logo2

ugm-logo

Kepala BNPB imbau praja IPDN tidak hanya reaktif saat bencana

Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengimbau ribuan praja utama Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tidak hanya bersikap reaktif saat terjadinya bencana.

"Seperti dikatakan Presiden Joko Widodo bahwa pencegahan bencana adalah upaya utama, namun bukan berarti aspek yang lain dalam manajemen bencana tidak kita perhatikan. Tapi, juga jangan sampai kita hanya bersifat reaktif saat bencana terjadi," ujar Suharyanto dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.

Kepada 3.622 praja utama IPDN, Suharyanto mengatakan Indonesia kerap dianologikan sebagai supermarket bencana, segala bencana ada di Indonesia. Bencana yang paling tinggi frekuensi kejadiannya adalah hidrometeorologi basah.

Pada kuliah umum dengan tema “Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Nasional” di Balairung Jenderal Rudini IPDN Kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (1/11), Suharyanto menjelaskan, menurut World Bank, Indonesia adalah satu dari 35 negara dengan tingkat potensi risiko bencana paling tinggi di dunia.

Sejarah Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2008, saat itu terjadi gempa berturut-turut, gempa di Aceh dan Padang, namun tidak ada badan yang langsung mengkoordinasi penanggulangan bencana tersebut.

Kemudian, dibentuk lah BNPB langsung di bawah Presiden, sesuai amanat UU No 24/2007, di tingkat pusat BNPB di bawah presiden, sedangkan di daerah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

"Untuk BPBD Provinsi di bawah gubernur, BPBD Kabupaten di bawah bupati dan BPBD Kota di bawah wali kota. Penanganan bencana yang relatif kecil dapat di tangani oleh BPBD, bila eskalasinya besar, dapat ditarik ke BNPB. Fungsi BNPB mendampingi dan membantu dari peralatan, anggaran, perbantuan personel BPBD dalam penanggulangan bencana,” ujar Suharyanto.

Suharyanto menjelaskan pentingnya mitigasi berbasis vegetasi, penanaman vegetasi (pohon keras) sebagai mitigasi jangka panjang penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Sebagai contoh, pohon Laban dan Mimba memiliki daya tahan yang kuat meskipun terbakar api, sehingga menghambat api meluas saat terjadi karhutla. Tanaman Vetiver sebagai mitigasi banjir dan longsor, akarnya kuat dan bisa tumbuh hingga enam meter dapat memitigasi longsor dan banjir, terutama di lereng dengan kemiringan lebih dari 30 derajat.

Suharyanto mengingatkan terkait bencana non-alam, pandemi COVID-19 memang sudah mulai mereda, namun adanya varian baru dari pandemi COVID-19 perlu diwaspadai.

Untuk menghindari penularan COVID-19, lawan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan harus menjadi budaya dan kebiasaan. Satgas Nasional COVID-19 bersama media akan terus mendorong sosialisasi PHBS kepada masyarakat.

BNPB: Program penanggulangan bencana belum jadi prioritas di daerah

Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai program penanggulangan bencana (PB) belum menjadi prioritas di daerah.

Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, mengungkap perlunya integrasi sistem evaluasi penyelenggaraan PB, dan berbagai permasalahan kelembagaan PB di daerah.

“Semangat resiliensi berkelanjutan dari komitmen global harus dapat diimplementasikan sampai tingkat lokal sesuai arahan Presiden RI saat penyelenggaraan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022”, ujar Raditya.

Saat membahas isu kebencanaan di tingkat daerah di kantor Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Jakarta Selatan, pada Selasa (1/11), Raditya juga mengungkapkan local wisdom, atau kearifan lok dalam pengelolaan risiko bencana yang ada di setiap daerah menjadi aset penting untuk membangun kapasitas PB di daerah serta mendorong penganggaran untuk upaya pada fase prabencana, bukan hanya pada tanggap darurat bencana.

Sementara itu, Direktur Pengembangan Strategi BNPB Agus Wibowo dalam kesempatan audiensi menyampaikan harapannya agar Dokumen Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) yang telah ditetapkan menjadi Perpres No.87/2020 dapat dimuat dalam dokumen perencanaan pembangunan tingkat pusat dan perencanaan daerah RPJPD dan RPJMD.

Hal tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah mendapatkan alokasi anggaran untuk implementasinya.

“Kita sudah memiliki pedoman untuk integrasinya. Pedoman ini akan kita sosialisasikan kepada 34 provinsi. Kami berharap nanti dari Kemendagri juga dapat mendukung," ujar Agus.

Di sisi lain, Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, Udrekh menyampaikan tantangan yang dihadapi sampai saat ini yaitu masih ada 100 lebih daerah yang belum memiliki peta kawasan rawan bencana (KRB) akibat tidak adanya anggaran.

“Saat ini kita juga berupaya untuk mengeluarkan indeks risiko bencana Indonesia (IRBI) yang biasa dikeluarkan di awal tahun, rencananya akan dikeluarkan di akhir tahun agar dapat dimanfaatkan untuk mendukung kinerja pemerintah daerah,” kata Udrekh.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Ditjen Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sri Purwaningsih dalam tanggapannya menyampaikan urusan kebencanaan di daerah masih sering ditemui. Seperti pemahaman substansi PB yang masih kurang, ketidakpahaman terkait kewenangan urusan pemerintahan daerah, dan banyak BPBD yang masih sekedar menjalankan tugas business as usual.

“Perlu ada penguatan untuk pemerintah daerah, khususnya untuk BPBD dalam implementasi tugas dalam langkah yang nyata," ungkap Purwaningsih.

Pada akhir kegiatan, BNPB dan Kemendagri sepakat untuk saling berkolaborasi dalam penguatan implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM), integrasi sistem evaluasi untuk penyelenggaraan PB di daerah, dan penguatan tata kelola dan substansi kebencanaan untuk pemerintah daerah.

Dijelaskan, kesepakatan tersebut menuntut saling berkolaborasi dalam penguatan implementasi SPM, integrasi sistem evaluasi untuk penyelenggaraan PB di daerah, dan penguatan tata kelola dan substansi kebencanaan untuk pemerintah daerah.

Dari hasil pertemuan itu, kedua belah pihak menyetujui tindak lanjut pertemuan dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi teknis untuk koordinasi lanjutan untuk memantapkan kolaborasi yang diusulkan.

“Sesuai UU 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, untuk menyadarkan dan menguatkan kebencanaan pemerintah daerah, BNPB tidak bisa sendirian, perlu bantuan Kemendagri untuk aspek pemerintahan yang dilengkapi oleh BNPB aspek teknisnya," ujarnya.*

More Articles ...