logo2

ugm-logo

Natural disasters are affecting some of Australia's most disadvantaged communities

Bushfires have been the most common natural disaster in New South Wales over the past decade, according to our study published today in Nature's Scientific Reports.
Our study, the first of its kind, looked at disaster declarations in local government areas (LGAs). We found 207 disasters affected the state between 2004 and 2014. Bushfires were the most common, responsible for 108 disaster declarations, followed by storms (55) and floods (44).

By looking at where disasters were declared, we found a "hotspot" in northern New South Wales, which includes some of the state's most disadvantaged communities.
This suggests that to help communities prepare for disasters, we need to address underlying causes of disadvantage.

There's nothing natural about a disaster

Disasters are a regular part of life for communities across the globe. So far in 2016, disasters have cost US$71 billion and claimed some 6,000 lives. Globally, the number and cost of disasters is rising.

Australia has a long history of natural disasters, from catastrophic bushfires to flooding rains. Many people are asking whether such disasters are becoming more frequent, and what we can do to better prevent and prepare for them.

Despite the way we talk about them, fires, floods and storms are not inherently natural disasters. Though they may threaten social systems or the environment, they are more accurately classified as natural hazards.

A disaster occurs when a natural hazard overwhelms a social system's capacity to cope and respond. Instead, disasters require many agencies and a coordinated response. Many factors such as vulnerability, resilience and population density influence a how a community copes with hazards.


Read more at: http://phys.org/news/2016-11-natural-disasters-affecting-australia-disadvantaged.html#jCp

50 DAERAH DI INDONESIA RENTAN BENCANA IKLIM

RADARJOGJA.CO.ID – Dokumen Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (API) menyebut ada 50 daerah terentan terhadap bencana iklim. Mengacu pada kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim tahun 2014, Kabupaten Gorontalo merupakan daerah terentan dengan kapasitas terendah di Propinsi Gorontalo.

Bahkan, kajian kerentanan dan risiko bencana iklim lebih spesifik di tingkat Kabupaten Gorontalo yang dilakukan Pusat Transformasi Kebijakan Publik (Transformasi) bekerja sama dengan tim peneliti. Hasilnya, menunjukkan ancaman banjir, longsor, dan kekeringan yang tinggi di kabupaten tersebut. Kajian tersebut menunjukkan terdapat 82 desa yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

“Dalam menghadapi anomali iklim, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam merancang program pembangunan yang dapat melindungi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ada tiga aspek ketahanan yang penting diperhatikan. Yakni, ketahanan pangan, energi, dan air,” kata Ketua Dewan Penasihat Transformasi Sarwono Kusumaatmadja, pekan lalu (2/11).

Untungnya, Kabupaten Gorontalo sudah bersiap. Pemda ini mengintegrasikan Strategi Aksi Adaptasi Perubahan Iklim (API) ke dalam rencana pembangunan jangka menengah dan pendek. Ini menjadi langkah nyata mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan terhadap risiko bencana iklim.

Bupati Gorontalo Nelson Pomalinggo  memaparkan rencana aksi tersebut saat diskusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta.

Bupati Gorontalo dan jajaran perangkat daerah komit menyusun rencana pembangunan yang adaptif terhadap perubahan iklim.

“Ancaman bencana semakin meningkat dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Gorontalo. Karena itu, merupakan keharusan bagi kami memasukkan strategi  API ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021,” tegas Nelson.

Sementara itu, Ketua Kelompok Kerja API Kabupaten Gorontalo Sumanti Maku menambahkan, strategi API diturunkan menjadi 24 rencana aksi yang implementasinya akan melibatkan 10 dinas/ badan terkait seperti dinas lingkungan hidup, dinas pertanian, badan ketahanan pangan, badan penanggulangan bencana daerah dan lainnya.

September 2016, kepala SKPD dari 10 dinas / badan tersebut menandatangani joint-plan di hadapan bupati sebagai komitmen nyata dalam menjalankan 24 rencana aksi API di 2017. Sedangkan proses pengintegrasian rencana tersebut ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2017, Rencana Kerja (Renja) 2017 dan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) 2017 masih dalam proses.

Langkah nyata Pemkab Gorontalo ini mendapat apresiasi ICCTF. Direktur Eksekutif ICCTF Erwin Widodo menyebut, pengintegrasian yang dilakukan Pemkab Gorontalo merupakan bukti keseriusan menghadapi resiko perubahan iklim.

“Komitmen mereka akan lebih berkesinambungan karena terintegrasi ke dalam rencana pembangunan untuk lima tahun ke depan,” katanya.

Keseriusan Pemkab Gorontalo dalam melakukan aksi API membuat mereka diundang KLHK untuk berbagi pengalaman pada COP 22 UNFCCC di Maroko.(hes/dem)

 

 

More Articles ...