logo2

ugm-logo

BMKG Pasang 20 Sensor Gempa Portabel di Pulau Sulawesi

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20181017/bc-60f0c74917e2d40170320992e61c5385_600x400.jpg

Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dam Geofisika (BMKG) memasang 20 sensor gempa atau seismograf portabel di Sulawesi. Pemasangan alat ini tak lain untuk mengamati aktivitas seismik di pulau tersebut.

"Sensor dipasang untuk mendapatkan data akurat terkait aktivitas seismik di Sulawesi," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya di Jakarta, seperti dilansir Antara, Rabu (17/10/2018).

Rincian lokasi sensor portabel itu di antaranya, 1 buah di perbatasan Gorontalo dan Sulawesi Utara, 1 buah di perbatasan Gorontalo dan Sulawesi Tengah, 9 buah di Provinsi Sulawesi Tengah, 5 buah di perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, 2 buah di Sulawesi Barat, dan 2 buah di Sulawesi Tenggara.

Tiar menjelaskan, sensor portabel tersebut digunakan untuk mendukung data sensor yang sudah ada sebelumnya, yakni sebanyak 15 unit yang tersebar di seluruh Sulawesi.

Sebagian besar sensor portabel tersebut dipasang di Sulawesi Tengah yang diguncang gempa bumi bermagnitudo 7,4 sehingga menimbulkan tsunami dan likuefaksi pada Jumat 28 September 2018. Sejak peristiwa tersebut hingga Selasa kemarin BMKG mencatat telah terjadi 543 kali gempa bumi susulan di mana 20 gempa bumi berkekuatan di atas 5 M.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Kamis, 11 Oktober lalu, jumlah korban meninggal dunia mencapai 2.073 jiwa. Proses pencarian korban meninggal sendiri telah dihentikan pada Jumat, 12 Oktober 2018 sesuai dengan prosedur standar Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

Prosedur baku menetapkan, pencarian korban bencana berlangsung selama tujuh hari dengan perpanjangan tiga hari. Pencarian dan pertolongan korban gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah sendiri memakan waktu 14 hari.

Sementara itu, masa tanggap darurat bencana di Sulawesi Tengah diperpanjang 14 hari terhitung mulai Sabtu, 13 Oktober 2018 hingga Jumat, 26 Oktober 2018.

Liputan6.com

Waspada, Hasil Studi Sebut Kawasan Jateng Rawan Gempa

Jawa Tengah - Hasil penelitian Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (PUSGEN) mengatakan, wilayah Jawa Tengah berada pada jalur sesar atau patahan gempa. Masyarakat perlu mewaspadai potensi gempa meski berskala kecil dan jarang, tapi mampu berujung pada munculnya bencana sampingan.

Seperti diketahui, sesar Baribis-Kendeng memanjang di bagian utara Pulau Jawa, mulai dari Timur Jawa Barat hingga Jawa Timur. Di mana di Jawa Tengah yang berada di jalur ini antara lain adalah Tegal dan Brebes. Serta beberapa kabupaten/kota lain posisinya di atas percabangan dari sesar ini.

Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengatakan, bahwa bencana sampingan atau collateral damagemerupakan istilah digunakan untuk dampak yang ditimbulkan akibat gempa. Dalam hal ini, bisa saja jatuhnya korban lantaran kurangnya pemahaman akan karakteristik lingkungan sekitar. 

"Karena sebenarnya gempa tidak membunuh. Dampak itu muncul karena kita saja yang mungkin kurang peduli dalam mengakomodir lingkungan. Seperti misalnya ketika kita membangun struktur bangunan, apakah sudah aman dari lokasi sesar," ungkap Setyoajie seperti dikutip laman Jawapos.

Selain itu, memahami unsur maupun kaidah bangunan tahan gempa juga disebutkannya mampu mengurangi dampak dari bencana sampingan tadi.

"Misal rumah sudah terlanjur kebangun nih di wilayah rawan, paling tidak bisa diambil antisipasi dengan perabotnya dipatek atau bagaimana saja yang bisa meminimalisir," sambungnya.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa munculnya bencana sampinganberujung jatuhnya korban tidak melulu akibat keberadaan sesar dan gempa itu tadi. Melainkan permasalahan bisa juga dari ketidakpahaman atau ulah manusia itu sendiri.

Pasalnya, ia juga tak menampik jika daerah-daerah yang berada di jalur sesar gempa ini bisa terjadi pergeseran tanah maupun longsor. Tergantung struktur tanahnya saja. Apakah masih bagus, atau sudah rusak sehingga rawan karena campur tangan manusia.

Dalam hal ini, Aji sapaan Setyoajie, menyebut dari BMKG sudah mengambil langkah. Seperti melalui sosialisasi serta edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk stakeholder. Melalui setiap kegiatannya, pihaknya tak lupa menyisipkan imbauan agar tak mengabaikan bencana sampingan ini.

"Misal di Banjarnegara itu kan tanahnya memang bagus untuk menanam sayuran, akar pendek. Tapi akan lebih aman, bisa mencegah longsor dan sebagainya apabila ditanami pinus misalnya. Akarnya jauh ke dalam menahan tanah. Yang perlu ditekankan memang kearifan lokal, jadi ketika mereka tahu tanahnya rawan, ya tidak dibuat pemukiman," terangnya.

Terpenting, menurutnya, adalah upaya mitigasi bencana itu sendiri. Dengan diketahuinya wilayah Jawa Tengah berada di sesar gempa, perlu disadari ada banyak potensi kebencanaan yang harus diwaspadai.

"Masalah utamanya itu di grassroot, apakah info BMKG itu diterima masyarkat atau tidak. Makanya BMKG itu sekarang juga mengembangkan sistem diseminasi informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami berbasis komunitas. Dalam hal ini komunitas radio. Bersama ORARI dan RAPI. Prototype sudah kita pasang di Kebumen," jelasnya.

Harapannya, sistem ini bisa menjadi solusi alternatif kala bencana macam gempa dan tsunami terjadi. Segera dipastikan bahwa informasi kebencanaan tersampaikan kepada seluruh masyarakat agar korban bisa diminimalisir.

sumber: liputan 6

More Articles ...