belakang perkampungan dan hulu sungai Kobe sudah hilang akibat kegiatan tambang yang dilakukan di situ,” katanya. Banjir ini terjadi karena buffer zone di kawasan itu sudah tidak ada. Ketika curah hujan tinggi  banjir pasti terjadi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus turun lakukan penyelidikan. Jika penyebabnya karena bukaan lahan yang dilakukan beberapa perusahan tambang  di belakang desa desa ini, maka izin perusahan itu harus dievaluasi. Mereka juga harus dikenai sanksi dan denda atas perbuatan yang mereka lakukan.  “Harus ada yang bertanggung jawab atas musibah ini,” katanya. (***)

‘Tiga hari minum air hujan’ – Banjir bandang melanda Halmahera Tengah, murni akibat cuaca atau aktivitas pertambangan nikel?

Banjir besar yang menerjang sejumlah desa di Halmahera Tengah, Maluku Utara, sejak akhir pekan lalu menyebabkan ribuan warga mengungsi. Walau cuaca ekstrem diklaim pemerintah sebagai faktor utama, pegiat tambang dan lingkungan mengatakan insiden ini tidak lepas dari aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut.

Sejumlah desa yang berlokasi di sekitar pertambangan nikel – tepatnya di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara – terdampak apa yang diklaim para aktivis sebagai “banjir terbesar” di wilayah tersebut.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, banjir merendam empat desa yakni Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Waibulen, dan Desa Lukolamo sejak Sabtu (20/07).

Sedikitnya 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang yang tersebar di empat desa tersebut terdampak banjir, menurut Walhi Maluku Utara.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Halmahera Tengah per Rabu (24/07) mengatakan ada total 1.726 orang pengungsi yang terimbas banjir dan tersebar di beberapa posko darurat.

Ketinggian air di beberapa tempat dilaporkan mencapai lebih dari satu meter. Walhi Maluku Utara menyebut banjir juga memutuskan akses utama jalan penghubung antar desa.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan penyebab banjir adalah intensitas hujan yang tinggi sejak Sabtu (20/7). Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut cuaca ekstrim sebagai penyebab bencana – terutama diduga pengaruh dua siklon tropis, Gaemi dan Prapiroon.

Akan tetapi, para pegiat lingkungan mengeklaim banjir terjadi karena perusahaan-perusahaan pengolahan nikel yang berada di kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), terus membuka lahan untuk tambang nikel, sehingga menyebabkan fungsi alami hutan hilang.

Berdasarkan catatan Walhi Maluku Utara, sudah terjadi 16 kali banjir di wilayah tersebut sejak 2019. Sementara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) – organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi persoalan tambang di Indonesia – mencatat ada 12 kali banjir besar – dengan ketinggian air mencapai 1 meter – yang merendam desa-desa di sekitar kawasan industri nikel di Weda Bay, sejak 2020.

LSM Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyebut eksploitasi nikel di Halmahera Tengah terjadi sejak tahun 2019-2020. Sebelum marak kegiatan tambang, banjir memang beberapa kali terjadi tetapi tidak sampai berhari-hari seperti saat ini.

Menurut warga setempat, eksploitasi nikel di Halmahera Tengah, Maluku Utara sudah dimulai sejak 2010-an. Pertambangan bertambah besar dengan kehadiran Kawasan Industri Weda Bay di, sejak 2018. Perusahaan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) mengoperasikan kawasan industri tersebut.

Warga yang tinggal sekitar 50 meter dari bantaran anak Sungai Kobe mengakui daerah tersebut memang rawan banjir, tetapi sebelum kehadiran perusahaan tambang air cepat surut bahkan pada hari yang sama langsung.

Warga juga mengatakan daerah itu mengalami krisis air akibat rusaknya sungai. Dalam laporannya, Jatam menyebut di Desa Lelilef, misalnya, krisis air bersih mulai terasa sejak 2019, atau setahun setelah PT IWIP beroperasi.

Namun, menurut perusahaan, bencana banjir disebabkan hujan deras yang telah berlangsung selama beberapa hari. Perusahaan juga menegaskan akan melakukan seluruh kegiatan operasional sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut air yang meluap dari Sungai Kobe di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara menyebabkan banjir, pada Minggu (21/7).

“Hal ini dipicu oleh intensitas hujan tinggi yang mengguyur wilayah Provinsi Maluku Utara sejak Sabtu (20/7),” ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam keterangannya.

“Banjir diperparah dengan adanya air pasang laut di daerah tersebut. Ketinggian muka air mencapai satu meter.”

Abdul menjelaskan tidak ada korban jiwa dalam banjir ini. Banjir Halmahera Tengah juga tidak dikategorikan sebagai bencana nasional karena hanya satu kecamatan yang terdampak.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sambung Abdul, seharusnya bisa menanggulangi bencana sesuai kapasitasnya. Dia menambahkan BPBD Halmahera Tengah masih melakukan upaya penanganan darurat berupa evakuasi warga terdampak dan pendataan korban terdampak serta kaji cepat kerugian materil.

Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Agus Cahyono Adi, menyebut faktor cuaca sebagai penyebab banjir yang menerpa sejumlah desa di Halmahera Tengah.

“Dari pemantauan lapangan dan keterangan BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika], pada saat itu ada cuaca ekstrim,” ujar Agus Cahyono pada Rabu (25/07).

Laporan BMKG yang dirujuk Kementerian ESDM menyebut banjir besar yang menenggelamkan desa-desa di Weda, Halmahera Tengah akibat luapan Sungai Kobe terjadi pada Minggu (21/07) dan berlanjut hingga Selasa (23/07).

Data BMKG menunjukkan pengaruh dua siklon tropis, Gaemi dan Prapiroon, diduga menjadi salah satu penyebab banjir.

‘Selama tiga hari minum air hujan’

Rani, 32 tahun, adalah seorang ibu rumah tangga asal Ambon yang sudah tinggal di Desa Woejerana di Weda Tengah, Halmahera Tengah selama sembilan bulan.

Dia mengaku keluarganya sudah tidur ketika seseorang menggedor pintu rumahnya karena banjir tiba pada Sabtu (20/07).

“Kami lari mengungsi ke masjid. Malam itu kami terjaga sampai jam setengah dua [pagi]. Kalau saya sendiri sebenarnya tidak terlalu panik, tapi karena ada anak, [saya menjadi] panik. Karena di jalan besar airnya sudah setinggi pinggang orang dewasa,” ujar Rani yang terpaksa menggendong anaknya dan membawa berkas-berkas penting yang masih bisa diselamatkan.

Sementara Yarden Koke, 38 tahun, warga Desa Kulo Jaya, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, dikagetkan banjir yang tiba-tiba menerjang pada Sabtu (20/07) tengah malam.

Yarden mengatakan dirinya dan keluarga tidak bisa bergegas ke tempat-tempat yang tidak terjangkau air karena “sudah tergenang semua”. Mereka bisa bertahan selama tiga hari karena rumah adat mereka berbentuk rumah panggung.

“Untung saja lantai kami tidak tergenang,” ujar Yarden merupakan anggota masyarakat adat kepada wartawan Adlun yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Kamis (25/07).

Selama tiga hari itu, imbuhnya, mereka mengaku “setengah mati” mencari air. Bahkan, untuk membeli air galon pun tidak mungkin karena depot-depot air setempat juga tenggelam banjir.

“Jadi kami selama tiga hari itu minum air hujan.”

Yarden menambahkan banjir memang sering menimpa wilayahnya. Namun, sebelum kehadiran perusahaan tambang, banjir akibat luapan Sungai Kobe biasanya langsung surut pada hari yang sama.

“Setelah ada perusahaan tambang ini banjirnya sampai dua-tiga hari. Setelah perusahan ada, hampir tiap bulan sering banjir. Kali ini yang terbesar,” ujar Yarden yang mengaku tidak pernah mendengar soal proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) ataupun dilibatkan di dalamnya.

“Mungkin di desa lain ada, tapi di sini tidak.”

Saida, 48 tahun, warga Desa Woejerana di Weda Tengah, Halmahera Utara mengeklaim baru kali ini banjir di wilayah terjadinya dalam skala seperti ini.

“Biasanya [banjir besar] enam tahun sekali, itu pun jarang. Tapi sekarang banjir sudah bukan enam tahunan [bahkan] sudah bukan bulanan lagi, setiap minggu kalau hujan besar… airnya naik,” ujar Saida yang juga mengeluhkan kualitas air di daerahnya.

“Dulu kondisi air sungai bagus, tapi sekarang saya tidak pernah melihat air sungai jernih.”

Pernyataan Saida diamini Yarden yang mengatakan warga sebelumnya bisa mandi di sungai atau bahkan meminum airnya.

“Setelah ada perusahaan, bahkan kita mau mandi pun sudah tidak bisa,” tandasnya.

Apakah bencana banjir di Halmahera Tengah akibat aktivitas pertambangan nikel?

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) – organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi persoalan tambang di Indonesia – mengatakan banjir besar yang merendam desa-desa tersebut adalah “salah satu banjir terbesar yang terjadi di Halmahera Tengah pasca wilayah daratannya banyak diokupasi untuk kepentingan pertambangan nikel”.

Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa peristiwa ini sudah beberapa kali terjadi. Jatam mencatat ada 12 kali banjir besar yang merendam desa-desa di sekitar kawasan industri nikel di Weda Bay, sejak 2020.

Menurut Melky, fenomena ini sama sekali tidak dianggap serius oleh pemerintah.

“Apa yang kemudian menyebabkan ketika terjadi hujan dalam intensitas seperti ini, itu banjir bandangnya itu berlangsung dalam skala yang sangat besar?” ujar Melky.

“12 kali terjadi ini, pemerintah enggak belajar bahwa ada sesuatu yang serius yang mestinya harus dibenahi.”

Melky mengatakan data yang dihimpun Jatam sampai dengan bulan Juli memperlihatkan bukaan lahan secara keseluruhan di Halmahera Tengah mencapai lebih dari sekitar 21.000 hektare.

“Ketika bukaan lahan itu berjalan cepat, maka fungsi alami kawasan hutan untuk meresap air, kan, hilang. Ketika hujan datang, maka banjir atau longsor itu pasti akan terjadi,” ujar Melky.

Secara terpisah, Faizal Ratuela, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Maluku Utara, mengatakan banjir tidak lepas dari kerusakan bentang alam di bagian hulu. Ekosistem hutan, sambung dia, tidak lagi bisa menahan laju kecepatan air ke wilayah desa-desa di pesisir.

“Dalam satu dekade terakhir Hutan Primer seluas 188 ribu hektare telah mengalami mengalami deforestasi seluas 26.100 [akibat] masifnya penambangan nikel di Halmahera Tengah,” klaim Faizal pada Kamis (24/07).

Faizal menjelaskan bahwa Desa Lukolamo di Kecamatan Weda Tengah memang rawan banjir karena posisinya berada di dataran rendah sehingga pasti akan tergenang apabila Sungai Kobe meluap.

“Namun, beberapa tetua kampung di desa Lelilef Waibulen (desa induk Dusun Lukolamo sebelum dinaikkan statusnya menjadi desa) [mengatakan] meluapnya sunga Kobe yang besar biasanya setiap 15 sampai 20 tahun baru terjadi, tapi tidak membawa lumpur seperti saat ini,” klaim Faizal.

Lebih lanjut, Faizal menjelaskan, saat ini pertambangan nikel di Kabupaten Halmahera Tengah mencapai jumlah 24 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi 37.952,74 hektare dan yang terluas izin konsesinya adalah pertambangan nikel milik PT Weda Bay Nikel (kawasan Industri Nikel PT IWIP) seluas 45.065 hektare.

“Daerah tersebut mengalami keseringan banjir sejak hadirnya investasi industri nikel di Halmahera tengah terutama PT. IWIP dan PT. Tekindo Energi. Walhi Maluku Utara mencatat sejak 2019 sampai saat ini sudah terjadi 16 kali banjir di wilayah tersebut,” klaim Faizal.

“Tapi yang terparah adalah saat ini, dimulai Sabtu [20/07] dini hari kemarin.”

Pius Ginting, Kordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), mengatakan pemerintah harus menjadikan bencana ini sebagai momentum untuk melakukan evaluasi terhadap hilirisasi nikel melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

“Perlu dilakukan pembatasan produksi nikel, pembatasan penambangan, mengingat kawasan Halmahera memiliki kecenderungan curah hujan yang terus tinggi terkait dampak iklim,” ujarnya.

Menurut Pius, hasil analisis spasial menunjukan, dari tahun 2013 hingga 2023, hutan yang hilang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi kesatuan wilayah ekologis antara desa terdampak banjir, PT IWIP, dan perusahaan tambang mencapai 10.803 hektar.

“Hasil penelusuran lebih lanjut menunjukan bahwa deforestasi di wilayah tambang tersebut mencapai 7.167 hektar,” tutur Pius.

Bagaimana perusahaan tambang merespons kejadian banjir?

Media lokal Haliyora yang berbasis di Kota Ternate, Maluku Utara melaporkan pemicu banjir diduga karena adanya tanggul PT IWIP yang jebol – tepatnya di Kilo 15.

Media TribunTernate.com juga memberitakan hal serupa.

Ketika BBC News Indonesia memintai tanggapan PT IWIP, manajemen PT IWIP membantah pemberitaan tersebut.

Adapun mengenai tudingan sejumlah pihak tentang aktivitas tambang nikel masif sebagai faktor penyebab bencana banjir, manajemen PT IWIP melalui surat elektronik menyatakan pihaknya “akan melakukan seluruh kegiatan operasional sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia”.

“Perlu kami tegaskan bahwa tidak ada upaya dari kami untuk melakukan pemalangan sungai manapun,” terang manajemen PT IWIP dalam email mereka yang diterima BBC News Indonesia pada Kamis (25/07).

Manajemen PT IWIP dalam keterangan resminya menyebut bencana banjir disebabkan “hujan deras yang telah berlangsung selama beberapa hari ini”.

“Besarnya volume air hujan telah menyebabkan sejumlah desa di dekat kawasan industri kami terendam banjir. Sebagai komitmen kami terhadap masyarakat, kami telah mengerahkan tim tanggap darurat untuk membantu penanganan situasi bencana banjir yang terjadi,” tutur manajemen PT IWIP.

Sementara itu, PT Tekindo Energi mengatakan bahwa jarak lokasi penambangan Tekindo Energi mencapai 30 kilometer dari lokasi banjir saat ini yang terjadi di Halmahera Tengah.

"Dari seluruh kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT Tekindo Energi, PT Tekindo Energi selalu tunduk dan patuh kepada peraturan pemerintah, baik dari sisi perizinan, regulasi penambangan dan lingkungan hidup," tulis Direksi PT Tekindo Energi dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Kamis (25/07).

Dari inspeksi tersebut, menurut direksi perusahaan, PT Tekindo Energi selalu mendapatkan penilaian yang sesuai dengan indikator yang ditetapkan, seperti adanya sedimend pond di area tambang dan pelaksanaan kegiatan reklamasi (pasca penambangan).

"Tekindo Energi berperan aktif dalam kegiatan PPM (Program Pemberdayaan Masyarakat) di 8 desa lingkar tambang sebagai wujud tanggung jawab Tekindo Energi terhadap aspek sosial dan lingkungan."

PT Tekindo Energi menegaskan siap untuk melakukan koordinasi dengan para stakeholder dan pemerintah untuk melakukan langkah mitigasi ke depan untuk mengantisipasi bencana serupa.

Apa kata pemerintah pusat dan daerah tentang tuduhan aktivitas pertambangan nikel sebagai penyebab bencana?

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan pihaknya belum bisa berkomentar mengenai apakah aktivitas pertambangan nikel setempat menjadi penyebab banjir – dia membandingkannya dengan bencana tanah longsor di area pertambangan emas ilegal di Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, pada awal bulan Juli.

“Berbeda dengan kasus longsor Bone Bolango, misalnya, itu clear [jelas] dilaporkan BPBD karena ada aktivitas pertambangan liar [...] Untuk [yang] Weda ini, kita masih belum memiliki laporan lengkap atau data lengkap terkait ekses dari aktivitas pertambangan. Pun dari BPBD tidak melaporkan demikian ke kita,” ujar Abdul.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Halmahera Tengah, Rais Musa, mengakui dampak bencana banjir kali ini lebih parah dibandingkan yang sebelumnya.

"Tahun-tahun sebelumnya memang sering terjadi, tetapi dampaknya tidak seperti saat yang ini,” ujarnya pada Kamis (25/07).

Namun, Rais tidak menanggapi ketika ditanya apakah aktivitas pertambangan menjadi penyebabnya, dengan mengatakan: "soal itu mungkin [ke] yang lebih teknis, ya”.

Sementara Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Agus Cahyono Adi mengatakan pihaknya masih menunggu penjelasan dari tim teknis mengenai hal tersebut.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara, Fachruddin Tukuboya, menyarankan perusahaan-perusahaan tambang untuk menurunkan jumlah produksi untuk mengurangi “beban lingkungan”.

“Kalau misalnya produksinya cukup besar, kegiatan atau aktivitasnya juga padat sehingga nanti kurang bisa diantisipasi ketika ada kejadian alam seperti hujan yang turun dengan debit yang besar,” ujar Fachruddin saat dihubungi pada Rabu (24/07).

“Itu saran saya ke semua perusahaan tambang, bukan hanya ke [PT] IWIP.”

Di sisi lain, Fachruddin mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan instansi terkait untuk melakukan investigasi mengenai apakah aktivitas tambang nikel setempat menjadi penyebab banjir.

“Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Halteng [Halmahera Tengah] masih fokus untuk penanganan dampak banjirnya. [Sedang mengurus] pengungsi dan bantuan sosial lainnya,” ujar Fachruddin.

Wartawan BBC News Indonesia Tri Wahyuni di Jakarta dan kontributor di Halmahera Tengah, Adlun Fiqri, serta Amahl Azwar di Jakarta melaporkan untuk artikel ini.

More Articles ...